Menuju konten utama

Siapa Paling Untung di Era Digital: Apple, Google atau Aramco?

Di tengah gempuran perusahaan teknologi, perusahaan minyak masih punya taji.

Siapa Paling Untung di Era Digital: Apple, Google atau Aramco?
Fasilitas Saudi Aramco Juaymah di Arab Saudi. Ekspansi luar negeri adalah bagian dari rencana Putra Mahkota Mohammad bin Salman untuk meningkatkan ekonomi negaranya. FOTO/REUTERS

tirto.id - Semua bermula pada tahun 1932. Saat itu, Ibn Saud sukses mempersatukan empat wilayah bernama Hejaz, Najb, Arab Timur, dan Arab Selatan menjadi sebuah negara tunggal bernama Arab Saudi secara resmi. Lalu, kesuksesan menyatukan Arab tersebut menciptakan kekuatan baru pada Saud untuk menemukan satu lagi kesuksesan lanjutan: minyak.

Saud, dibantu ahli-ahli geologi Amerika Serikat, sukses menemukan ladang minyak di negeri di Jazirah Arab itu. Hanya berselang satu tahun selepas Arab Saudi tercipta, tepatnya pada bulan November 1933, negeri itu menandatangani perjanjian konsesi minyak dengan Standar Oil Company of California. Perjanjian tersebut jadi cikal bakal terciptanya perusahaan minyak dan gas paling berjaya hari ini: Aramco.

Aramco merupakan perusahaan minyak dan gas paling kuat di dunia. Dalam daftar yang dirilis Forbes, perusahaan bernama lengkap Saudi Arabian Oil Company, memproduksi 12,5 juta barel minyak tiap harinya. Angka itu jauh melebihi perusahaan-perusahaan minyak dan gas manapun. Gazprom, pesaing terdekat Aramco, hanya sanggup memproduksi 9,7 juta barel minyak per hari. Berkat produksi minyak yang besar itu, Aramco mampu memperoleh pendapatan hingga $1 miliar dalam satu hari.

Laporan yang dipublikasikan Bloomberg pun menegaskan kejayaan Aramco. Dibandingkan perusahaan minyak dan gas lain di seluruh dunia, Aramco paling untung. Separuh pertama 2017 lalu, Aramco memperoleh laba bersih sebesar $33,8 miliar. Ini sangat jauh dibandingkan Exxon maupun Shell yang masing-masing memperoleh laba bersih sebesar $7,4 miliar. Laba bersih setengah tahun Aramco itu bahkan tidak bisa dikejar oleh Chevron, yang dahulu dikenal dengan nama Standar Oil Company of California. Chevron sepanjang tahun 2017 hanya memperoleh laba bersih sebesar $9,1 miliar.

Sebagai perusahaan yang dikontrol oleh pemerintah Arab Saudi, laba bersih sebesar itu sudah pasti memberikan kontribusi besar pada negara.

“Ini adalah perusahaan yang menyajikan porsi signifikan untuk PDB Arab Saudi,” ucap Amin Nasser Chief Executive Officer Aramco pada Reuters.

Aramco berjaya bukan hanya di tengah-tengah perusahaan minyak dan gas. Namun, ia juga unggul atas perusahaan-perusahaan teknologi dunia, yang saat ini disebut sebagai penguasa perekonomian dan memiliki valuasi yang tinggi.

Dalam laporan yang sama yang diunggah Bloomberg, tidak ada perusahaan teknologi yang memperoleh laba bersih separuh tahun mengalahkan Aramco. Apple, yang nilai perusahaannya ditaksir $898 miliar, hanya mencatatkan laba bersih sebesar $28,9 miliar selama semester I tahun 2017. Lalu, disusul oleh Samsung ($14 miliar) dan Microsoft ($13,8 miliar). Alphabet, induk perusahaan Google, mengekor di belakang dengan laba bersih sebesar $11,7 miliar.

Aramco, secara sederhana, jadi perusahaan paling tokcer. Namun, sesungguhnya Aramco tidak sendirian. Perusahaan minyak dan gas, dari dulu hingga hari ini, tetap menguntungkan meskipun zaman terus berubah.

Minyak Masih Berjaya di Zaman Platform

Dalam artikel yang diunggah Business Insider, dunia industri, khususnya di Amerika Serikat, dibagi ke dalam 3 pembabakan waktu yakni industrial era, hardware era, dan platform era.

Pada industrial era, yang dimulai tahun 1917, sektor yang berkembang adalah industri manufaktur. Pada hardware era, yang dimulai pada 1967, perusahaan-perusahaan yang menciptakan barang konsumen (consumer goods) jadi jawara. Terakhir, platform era, yang dimulai pada tahun 2017 lalu, merupakan era bagi perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan dunia teknologi.

Saat ini dunia memasuki platform era. Perusahaan-perusahaan teknologi berkuasa. Di Amerika Serikat, dari sepuluh besar perusahaan paling bernilai, lima teratas diduduki perusahaan teknologi. Di platform era ini, Apple mencatatkan diri yang paling unggul. Ia merupakan perusahaan yang ditaksir memiliki nilai sebesar $898 miliar.

Setelah Apple, posisi 2 hingga 5 diduduki oleh Alphabet, induk usaha Google (nilai perusahaan sebesar $719 miliar), Microsoft ($644 miliar), Amazon ($543 miliar), dan Facebook ($518 miliar).

Infografik Aramco

Vicent Chong, Chief Executive Officer Singapore Technologies Engineering, secara tersirat mengatakan bahwa unggulnya perusahaan teknologi disebabkan perusahaan jenis ini sanggup memberi pemecahan masalah yang beragam dan kian kompleks di masa ini.

“Bisnis menghadapi tantangan untuk memecahkan masalah yang kian beragam dan kompleks (yang ada di masyarakat),” kata Chong sebagaimana termuat dalam Nikkei.

Salah satu contoh produk teknologi yang sanggup memberi pemecahan masalah bagi masyarakat ialah peta digital. Dari peta digital saja, masalah tentang ketidaktahuan rute hingga informasi tentang kemacetan bisa diperoleh masyarakat.

Namun, meskipun kini dunia didominasi perusahaan teknologi, perusahaan-perusahaan minyak dan gas sesungguhnya masih tetap berjaya. Mereka bahkan sukses melintasi segala zaman mulai dari industrial era, hardware era, dan kini platform era.

Di industrial era, Standard Oil of N.J. mencacatkan dirinya menduduki perusahaan paling bernilai nomor 3 di Amerika Serikat. Kala itu, perusahaan ini bernilai $10,7 miliar. Lalu, di hardware era, ada 3 perusahaan minyak dan gas asal Amerika Serikat yang menjadi perusahaan paling unggul yakni Standar Oil of N.J., Texaco, dan Gulf Oil. Terakhir, di platform era, ExxonMobil mencuat jadi salah satu yang bernilai. Duduk di posisi ke-8, ExxonMobil diperkirakan memiliki nilai sebesar $350 miliar.

Salah satu alasan mengapa perusahaan-perusahaan minyak masih tetap berjaya ialah karena masyarakat global masih membutuhkan produk mereka. Salah satunya adalah untuk menjalankan kendaraan yang menopang mobilitas penduduk di seluruh dunia.

Dengan jumlah kendaraan yang tidak pernah berkurang, maka kebutuhan terhadap bahan bakar juga tidak akan surut. Ward Auto, dalam satu satu risetnya menyatakan bahwa pada tahun 2010, ada 1,015 miliar unit kendaraan yang berlalu-lalang di dunia. Mayoritas dari angka itu merupakan kendaraan yang harus mengkonsumsi minyak agar bisa berjalan.

Di Indonesia misalnya, ada 105.150.082 sepeda motor dan 14.580.666 mobil yang berjalan per tahun 2016 lalu. Keseluruhan kendaraan tersebut, wajib mengkonsumsi bahan bakar minyak untuk beroperasi.

Itu belum termasuk kebutuhan untuk menjalankan mesin-mesin produksi di seluruh dunia, juga produk-produk turunan minyak yang sangat dibutuhkan masyarakat di seluruh dunia. Inilah yang mengakibatkan ExxonMobil, Aramco, atau perusahaan minyak lain masih memperoleh pendapatan tinggi hingga hari ini.

Tantangan ke Depan

Perusahaan minyak masih memiliki taji hingga saat ini. Namun, tidak ada yang berani memastikan hal tersebut akan berlangsung selamanya.

“Perusahaan minyak dan gas sedang divisum. Hasilnya, ada tekanan sisi ekonomi dan teknologi. Ada juga tekanan dari sisi politik dan aktivis perubahan iklim,” kata Mark Lewis, Chief Energy Economist Kepler Cheuvreux.

Salah satu tekanan yang dihadapi adalah munculnya beragam produk energi alternatif. Misalnya saja dengan mulai berkembangnya mobil berbahan bakar listrik. Apalagi, kampanye untuk meninggalkan bahan bakar fosil ini cukup marak. Elon Musk, termasuk salah satu yang gencar mempromosikan mobil listrik dan mengecam industri minyak.

“Setiap mobil berbahan bakar minyak memperoleh subsidi (dari pemerintah),” kata Musk. “Kita perlu mendidik masyarakat untuk melakukan perlawanan pada propaganda industri bahan bakar fosil yang luar biasa ini (agar bisa digunakan ke kepentingan lain),” tambahnya.

Selain tekanan dari luar, perusahaan-perusahaan minyak dan gas pun memperoleh tekanan dari dalam dirinya sendiri. Salah satu artikel yang termuat di Mother Jones mencatat bahwa penciptaan tambang minyak baru kini mengalami peningkatan hingga 120 persen sejak tahun 2000 lalu. Padahal, permintaan atas minyak hanya bertambah 11 persen saja.

“Setiap tahun, perusahaan minyak dan gas mesti mengganti pompa minyak warisan yang murah dengan pompa minyak yang lebih mahal,” kaya Lewis.

Tekanan-tekanan itu bisa jadi akan menggerus kinerja perusahaan minyak ke depan, meski kemungkinan untuk melewati era-era baru juga tetap terbuka lebar.

Baca juga artikel terkait MINYAK BUMI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti