tirto.id - Produk Cina identik dengan barang tiruan. Produk yang baru diluncurkan, dengan mudah bisa ditemukan tiruannya buatan Cina dalam waktu yang tidak terlalu lama. Mulai dari tas, sepatu, smartphone, hingga mobil, semua tiruannya bisa dihasilkan dari negara tersebut.
Predikat peniru memang telah lama melekat pada nama Negeri Tirai Bambu tersebut. Predikat itu semakin melekat, setidaknya dalam 10 tahun terakhir, berbarengan dengan semakin majunya teknologi. Kemampuan industri Cina – bahkan pada tingkatan industri rumahan – untuk meniru tersebut tidak main-main, terutama dalam hal presisi dan kecepatan.
Pertengahan Oktober silam, seorang pengusaha asal Israel bernama Yekutiel Sherman mengatakan pada Quartz keterkejutannya melihat produk inovatif yang berusaha ia lahirkan ke dunia untuk dapat dipasarkan telah lebih dahulu dijual pada situs belanja daring.
Produk itu adalah sebuah sarung pelindung smartphone yang dapat berfungsi pula sebagai tongkat swafoto bernama StikBox.
Sherman membutuhkan waktu satu tahun untuk mendesain StikBox. Ia telah membuat purwa rupa-nya, meminjam modal minimal yang dibutuhkan untuk memproduksi alat tersebut dari keluarganya, dan membuat video promosi akan produk itu di depan Menara Eiffel di Perancis. Setelah semuanya siap, produk tersebut pun ia perkenalkan pada bulan Desember 2015 dalam Kickstarter, sebuah situs kampanye penggalangan dana publik.
Seminggu setelah peluncuran di Kickstarter, matanya terbelalak menemukan produk yang sangat mirip dengan StikBox telah dijual di AliExpress, situs bahasa Inggris dari Alibaba, situs e-dagang paling besar di Cina. Tidak hanya dijual jauh lebih murah, namun beberapa vendor di situs itu bahkan menamai produk tiruan itu dengan nama yang sama dengan produk Sherman, StikBox.
Komentar miring pun berdatangan dari para penyokong dananya di Kickstarter terkait hal itu. "Anda menjualnya dua kali lipat lebih mahal dari harga yang dikenakan oleh para peniru itu, namun saya benar-benar ragu produk akhir Anda akan menjadi lebih baik daripada mereka," komentar salah satu orang pada laman StikBox di situs Kickstarter, seperti dikutip dari Quartz.
Sebagai catatan, kantor berita Xinhua sendiri pada November 2015 pernah melaporkan bahwa lebih dari 40 persen barang yang dijual secara daring di Cina merupakan barang tiruan, sementara hanya kurang dari 59 persen barang yang dijual merupakan barang asli. Saat ini, barang tiruan buatan Cina sudah bisa mendekati, atau bahkan melampaui, produk asli yang ditiru.
Ada pemikiran yang beredar umum di industri teknologi di Cina, yakni bukan siapa yang melakukannya pertama yang penting, namun siapa yang melakukannya paling baik yang akan menjadi pemenang.
Pendiri Alibaba Jack Ma sendiri menegaskan hal itu. Pada bulan Juni lalu, ia mengatakan bahwa barang tiruan Cina "memiliki kualitas dan harga yang lebih baik daripada yang asli" dan barang itu dibuat pula dari "pabrik yang sama" yang memproduksi barang yang asli.
Perubahan Industri di Cina
Produk tiruan di Cina mulai bermunculan pada periode 1990an hingga awal 2000an. Menurut jelas Silvia Lindtner, peneliti kultur wiraswasta Cina di University of Michiga, seperti dikutip dari Quartz, pada saat itu, pusat industri gawai dan elektronik Cina di kota Shenzen mengalami masa-masa evolusi seiring dengan meledaknya tren alih daya pada perusahaan multinasional.
Perusahaan-perusahaan global itu menandatangani kontrak dengan produsen lokal di Shenzhen untuk mendesain dan memroduksi bagian demi bagian. Kontraktor ini kemudian akan mengalihkannya ke sub-kontraktor yang lebih kecil untuk membantu memenuhi pesanan. Sebagai catatan, banyak pabrik-pabrik yang terlibat dalam rantai pasokan terfragmentasi tersebut merupakan badan usaha milik keluarga kecil yang beroperasi tanpa persetujuan pemerintah.
Saat para sub-kontraktor itu bekerja bersama-sama, mereka menyadari bahwa mereka bisa melakukan lebih dari sekadar menyediakan suku cadang yang berakhir pada perangkat keras ternama. Mereka bisa menciptakan produk-produk saingan mereka sendiri, dan menjangkau pelanggan yang terlalu miskin untuk membeli ponsel iPhone besutan Apple misalnya, jelas Lindtner. Inilah yang kemudian dikenal dengan fenomena Shanzhai.
Seiring dengan perkembangan zaman, kultur tersebut pun berkembang. Mereka tidak hanya menjadi pemain lokal, tetapi juga mendunia. Xiaomi merupakan salah satu contohnya. Xiaomi pada awalnya mengembangkan peralatan elektronik untuk konsumer yang terinspirasi, jika tidak bisa dibilang mirip, dengan produk-produk jualan raksasa teknologi di Barat dengan margin penjualan yang tipis. Banyak pengamat yang mengatakan, bahwa smartphone mereka, misalnya, hampir serupa dengan bahasa desain iPhone milik Apple, atau Galaxy seri S keluaran Samsung.
Setelah Xiaomi mendapatkan paparan internasional yang kuat, raksasa teknologi Cina itu kemudian mengembangkan sejumlah piranti elektronik lain, yang semuanya dapat terhubung dalam ekosistem yang diciptakan Xiaomi.
Langkah ini pun kemudian ditiru oleh produsen teknologi Cina yang lain, seperti Huawei, Vivo dan Oppo. Hasilnya juga cukup menjanjikan, perusahaan-perusahaan itu mampu menjual smartphone lebih banyak dari Xiaomi di Negeri Tirai Bambu itu.
Terdapat pula sejumlah perusahaan yang bergerak ke arah yang berbeda dari Xiaomi. Beberapa kemudian mengikuti tren industri dunia dengan cara melakukan akuisisi, entah itu penemuan, merek, ataupun jaringan distribusi global. Akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan internet Tencent Holdings Ltd. terhadap perusahaan game asal Finlandia Supercell Oy adalah salah satu contohnya.
Sebagai catatan, Supercell merupakan developer game pembuat permainan smartphone yang cukup fenomenal "Clash of Clans."
Terlepas dari itu semua, kemajuan teknologi kemudian melahirkan pula sejumlah perusahaan yang benar-benar menelurkan produk inovatif dan berdiri sebagai pemimpin pasar global. Dajiang Innovation, atau yang lebih dikenal dengan nama DJI adalah salah satu pemain pertamanya. Sebagai catatan, Forbes melaporkan bahwa tahun lalu perusahaan pembuat drone ini mendominasi pasar drone dunia dengan pangsa pasar sebesar 70 persen.
Laju DJI juga sepertinya sulit untuk dihentikan. Ketika perusahaan kamera aksi asal Amerika Serikat berusaha mencuri pasar drone dengan meluncurkan salah satu drone paling kompak di dunia, Karma, pada September lalu, misalnya, DJI beberapa minggu kemudian menghajarnya dengan meluncurkan drone dengan bentuk yang lebih kompak lagi dengan nama Mavic Pro.
Untuk mempertahankan tahta dan menajamkan inovasinya, DJI bahkan membuat kompetisi robot bertajuk RoboMasters guna menjaring insinyur-insinyur muda bertalenta di Asia dalam kolam talenta mereka.
Sebagai catatan, Jepang sesungguhnya juga pernah mengalami perputaran yang sama dengan Cina pada awal kebangkitan industrinya tahun 1850’an hingga awal 1860’an. Ketika itu, perusahaan-perusahaan Jepang meniru produk-produk industri Barat untuk kemudian diproduksi oleh mereka sendiri.
Tantangan industri Cina ke depan kemudian adalah bagaimana mereka mampu membuat produk-produk industrinya mengglobal. Sebab, hingga saat ini, sebagian besar masih bermain dalam pasar dalam negeri. Hal ini menjadi tantangan tersendiri mengingat semakin menumpuknya perusahaan start-up baru dalam pasar yang relatif stagnan.
Akan menarik pula apabila Indonesia mampu melakukan hal serupa yang dilakukan oleh Cina dan Jepang.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Zen RS