tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, kita kerap kali mendapati berita mengenai sengketa di antara beberapa negara Asia Tenggara dan Tiongkok. Malaysia, Filipina, dan Vietnam adalah yang paling sering ribut dengan Tiongkok. Pangkal soalnya adalah batas teritorial di Laut Tiongkok Selatan.
Namun, sengketa teritorial di Laut Tiongkok Selatan rupa-rupanya hanyalah satu di antara sekian kasus sengketa internasional yang melibatkan negeri-negeri Asia Tenggara.
Sebelum kasus sengketa dengan Tiongkok itu mencuat, beberapa negara Asia Tenggara pun pernah saling bersengketa soal wilayah. Misalnya, sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Kasus ini memanas pada 2002 dan diakhiri dengan kemenangan klaim Malaysia di Mahkamah Internasional. Selain itu, Indonesia dan Malaysia juga pernah bersengketa soal Ambalat.
Lalu, ada pula sengketa antara Thailand dan Kamboja terkait Kuil Preah pada 2008. Kasus ini berlangsung cukup sengit hingga kedua negara sempat terlibat kontak senjata.
Malaysia dan Filipina pun pernah berselisih soal klaim wilayah Sabah. Pada 2013, Sengketa Sabah sempat memanaskan hubungan kedua negara. Pangkal soalnya adalah aksi pendudukan wilayah Lahat Datu oleh ratusan orang bersenjata dari Filipina. Kontak senjata bahkan kemudian pecah.
Bersengketa Sejak 1962
Meski sekarang menjadi bagian dari Malaysia, Sabah di masa lalu silih berganti dikuasai oleh beberapa entitas politik berbeda. Salah satunya adalah Kesultanan Sulu yang mendapatkan penguasaan Sabah dari Kesultanan Brunei pada awal abad ke-18.
“Pada 1704, Kesultanan Brunei memberikan Sabah ke Kesultanan Sulu sebagai kompensasi atas bantuannya mengatasi pemberontakan,” tulis H.G. Tregonning dalam A History of Modern Sabah 1881-1963 (1965).
Pada 1878, Sultan Sulu menyewakan wilayah Sabah pada Baron van Overbeck dan Alfred Dent. Sultan Sulu menandatangani perjanjian sewa tersebut pada 22 Januari 1878.
“Baron van Overbeck dan Alfred Dent setelah itu mendapatkan hak-hak tertentu atas wilayah Sabah dengan biaya tahunan sebesar 5.000 dolar Malaya,” tulis Orlando M. Hernando dalam tesisnya di Kansas State University, The Phillipine Claim to North Borneo (1966).
Lalu, pada 1 November 1881, Alfred Dent mendirikan British North Borneo Company untuk mengelola wilayah itu. Enam tahun kemudian, Sabah menjadi bagian dari Protektorat Inggris hingga diduduki Jepang pada 1941. Pada 1946—usai berakhirnya Perang Pasifik, Sabah kembali ke pangkuan Inggris.
Sampai kemudian pada Juni 1962, Filipina yang saat itu dipimpin Presiden Diosdado Macapagal mengajukan klaim atas kepemilikan wilayah Sabah.
Menurut Martin Meadows dalam “The Philippine Claim to North Borneo” yang terbit dalam Political Science Quarterly (Vol. 77, No. 3, 1962), Diosdado Macapagal telah terlibat dalam upaya mengklaim Sabah sejak menjadi Perwakilan Kongres Filipina pada 1949.
Dia punya pengalaman bernegosiasi dengan Inggris saat menjabat sebagai salah satu kepala divisi di Departemen Luar Negeri Filipina. Pada 1948, Macapagal terlibat dalam upaya pengembalian Kepulauan Turtle.
Saat menjadi Perwakilan Kongres Filipina, Macapagal menyusun resolusi yang menyerukan kepada Pemerintah Filipina untuk mengklaim Sabah. Resolusi tersebut disetujui oleh Senat pada 1950. Dia mungkin juga terdorong oleh pemberitaan masif majalah The Philippines Free Press terkait status upaya klaim atas Sabah.
Pemerintah Filipina kemudian mengadakan pertemuan dengan Inggris yang berwenang atas Sabah sebelum berdirinya Federasi Malaysia. Pertemuan ini dihelat di London pada 28 Januari hingga 1 Februari 1963. Lain itu, Filipina juga mendengungkan masalah Sabah dalam forum Mafilindo yang diinisiasi Presiden Macapagal pada Juli 1963.
Lobi Filipina di Mafilindo menghasilkan wacana untuk mengadakan referendum di Sabah dan Serawak.
“Tampaknya ada kemungkinan tercapai kompromi pada bulan Agustus ketika Malaya sepakat untuk mengadakan penyelidikan terhadap pendapat umum di Sarawak dan Sabah sebelum pendirian federasi,” tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2022).
Wacana Referendum tersebut juga sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh Presiden Macapagal kepada Kongres Filipina pada 28 Januari 1963. Saat itu, Presiden Macapagal menyampaikan bahwa masyarakat Sabah harus diberi kesempatan untuk menentukan apakah mereka ingin merdeka atau ingin menjadi bagian dari Filipina atau menjadi bagian dari negara lain.
Pada 1963 pula, Sabah bergabung dengan Federasi Malaysia. Federasi Malaysia menganggap hal itu sebagai pelaksanaan atas hak rakyat Sabah untuk memilih. Hasil itu tentu tak sesuai dengan keinginan Filipina dan memanaskan hubungan diplomatik antara Federasi Malaysia dan Filipina.
Meski demikian, kedua negara lalu mengadakan pertemuan di Bangkok pada pertengahan 1968 untuk membahas kembali persoalan Sabah. Namun, tidak ada resolusi yang disepakati dari pertemuan tersebut.
Pasang Surut Hubungan Diplomatik Malaysia-Filipina
Usaha-usaha kemudian dilakukan untuk memulihkan hubungan kedua negara, terutama setelah terbentuknya ASEAN pada 8 Agustus 1967.
“Dengan terbentuknya ASEAN yang beranggotakan lima negara, terdapat kesepakatan diam-diam antara Malaysia dan Filipina bahwa masalah ini ditunda demi kepentingan solidaritas regional, dan mereka sepakat bahwa masalah ini pada akhirnya harus diselesaikan melalui ASEAN,” tulis Paridah Abd. Samad dan Darusalam Abu Bakar dalam “Malaysia-Philippines Relations: The Issue of Sabah” yang terbit dalam Asian Survey (Vol. 32, No. 6, 1992).
Namun, pada September 1967, hubungan antara Malaysia dan Filipina kembali memburuk. Gara-garanya adalah Pemerintah Filipina—saat itu dipimpin Ferdinand Marcos Sr.-memberlakukan Republic Act 5546 atau Senate Bill No. 954 yang memasukkan Sabah sebagai bagian dari wilayah Filipina.
Langkah sepihak Filipina tersebut tentu saja memicu reaksi keras dari Malaysia.
“Tindakan Presiden Marcos ini sama saja dengan pengingkaran terhadap keutuhan Malaysia. Tentu saja di Malaysia—dan di negara lain—hal ini dipandang sebagai tindakan yang provokatif,” tulis H.G. Tregonning dalam “The Philippine Claim to Sabah” yang terbit dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (Vol. 43, No. 1, 1970).
Tiga negara pendiri ASEAN yang lain, yaitu Indonesia, Thailand, dan Singapura, sangat berhati-hati dalam menghadapi masalah antara Malaysia dengan Filipina ini.
“Ketiganya menghindari untuk berkomentar secara langsung tentang perselisihan yang terjadi dan mengusahakan pertemuan untuk menyelesaikan masalah tersebut,” ungkap Amitav Acharya dalam The Making of Southeast Asia (2012).
Hal ini sesuai dengan prinsip ASEAN yang mengutamakan penyelesaian sengketa melalui dialog. Pada 1968, forum Menteri Luar Negeri ASEAN mengadakan dua kali pertemuan untuk mencari jalan keluar atas sengketa Malaysia dan Filipina serta memperbaiki hubungan kedua negara.
Hasilnya, Malaysia dan Filipina bersepakat untuk kembali menjalin hubungan diplomatik. Keduanya juga setuju untuk tidak akan membahas lagi masalah Sabah. Hal tersebut terjadi karena sikap pemerintah Filipina yang mulai melunak.
“Pemerintah Filipina beranggapan bahwa jika mereka terus bersikeras dalam masalah klaim Sabah, hubungan mereka dengan negara ASEAN yang lain juga akan memburuk,” tambah Acharya (2012).
Langkah itu kemudian diikuti dengan pernyataan Presiden Marcos pada 1977 yang tidak akan lagi menuntut Sabah.
“Langkah itu diambil untuk memastikan keharmonisan ASEAN dan akan memberikan dampak yang signifikan terhadap perpaduan, integritas, dan kemakmuran ASEAN,” tulis Rammani Karupiah dan Mohd. Firdaus Abdullah dalam “Tuntutan Filipina ke atas Sabah kepada Malaysia, 1962–2010: Analisis dari Perspektif Filipina” yang terbit dalam jurnal Akademika (Vol. 92, No. 2, 2022).
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi