tirto.id - Menilik kasus-kasus korupsi terbesar tahun 2024, terlihat bahwa praktik korupsi di Indonesia masih subur, dengan upaya pemberantasan korupsi yang terlihat masih stagnan. Terlebih, kondisi ini diperkeruh dengan elite politik dan pejabat dari tingkat pusat serta daerah yang terciduk melakukan rasuah.
Tak heran, berdasarkan laporan dari Transparency International Indonesia (TII) teranyar pada tahun 2023, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 34–sama dengan tahun sebelumnya. Peringkat Indonesia juga menurun dari 110 menjadi 115 dari 180 negara yang dilibatkan dalam survei tersebut.
Keterlibatan elite politik dalam kasus korupsi mengindikasikan adanya masalah sistematis yang menyuburkan praktik korupsi di pemerintahan, hukum, dan budaya politik di Indonesia. Aksi lancung para elite politik berdampak signifikan bagi stabilitas sosial dan ekonomi, dan semakin memperburuk kepercayaan publik terhadap integritas pemerintahan.
Di survei lembaga Indikator Politik Indonesia pada 18-21 Februari 2024, misalnya, tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi mengalami penurunan. Sebelum pemilu, kepercayaan publik ke Jokowi mencapai 78,6 persen, tapi menurun menjadi 76,6 persen usai pemilu. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap penurunan ini adalah penegakan hukum yang dianggap masih kurang.
Terlebih, kepentingan politik masih sering memperkeruh proses penegakan hukum dalam praktik pemberantasan korupsi. Politisasi praktis bakal menggerus efektivitas pemberantasan korupsi dan merusak persepsi publik terhadap sistem hukum.
Ketika proses hukum dipengaruhi oleh kepentingan politik, keadilan menjadi terdistorsi, dan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap integritas lembaga penegak hukum. Skor 34 Indonesia di laporan TII menunjukkan bahwa Indonesia masih masuk di kategori negara dengan keadaan “Korupsi Tinggi hingga Menengah”. Negara dengan di kategori ini menunjukkan kesadaran yang lebih tinggi tentang masalah korupsi, namun kerap terbentur tantangan. Proses hukum hadir, tetapi tidak selalu diterapkan secara adil atau konsisten.
Kasus-Kasus Korupsi Besar 2024
Tahun 2024 memang dipenuhi dengan kasus-kasus korupsi yang memantik perhatian dan kegeraman publik. Atensi publik terpusat pada besarnya duit haram pada kasus-kasus ini, aktor-aktor yang terlibat, skandal yang akhirnya mengungkap borok lain, hingga intrik politik kekuasaan yang menyelubungi kasus-kasus ini. Kondisi ini ini menegaskan bahwa tuntutan publik untuk menyelesaikan kasus-kasus rasuah secara transparan dan adil begitu besar.
Teranyar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Selasa (24/12/2024) sore, akhirnya menetapkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, sebagai tersangka suap terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum 2017-2022, Wahyu Setiawan.
Kasus ini buntut dari perkara Harun Masiku yang telah menjadi tersangka dan buronan sebab tidak diketahui keberadaannya setelah lolos dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2020 silam. Hasto ditetapkan menjadi tersangka rasuah suap penetapan pergantian antarwaktu anggota DPR terpilih 2019-2024. Ia juga ditetapkan tersangka dalam perkara dugaan perintangan penyidikan.
Kasus Harus Masiku sejatinya sudah bergulir sejak 2019, dan Hasto memang dikait-kaitkan dalam upaya menyuap Wahyu Setiawan. Surat perintah penyidikan terhadap Hasto tertuang dalam nomor Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tertanggal 23 Desember 2024. KPK berdalih baru bisa menetapkan Hasto sebagai tersangka tahun ini karena kelengkapan alat bukti.
Penyidik KPK menemukan keterlibatan Donny Tri Istiqomah – orang dekat Hasto – dalam perkara suap terhadap Wahyu. Suap diduga diberikan untuk memuluskan penetapan Harun Masiku sebagai DPR 2019-2024 terpilih untuk menggantikan Nazarudin Kiemas. Wahyu sendiri sudah menjadi tersangka dan divonis 6 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 24 Agustus 2020. Wahyu mendapat bebas bersyarat pada 6 Oktober 2023. Adapun pada 27 Juli 2024, KPK kembali memeriksa Wahyu sebagai saksi untuk pengembangan penyidikan kasus Harun Masiku. Baik PDIP dan Hasto berkukuh apa yang dilakukan KPK sebagai bentuk politisasi hukum, KPK membantah tudingan ini.
Kasus dugaan rasuah lain yang menjadi sorotan publik adalah perkara yang menjerat Tom Lembong. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) menetapkan eks Menteri Perdagangan era Presiden Jokowi, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, sebagai tersangka pada rasuah importasi gula. Kejagung menjelaskan bahwa kasus ini bergulir sejak Oktober 2023 dan tidak ada hubungannya dengan politisasi kasus.
Kasus yang menyandung eks wakil pimpinan barisan tim pemenangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) di Pilpres 2024 itu, disebut Kejagung terjadi pada periode 2015-2016 saat Tom masih menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Tom Lembong diduga menyalahi prosedur dalam pemberian izin impor gula pada 2015. Padahal, berdasarkan rapat koordinasi antarkementerian pada 12 Mei 2015, disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus atau kelebihan stok gula, sehingga tidak perlu impor gula. Namun, Tom Lembong saat tetap menyetujui surat keputusan untuk dilakukan impor.
Dalam kasus Tom Lembong, penyidik turut menetapkan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia periode 2015-2016, Charles Sitorus, sebagai tersangka. Kejagung mengklaim penyidikan kasus yang berlangsung setahun itu dilakukan dengan memeriksa sekitar 90 saksi. Kejagung turut menghadirkan ahli dan menghitung kerugian negara yang disebut mencapai Rp400 miliar. Selasa (26/11/2024) lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan Tom Lembong.
Pada tahun ini, Kejagung juga telah mengungkap pusaran perkara rasuah tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Kejagung bahkan menyebut kerugian negara karena perkara ini, berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencapai sekitar Rp300-an triliun. Bukan saja angka korupsi yang fantastis, perkara korupsi perkara PT Timah juga menjadi sorotan publik sebab melibatkan para pesohor seperti Harvey Moeis, suami dari Sandra Dewi, serta pesohor kaya raya asal PIK, Helena Lim. Kasus korupsi PT Timah sedikitnya telah menyeret 22 tersangka hingga akhir tahun 2024.
Pada 23 Desember 2024, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara terhadap Harvey Moeis. Langkah ini menuai kritik, baik dari publik maupun mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, yang menilai vonis ini terlalu ringan, jika dibanding kerugian negara dari kasus korupsi tersebut.
Bulan Desember 2024 ini, KPK turut bergerak melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi terkait kasus dugaan korupsi dalam program sosial Bank Indonesia (PSBI). KPK sudah menggeledah kantor BI dan kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kasus yang sudah ramai diperbincangkan sejak pertengahan tahun ini memang lebih dikenal dengan perkara kasus dugaan korupsi dana CSR Bank Indonesia. Program dana CSR rutin yang dilakukan BI dan BI daerah ini diduga diselewengkan dan menguntungkannya sejumlah pihak. KPK juga sempat memanggil beberapa Anggota Komisi XI DPR RI terkait kasus yang masih bergulir ini.
Kejagung juga mengungkap kasus mafia peradilan di lingkup Mahkamah Agung (MA) pada Oktober 2024 lalu, yang melibatkan eks pegawai MA, Zarof Ricar. Dalam kasus tersebut, Jampidsus Kejagung menyita uang lebih dari Rp920 miliar serta emas Antam dengan total 51 kilogram. Aksi Zarof terungkap karena terseret dugaan suap hakim kasasi perkara Ronald Tannur, tersangka pembunuhan Dini Sera. Selain Zarof, belakangan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menangani kasus Ronald juga menjadi tersangka penerimaan suap dan gratifikasi.
Kuasa hukum Ronald, Lisa Rahmat; serta ibu kandungnya, Meirizka Widjaja juga ditetapkan sebagai tersangka. Kasus Ronald dan Zarof menambah daftar panjang kasus lancung mafia peradilan di lingkup Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya yang berulang terjadi di Indonesia.
Terakhir, ada kasus rasuah di lingkup Pemprov Kalimantan Selatan, yang menyeret Sahbrin Noor alias Paman Birin. Sebelumnya, Paman Birin yang juga paman dari pengusaha batu bara ternama, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, sempat dinyatakan melarikan diri oleh KPK. Pasalnya, Sahbirin tidak ditemukan meski KPK melakukan penggeledahan di beberapa lokasi yang diduga sebagai tempat persembunyian, termasuk kantor, rumah dinas, maupun rumah pribadi. Kini, ia sudah bebas dari status tersangka usai Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan sebagian permohonan praperadilan Sahbirin pada bulan lalu.
Sahbirin merupakan salah satu dari tujuh tersangka yang ditetapkan KPK dalam kasus dugaan korupsi tiga proyek di Provinsi Kalsel yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Kasus ini terungkap lewat OTT yang dilakukan KPK awal Oktober lalu. Dari operasi tangkap tangan itu, KPK menyita uang sebanyak Rp12 miliar. Setelah lolos OTT KPK dan menang praperadilan, Paman Birin mundur dari jabatannya sebagai Gubernur Kalsel.
Kasus-kasus di atas hanya menggambarkan secuil dari maraknya kasus-kasus rasuah yang menjadi perhatian publik tahun ini. Masih banyak perkara lainnya yang masih menjadi sorotan dan bahkan belum menemui titik terang. Sebut saja kasus Firli Bahuri – bekas ketua KPK – yang terseret kasus korupsi di Kementerian Pertanian. Kasus Firli mandek saja dan dirinya seperti tidak pernah terlihat batang hidungnya.
Belum lagi dugaan kongkalikong perkara judi online pada lingkup Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang sekarang menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital. Kasus ini diduga baru menyasar operator lapangan, dan belum menjerat aktor intelektual di baliknya.
Kasus-kasus ini harus dibabat secara tuntas jika Indonesia ingin keluar dari dekadensi pemberantasan korupsi.
Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menilai pemberantasan korupsi di Indonesia tahun 2024 tidak mengalami perbaikan signifikan. Bahkan jika dibandingkan tahun sebelumnya, Orin melihat keadaan yang justru memburuk.
“Bisa dilihat dari turunnya IPK [di laporan TII] dan kecenderungan tebang pilih kasus. Termasuk vonis ringan bagi para koruptor,” kata Orin dihubungi reporter Tirto, Senin (30/12/2024).
Orin melihat bahwa penegakan hukum di Indonesia belum memberikan efek jera bagi para koruptor. Keadaan ini semakin centang perenang dengan kehadiran para mafia peradilan. Ia menilai sanksi hukum juga belum optimal dalam mengembalikan kerugian keuangan negara.
Minimnya denda yang dijatuhkan, termasuk uang pengganti dalam denda subsider hukuman, membuat koruptor, yang sudah divonis putusan inkracht, lebih memilih penjara dibandingkan harus kehilangan materi. Berbagai kondisi ini, kata Orin, mengharuskan negara berbenah.
Hal ini bisa dimulai dari instrumen hukum yang semestinya didorong agar lebih responsif untuk memberantas praktik korupsi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan pengesahan RUU Perampasan Aset, yang sayangnya masih tak jelas rimbanya.
Perlu diketahui, RUU Perampasan Aset terkait dengan Tindak Pidana tidak masuk dalam 41 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Tahun 2025. RUU Perampasan Aset hanya bercokol sebagai salah satu dari 178 RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2025-2029.
Kemudian, Orin juga menyebut, orang-orang yang berada di lembaga penegakan hukum yang menangani korupsi juga perlu dipilih dengan ketat. Cara pemilihannya perlu dievaluasi. Mereka haruslah individu yang berkualifikasi tinggi, menjaga integritas, dan profesional.
“Harus dipilih dengan cara-cara yang memiliki basis ilmiah, termasuk bebas intervensi politik agar mereka menjalankan tupoksinya tanpa tersandung konflik kepentingan,” tegas Orin.
Sementara Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, menilai tahun 2024 adalah tahun nepotisme. Praktik korupsi masif terjadi dalam beragam bentuk, mulai dari favoritisme atau fenomena orang dalam, hingga konflik kepentingan dalam kebijakan. Dalam konteks transisi kekuasaan Pemilu dan Pilkada 2024, praktik nepotisme juga dinilai masih terlihat jelas.
“Seperti pada proses pemilihan kandidasi yang mengedepankan dinasti politik, pemilihan pimpinan KPK yang punya loyalitas ganda, hingga susunan kabinet gemuk yang kental ordal-nya,” kata Alvin kepada reporter Tirto, Senin (30/12/2024).
Keadaan ini menjadi momen krusial karena banyak kasus korupsi berawal dari kegagalan mengurangi nepotisme dan konflik kepentingan di ranah politik. Secara jangka panjang, kata Alvin, jika fenomena ini terus dibiarkan, amat berbahaya bagi kualitas demokrasi dan sistem politik Indonesia.
Imbasnya, hanya semakin melahirkan pemimpin-pemimpin korup dan despotik, yang cuma mengerti cara mengeruk kekuasaan sembari terus memproteksi diri dari jerat hukum. Alvin berharap ke depan, aturan seputar konflik kepentingan di lingkup elite politik dapat dibahas dan diperundangkan. Hal ini diharapkan mampu memperbaiki situasi korup di Indonesia.
“Bisa menaikkan level Peraturan Menteri PANRB terbaru soal konflik kepentingan dan juga kembali menggulirkan wacana RUU Etika Pejabat Publik,” ujar Alvin.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty