Menuju konten utama

Acho: Saya Tidak Pernah Dilibatkan saat Gelar Perkara Polisi

Acho mengaku tidak pernah mendapat teguran dari pihak pengembang atas keluhan yang ia tuliskan.

Acho: Saya Tidak Pernah Dilibatkan saat Gelar Perkara Polisi
Aktris Fanny Fabriana (kiri) bersama aktor Muhadkly Acho berpose saat konferensi pers film terbaru yang dibintanginya berjudul Cinta Laki-Laki Biasa di Studio 21 Panakukkang Mall Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (3/12).ANTARAFOTO/Akbar Tado.

tirto.id - Komika (pelawak tunggal) Mukhadly Acho barangkali tidak akan menduga jika tulisannya pada 8 Maret 2015 yang berjudul “Apartemen Green Pramuka City dan Segala Permasalahannya” di situs muhadkly.com bakal berujung pidana. Menurut Acho ia baru tahu dilaporkan ke polisi oleh PT Duta Paramindo Sejahtera selaku pengelola Apartemen Green Pramuka City (AGP) pada 27 April 2017.

Ketika itu, menurut Acho, ia dipanggil penyidik Polda Metro Jaya untuk diperiksa. Kepada dirinya penyidik mengatakan pelaporan sudah dilakukan sejak 2015.

“Tidak pernah ada teguran, tidak pernah ada somasi, tidak pernah ada panggilan tahu-tahu dipanggil 2017 dan status saya sudah jadi terlapor,” kata Acho di Kejari Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (7/8/2017).

Penyidik sempat menyarankan Acho menempuh jalan mediasi. Saran itu ia lakukan dengan sebanyak tiga kali. Pertama ia mengirim surat ke pengelola. Kedua menghubungi manajemen pengelola. Ketiga menghubungi langsung pelapor. Namun respons yang ia terima nihil belaka.

Acho mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses gelar perkara yang dilakukan polisi. Namun ia mengatakan sudah diperiksa sebanyak dua kali. Dan tak lama berselang ia mendengar kabar sudah menjadi tersangka.

Penasehat hukum Acho, Tomson Situmeang mengatakan, agenda Acho hari ini merupakan penyerahan berkas perkara setelah dinyatakan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta lengkap. Ia dan Acho berharap perkaranya dihentikan kejaksaan. ‎

"Kita lihat di dalam apa tetap akan melanjutkan. Kalau dilanjutkan, tentu kita lakukan pembelaan di pengadilan," kata Tomson di Kejari Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (7/8/2017).

Selain melalui situs muhadkly.com, Acho juga mencurahkan perasaannya di twitter pada Februari 2015. Saat itu ia merespon berita media massa mengenai pungli di AGP dan memposting jawaban atas pertanyaan yang diajukan di Twitter. Tindakannya itu lah yang kemudian mendorong Dana Surya Winata selaku kuasa hukum PT Duta Paramindo melaporkan Acho pada 5 November 2015 ke polisi. Acho dituding melakukan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE dan fitnah pasal 310-311 KUHP.

Damar Juniarto, Regional Coordinator SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) menilai kasus yang menimpa Acho merupakan wujud shock therapy bagi para penghuni APG lain yang tidak puas dengan pelayanan pengembang. Sebab menurutnya selain Acho ada banyak pelanggan lain yang melakukan protes serupa melalui media sosial.

Damar yang juga kuasa hukum Acho menyayangkan penggunaan UU ITE oleh aparat. Menurutnya undang-undang tersebut mestinya melindungi masyarakat bukan malah mengkriminalisasi mereka. “Kasus yang menimpa Acho adalah salah satu bukti konsumen yang sebenarnya dirugikan malah bisa dipidanakan dengan pasal represif UU ITE,” katanya.

Dirkrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Derriyan menyatakan UU ITE dibuat untuk mengatur rakyat Indonesia agar tidak beropini seenaknya terkait dengan orang lain. Ia yakin betul bahwa polisi telah memiliki bukti untuk menyeret Acho ke pengadilan. Ade menyebut polisi memiliki 20 sampai 25 saksi yang menyatakan Acho merugikan APG. Selain daripada itu ada 4 ahli yang terdiri dari ahli hukum ITE, ahli pidana, dan ahli bahasa.

Bagi Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus abadi, jerat hukum yang dialami Acho merupakan bentuk kriminalisasi terhadap konsumen. Di sisi lain hal itu juga menggambarkan arogansi pengembang. “Ini tindakan kontraproduktif untuk perlindungan konsumen Indonesia,” kata Tulus dalam keterangan tertulis yang diterima tirto, Minggu (7/7).

Menurut Tulus, curhatan Acho mestinya tidak terjadi seandainya pengembang AGP menjunjung etika dalam berbisnis. Misalnya dengan memberikan janji-janji yang realistis kepada calon konsumen dan mematuhi peraturan yang telah disepakati bersama. “Jangan membius dengan janji-janji yang bombastis, irasional, dan bahkan manipulatif,” ujarnya.

Tulus berpendapat keluhan Acho dan penghuni APG sesuai realitas di lapangan. Dalam konteks itu mereka mendapat jaminan perlindungan dari Undang-Undang Konsumen Nomor 8 tahun 1999.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8/1999 secara gamblang menyebutkan hak-hak yang dimiliki konsumen. Dalam Pasal 4 undang-undang tersebut dinyatakan 9 hak yang dimiliki konsumen, beberapa di antaranya adalah: Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau/jasa; Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Baca juga artikel terkait KASUS ACHO atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Jay Akbar
Editor: Maya Saputri