Menuju konten utama

10 Tahun Android: Besar karena Ponsel Pintar Cina

Jika bukan karena hasrat menyaingi iPhone, sistem operasi Android tidak akan secanggih hari ini. Makin populer setelah dipakai ponsel-ponsel Cina.

10 Tahun Android: Besar karena Ponsel Pintar Cina
Ilustrasi android. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dalam satu dekade terakhir, dunia teknologi mengalami perubahan pesat, khususnya di sektor teknologi mobile. Telepon pintar, misalnya, luar biasa cepat berevolusi dan berdampak pada perubahan dunia. Namun, di tengah-tengah pusaran itu, tidak dapat dipungkiri, sistem operasi Android-lah yang jadi motornya.

Pada Oktober 2018 menandai 10 tahun dirilisnya sistem operasi Android ke pasaran. Melalui penjualan HTC model T-Mobile G1 (atau juga dikenal dengan nama HTC Dream di luar Amerika Serikat), konsumen mulai pertama kali bersentuhan dengan sistem operasi ini pada 22 Oktober 2008.

HTC G1 bukanlah ponsel yang atraktif, terlebih jika dibandingkan dengan iPhone 3G milik Apple yang juga baru dirilis pada Juli tahun yang sama. G1 lebih menawarkan kepraktisan ponsel untuk berbisnis, mirip dengan desain dari BlackBerry yang saat itu tengah jaya-jayanya.

Seperti ditulis oleh Stephen Lambrechts di laman TechRadar, G1 memiliki kibor fisik model geser, layar 3,17 inci serta bola tetikus dengan ketebalan 16 mm. Sebuah bahasa desain yang jauh dari seksi. Kendati demikian, kesuksesan penjualan G1 yang mencapai lebih dari satu juta unit menandakan peluang pasar di luar iPhone yang telah menarik perhatian publik sejak 2007.

Namun, percaya atau tidak, Android sesungguhnya tidak dibuat dengan bayangan iPhone sebagai rival utamanya. Ia didesain untuk menyasar Microsoft melalui Windows yang pada saat itu begitu dominan di pasar komputer personal (personal computer/PC).

Dilansir dari TheVerge, saat itu terdapat sejumlah sistem operasi ponsel pintar yang telah mapan di pasaran. BlackBerry ada di puncak, sementara Symbian yang kerap digunakan oleh Nokia sudah memasuki usia senja. Microsoft saat itu tengah melakukan transformasi sistem operasi ponsel pintar dari Windows Mobile menuju Windows Phone.

Android dibuat di tengah ketakutan para pelaku bisnis teknologi, dalam hal ini Google dan Andy Rubin, bahwa Microsoft dapat melakukan monopoli di sektor industri ponsel pintar—sesuatu yang telah dipraktikkan perusahaan Bill Gates ini di bidang industri komputer.

Bukti ketakutan itu dapat Anda temukan pada kesaksian Eric Schmidt sebagai CEO Google dalam sidang sengketa antara Oracle dan Google pada 2012. “Saat itu, kami cukup khawatir dengan produk-produk Microsoft,” kata Schmidt, masih dikutip dari The Verge.

“Sekarang, pernyataan itu mungkin kurang masuk akal. Namun, waktu itu, kami sangat khawatir kalau strategi mobile Microsoft akan sukses.”

Ia menambahkan, saat itu iPhone belum diluncurkan sehingga revolusi dunia ponsel pintar yang dipantik oleh iPhone belum terjadi.

Saat itu, Google dan Rubin, terang Schimdt, ingin membuat sebuah platform bebas halangan lisensi yang menurut mereka menghambat laju industri teknologi. Mereka percaya bahwa Android mampu menciptakan platform alternatif yang dapat diakses bebas dan berkembang pesat.

Apa yang dikatakan oleh Schimdt kini sudah menjadi kenyataan.

Sepuluh tahun sejak dirilis, Android terbukti jadi jawara, menggeser dominasi sistem operasi iOS pada iPhone milik Apple. Berdasarkan data dari Statista, hingga kuartal II-2018 sebanyak 88 persen dari semua ponsel pintar yang terjual ke konsumen adalah ponsel Android. Penetrasi pasar iOS, sementara itu, hanya mencapai 11,9 persen.

Besar karena Apple dan Cina?

Sejak awal dipasarkan, Android memang memiliki sejumlah fitur yang bahkan sulit disaingi iOS hingga saat ini. Selain integrasi ke Google yang menyeluruh, sistem notifikasi Android jauh lebih superior dibandingkan iOS.

Meski demikian, Rubin sendiri mengakui bahwa iPhone berperan besar dalam mengubah arah pengembangan Android. Atlantic melaporkan, Rubin yang menyaksikan acara peluncuran iPhone dari dalam mobil terkejut bukan kepalang melihat desain revolusioner produk terlaris Apple itu: berfokus pada interaksi layar sentuh tanpa stylus atau tombol lainnya.

“Bajingan!” katanya kepada seorang kolega yang semobil dengan Rubin saat itu. “Kita sepertinya tidak akan menjual ponsel itu,” ujar Rubin mengacu pada ponsel Android pertama berkode Sooner yang tengah digarap Google.

Meski aspek perangkat lunaknya baik, Sooner tidak menarik secara visual. Ponsel inilah yang kemudian dijual dengan nama HTC T-Mobile G1.

Sejak itu, secara tak langsung Apple mempengaruhi produksi ponsel-ponsel Android. Salah satu yang paling menarik perhatian, tentu saja, datang dari Samsung melalui seri Galaxy S-nya yang mulai dirilis sejak 2011.

Masih mengutip Techradar, seri pertama Samsung Galaxy memiliki model yang terinspirasi iPhone, dengan layar Super AMOLED yang lebih superior. Ketika Galaxy S2 dirilis, Samsung langsung melesat memimpin penjualan ponsel pintar Android.

Ketika Samsung mulai memiliki ciri desainnya sendiri, kemudian datanglah ponsel-ponsel produksi Cina. Cina sendiri sudah sejak lama menjadi negara pilihan Apple untuk memproduksi produk-produknya.

Apple bekerja sama dengan perusahaan Cina Foxconn sejak 2000. Waktu itu, Foxconn yang bermarkas di Shenzen diminta untuk memproduksi komputer iMac. Kerjasama tersebut berlanjut ke produksi iPhone. Kini, kota Shenzhen telah berkembang menjadi salah satu kota teknologi di negeri tirai bambu itu.

Cina memang peniru yang baik. Dalam praktik yang disebut sebagai ‘fenomena Shanzhai’ itu, banyak produsen Cina memproduksi ponsel-ponsel dengan harga jauh lebih terjangkau dari iPhone. Kebanyakan ‘replika’ iPhone itu menggunakan sistem operasi Android.

Xiaomi adalah perusahaan besar Cina yang pertama menerapkan siasat ini. Mayoritas produk mereka terinspirasi—jika tak bisa dibilang meniru—produk-produk teknologi Barat dan dijual dengan margin keuntungan yang tipis. Banyak pengamat mengatakan bahwa ponsel pintar Xiaomi hampir serupa dengan bahasa desain iPhone ataupun Galaxy S.

Dua perusahaan ponsel pintar raksasa yang lain Vivo dan Oppo—yang sebenarnya sama-sama diproduksi oleh perusahaan BBK Electronics Corporation—menyusul langkah Xiaomi. Vivo, misalnya, memproduksi sistem operasi berbasis Android bernama Funtouch OS.

Infografik Perjalanan 10 Tahun Android

Seperti dilaporkan oleh The Verge, Funtouch OS bisa dikatakan menjiplak iOS. Langkah ini jelas telah dikalkulasi sebelumnya, mengingat ratusan juta orang di Cina menggunakan iPhone. Dengan aplikasi WeChat yang lebih beken di Cina ketimbang iMessage plus tampilan jiplakan iPhone, langkah Vivo sangat masuk akal.

Demikian pula dengan aplikasi kamera yang terdapat di Xiaomi, Vivo dan Oppo; sulit menyangkal kemiripannya dengan aplikasi kamera di iOS.

“Saya benar-benar menyaksikan bukti bahwa sejumlah perusahaan meniru Apple atau mencoba untuk membuat UI yang sangat mirip dengan iOS,” kata Pete Lau, CEO OnePlus, salah satu perusahaan ponsel milik BKK Electronics, masih dari The Verge.

“Mereka mungkin meniru karena beranggapan bahwa produk-produk tersebut bakal mempermudah pengguna untuk pindah dari Apple dan menemukan pengalaman serupa.”

Langkah sejumlah persusahaan tersebut jelas berhasil. Berdasarkan data IDC, Huawei, Xiaomi dan Oppo tercatat sebagai tiga dari lima besar produsen ponsel pintar pada kuartal II/2018.

Samsung masih di peringkat satu dan Huawei kedua. Adapun Apple ada di posisi ketiga, disusul oleh Xiaomi dan Oppo.

Meski demikian, perusahaan-perusahaan Cina itu mulai mengambil langkah yang lebih revolusioner dari Apple dan bahkan Samsung dalam beberapa tahun terakhir. Terobosan dalam produk-produk seperti Mi Mix (Xiaomi), Find X (Oppo), P20 Pro (Huawei), dan Vivo Nex (Vivo) adalah bukti sahih bahwa merek-merek ini berusaha lepas dari bayang-bayang desain Apple maupun Samsung.

Melihat tren yang tengah berlangsung, bukan tak mungkin dalam beberapa tahun ke depan Android akan lebih besar di bawah naungan perusahaan-perusahaan teknologi Cina.

Baca juga artikel terkait ANDROID atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf