tirto.id - Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga (BPKK) Kurniasih Mufidayati menyoroti ketahanan keluarga dan perlindungan ibu-anak dalam dua tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maaruf Amin. Selama dua tahun persoalan-persoalan tersebut masih menjadi tantangan besar untuk diselesaikan pemerintah.
Terlebih saat pandemi Covid-19, ibu dan anak menjadi terdampak langsung. Dan negara tidak boleh abai terhadap mereka.
"Terbaru saat kita dapatkan dugaan kasus kekerasan seksual di Luwu dan dugaan kekerasan seksual anak seorang narapidana oleh oknum Kapolres. Kita lihat fenomena gunung es kekerasan terhadap anak dan ini luput dari mitigasi pemerintah terhadap dampak pandemi," ujar Mufida dalam keterangan tertulis, Kamis (21/10/2021).
Ia mengacu data KPAI terkait meningkatnya laporan kasus perlindungan anak dari 4368 kasus pada 2019 menjadi 4634 pada 2020. Bahkan hingga Juli 2021 tercatat 5463 kasus kekerasan terhadap anak; dominan terjadi pada remaja; dan mayoritas terjadi di dalam rumah tangga.
Ia juga menyitir data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak periode Januari-Juni 2021, tercatat 6.096 kasus kekerasan dan 6.651 anak menjadi korban.
Begitu juga dengan angka stunting pada anak di Indonesia yang masih tinggi. Ia rujuk data Global Nutrition Report pada 2018, Prevalensi Stunting Indonesia dari 132 negara berada pada peringkat ke-108, sedangkan di kawasan Asia Tenggara prevalensi stunting Indonesia tertinggi ke dua setelah Kamboja dan nomor 4 di Asia. UNICEF bahkan memperkirakan ada sekitar 31,8 persen anak di Indonesia mengalami stunting pada 2021.
"Ada tantangan saat yang ditunjuk sebagai koordinator penanganan stunting adalah BKKBN tapi anggaran masih ada di Kemenkes. Di lapangan juga komunikasi antar intansi ini masih terjadi. Ada ego sektoral yang masih terjadi. Ini harus segera diatasi," ujar Anggota Komisi IX DPR RI tersebut.
Dari segi ibu, Mufida menilai kasus perceraian keluarga terus mengalami peningkatan. Menurutnya, persentase perceraian naik menjadi 6,4 persen dari 72,9 juta rumah tangga di Indonesia atau terjadi pada 4,7 juta keluarga pada 2020. Data Kemendagri juga mengkonfirmasi terjadinya peningkatan perceraian ini dimana hingga akhir Juni 2021 ada 3.97 keluarga berstatus cerai.
Bahkan menurutnya masyarakat mengalami gejolak jiwa yang berat selama pandemi. Hal itu merujuk pada data Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) merilis survei sebanyak 68 persen masyarakat mengaku cemas, 67 persen depresi, dan 77 persen mengalami trauma psikologis selama pandemi.
"Bukan hanya sektor kesehatan dan ekonomi saja yang terpukul secara langsung oleh pandemi, tetapi juga persoalan keluarga, ibu dan anak," tukasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Bayu Septianto