Menuju konten utama

10 Pemberontakan yang Pernah Terjadi di Indonesia

Daftar pemberontakan di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan ada banyak. Contoh pemberontakan dalam hal ini biasanya menyangkut konflik politik.

10 Pemberontakan yang Pernah Terjadi di Indonesia
Ilustrasi sejarah Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun 1948. wikimedia commons/domain publik

tirto.id - Kasus pemberontakan di Indonesia banyak terjadi sejak masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga setelah kemerdekaan.

Contoh pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Sebagai misal, konflik politik dalam pemberontakan PKI Madiun disebabkan oleh pertikaian antara pemerintah dan koalisi Front Demokrasi Rakyat (FDR).

Kasus pemberontakan di Indonesia bisa diklasifikasi menjadi tiga periode, yakni pada masa Hindia Belanda, Jepang, dan pasca-kemerdekaan.

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, kasus pemberontakan di Indonesia ditujukan untuk melawan kolonialisme. Akan tetapi, pasca-kemerdekaan, contoh konflik politik yang terjadi biasanya berkaitan dengan pemberontakan oleh sekelompok tertentu yang berupaya memisahkan diri dari Indonesia.

Saimi, Irhamdi, dan Idul Adnan,dalam jurnal Studi Analisis Pemberontakan dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (2022), menjelaskan empat bentuk pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, meliputi:

  • Rencana atau niat untuk tidak ikut dan melawan pemerintah yang sah di dalam satu-satu Negara.
  • Niat hendak menaklukkan daerah negara seluruhnya atau dengan maksud hendak memisahkan sebagian dari daerah negara tersebut.
  • Niat hendak membunuh presiden atau wakil presiden atau dengan maksud untuk merampas kemerdekaannya dengan alasan bahwa tidak cakap dalam memerintah.
  • Menggulingkan/menyerang pemerintah yang dimaksudkan untuk merusak atau mengganti pemerintahan dengan cara yang tidak sah terhadap susunan pemerintahan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.

Daftar Pemberontakan yang Pernah Terjadi di Indonesia

Berikut ini 10 contoh pemberontakan yang terjadi di Indonesia setelah kemerdekaan, pada masa pendudukan Jepang, serta di era kolonialisme Belanda:

1. Pemberontakan Petani Banten

Pemberontakan petani Banten atau Geger Cilegon 1888 terjadi pada Senin, 9 Juli 1888 di wilayah Cilegon, Banten Indonesia. Pemberontakan ini merupakan gerakan sosial dan budaya kaum petani Banten yang dilatarbelakangi konflik tanah, pemerasan tenaga kerja, wabah penyakit, dan bencana.

Pemberontakan petani Banten terbagi menjadi tiga pasukan yang masing-masing dipimpin Lurah Jasim, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Masykur Wahid, dalam jurnal Membaca Kembali Pemberontakan Petani Banten 1888 dalam Struktur Giddens (2010), menjelaskan tujuan pemberontakan petani banten adalah merebut kembali hak-hak bertahan hidup dan identitas diri atas kolonialisme Belanda serta dominasi bangsawan.

2. Pemberontakan PKI di Sumatera 1926-1927

PKI pernah memberontak kepada kolonial Hindia Belanda pada malam pergantian tahun 1 Januari 1927 di Silungkang, Sumatera Barat, dan sekitarnya. PKI Sumatera Barat sebenarnya telah merencanakan pemberontakan pada 26 Juli 1926, tetapi urung karena misi mereka terendus pihak Belanda.

Hindia Belanda kemudian menangkap petinggi PKI Sumatera Barat satu per satu seperti Said Ali, Idrus, Harun, Yusup Gelar Radjo Kacil, Bagindo Ray, dan Haji Baharuddin. Walakin, penangkapan petinggi PKI tersebut tidak membuat rencana pemberontakan gentar.

Pemberontakan PKI Sumatera Barat tetap dilancarkan. Mereka melakukannya pada 31 Desember 1926, dan puncaknya terjadi pada malam hari 1 Januari 1927. PKI membunuh para opsir belanda, guru agama, dan pedagang emas yang diklaim bekerja sama dengan pemerintah Belanda.

3. Pemberontakan Marinir Bumiputera

Pada 1 Juli 1931, pemotongan gaji pegawai pemerintah 5 persen mulai diberlakukan atas keputusan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal de Jonge. Kebijakan penurunan gaji tersebut disebabkan krisis ekonomi parah yang melanda masyarakat dunia pada awal 1930-an.

Pemotongan gaji terus berlanjut. Puncaknya adalah ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan keputusan Koninklijk Besluit No.51 tanggal 21 januari 1933. Gaji awak kapal Indonesia dipotong serta disamaratakan 17 persen, sedangkan Angkatan Laut Belanda 14 persen.

Akibat pemotongan gaji yang dianggap terlalu besar, marinir-marinir bumiputera di kapal Perang De Zeven Provincien memberontak pada 4 Februari 1933. Mendengar kabar itu, Colijn selaku Menteri Urusan Jajahan, sebagaimana dijelaskan dalam jurnal Protes Sosial di Kapal Perang: Pemberontakan Marinir Bumiputera di Kapal De Zeven Provincien 1933 karya Danil Mahmud Chaniago dan Umi Rusmiani Umairah, memerintahkan untuk menumpas pemberontakan di Kapal De Zeven Provincien, bahkan kalau perlu ditenggelamkan menggunakan torpedo.

4. Pemberontakan PETA di Blitar

Pembela Tanah Air (PETA) pernah melakukan pemberontakan terhadap Jepang. Pemberontakan PETA di Blitar, Jawa Timur, memuncak pada 14 Februari 1945. Pelopor sekaligus pemimpin pemberontakan tersebut adalah Supriyadi, anggota PETA yang berpangkat shodancho—prajurit dari masyarakat yang pernah sekolah pada tingkat menengah pertama.

Sudah sejak lama Supriyadi merasa resah atas nasib rakyat yang dijadikan pekerja paksa (romusha), dibebani pajak tinggi, serta dirampas hasil panennya. Tidak hanya itu, ia melihat perlakuan diskriminatif terhadap anggota PETA. Orang Indonesia wajib memberi hormat kepada orang Jepang kendati pangkatnya lebih rendah.

Berbekal hal di atas, Supriyadi mengumpulkan pasukannya dan melakukan pemberontakan di Blitar tempat dirinya bertugas. Dalam aksinya, pasukan Supriyadi berhasil menewaskan beberapa tentara Jepang sekaligus mendapatkan perlengkapan, logistik, serta persenjataan.

Akan tetapi, gerakan Supriyadi harus kandas setelah Dai Nippon melancarkan tindakan cepat untuk memburunya. Anehnya, Supriyadi tidak pernah tertangkap Jepang, dan menjadi misteri yang belum terungkap. Kendati demikian, tentara pasukan Supriyadi sebanyak 68 orang berhasil diringkus dan diadili di Jakarta.

5. PKI Madiun

Pemberontakan PKI Madiun merupakan salah satu contoh konflik politik yang terjadi di Indonesia pasca-kemerdekaan. Pemberontakan ini terjadi pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Latar belakang pemberontakan PKI Madiun adalah penerapan kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi tentara (Re-Ra) yang dilakukan Kabinet Hatta I mulai 17 Februari 1948.

Kebijakan tersebut mereduksi kekuatan militer Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dibentuk pada Februari 1948 dengan menghimpun beberapa elemen partai meliputi Partai Sosialis Indonesia (Parsi), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (Sobsi), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Musso, yang baru saja kembali dari Uni Soviet pada 10 Agustus 1948, mengajukan konsep politik Jalan Baru yang mendorong tubuh FDR bergabung di bawah pimpinan PKI.

Maka, pecahlah pemberontakan PKI Madiun. Pada 1948, FDR bersama Musso berhasil menguasai Madiun dan mendeklarasikan Republik Soviet Indonesia. Dalam aksinya, pemberontakan PKI Madiun menewaskan Gubernur Jawa Timur R.M. Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, petugas kepolisian, dan sejumlah tokoh agama.

Menanggapi keadaan yang mengganggu stabilitas nasional, Pemerintah RI menerjunkan operasi penumpasan yang dipimpin Kolonel A. H. Nasution mulai 20 September 1948. Dikutip dari buku Peristiwa coup Berdarah P.K.I September 1948 di Madiun (1967), Musso berhasil ditembak mati di daerah dekat Ponorogo pada 31 Oktober 1948. Selain itu, Amir Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kirim juga berhasil diringkus serta dijatuhi hukuman mati.

6. G30S PKI 1965

Salah satu contoh konflik politik di Indonesia yang lain adalah Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965). Peristiwa yang menewaskan sejumlah perwira TNI AD tersebut diyakini oleh rezim Orde Baru sebagai tindakan keji yang dimotor PKI.

Pada Jumat subuh berdarah itu, sejumlah anggota Cakrabirawa yang dipimpin oleh Letkol Untung menculik serta mengeksekusi para perwira tinggi Angkatan Darat. Dalam peristiwa ini, 6 perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat tewas.

Sejumlah perwira AD yang dinyatakan gugur meliputi: Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen R. Soeprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayjen Harjono Mas Tirtodarmo (Deputi III Men/Pangad), Mayjen S.Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen D.I. Panjaitan (Asisten VI Men/Pangad), dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman AD).

Latar belakang peristiwa G30S, menurut klaim sejarah versi Orba, adalah menggulingkan kekuasaan Sukarno. Menyikapi itu, Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) bertindak cepat setelah diterbitkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang kemudian digunakan juga untuk melengserkan Sukarno.

7. Pemberontakan Andi Azis

Pemberontakan Andi Azis terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 5-15 April 1950. Salah satu contoh pemberontakan di Indonesia pasca-kemerdekaan itu dipimpin oleh Andi Aziz, mantan perwira Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL).

Latar belakang pemberontakan ini adalah ketidaksetujuan Andi Azis terhadap rencana penyatuan Negara Indonesia Timur (NIT) ke dalam NKRI.

Bersama KNIL, Andi Azis menyerang sektor penting militer di bagian Indonesia. Dalam penyerangan tersebut, Andi Azis menangkap Letnan Kolonel A.J. Mokognita Panglima Teritorium Indonesia Timur bersama bawahannya serta para polisi Makassar.

Menanggapi keadaan tersebut, Pemerintah Indonesia memerintahkan Andi Aziz bertanggung jawab serta melaporkan diri ke Jakarta dalam waktu empat hari. Andi Azis berhasil ditangkap pada 15 April 1950.

8. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) adalah gerakan yang dipimpin Christian Robert Steven Soumokil. Pemberontakan RMS diyakini sebagai kelanjutan dari pemberontakan Andi Aziz. Setelah Andi Aziz ditangkap, Soumokil sebagai orang yang juga mempersiapkan pemberontakan Negara Indonesia Timur pergi ke Ambon pada 13 April 1950.

Di sana, Soumokil berhasil menghimpun kekuatan dari beberapa tokoh serta mantan anggota KNIL Ambon serta mendeklarasikan RMS. Tujuan RMS adalah memisahkan Ambon, Buru, dan Seram dari NKRI. Namun, beberapa penduduk lebih senang bergabung dengan NKRI. Soumokil kemudian menangkap beberapa orang yang tidak sependapat dengan gerakannya.

Melihat RMS sebagai ancaman stabilitas nasional, NKRI melakukan perundingan melalui Johannes Leimena tetapi ditolak. Kekuataan militer kemudian diterjunkan di bawah pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang.

Ambon berhasil direbut dari RMS pada November 1950. Soumokil tertangkap pada 12 Desember 1963. Ia selanjutnya diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa Jakarta, sebelum akhirnya dihukum mati.

9. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) terjadi pada 23 Januari 1950 di Bandung di bawah komando Raymond Westerling, mantan kapten pasukan Kerajaan Hindia Belanda Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Bersama pasukan yang didirikan pada 9 Januari 1949 setelah demobilisasi dari kesatuan Depot Speciale Troepen, Westerling ingin mempertahankan Republik Indonesia Serikat (RIS) serta membalas dendam kepada TNI dan rakyat Indonesia.

Alasan sebenarnya pemberontakan APRA adalah ketidakpuasan atas golongan pro-Belanda dari hasil Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Den Haag pada 1949. Untuk memperlancar gerakannya, Westerling bekerja sama dengan Sultan Hamid II selaku menteri negara tanpa portofolio. Kendati telah menyerang Bandung, usaha Westerling tidak membuahkan hasil.

Westerling bahkan harus kabur ke Belanda setelah Mayor Jenderal Engels Komandan Tinggi Belanda di Bandung mendesak atas hasil perundingan dengan Mohammad Hatta. Sepeninggalan Westerling, APRA kehilangan arah dan ditumpas APRIS.

10. Pemberontakan DI-TII Kartosuwiryo di Jawa Barat

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo merasa tidak puas atas kemerdekaan Indonesia yang dibayang-bayangi Belanda. Puncaknya, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 di Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat dengan dia sendiri sebagai imam negara. Sebelum mendirikan NII, rombongan Kartosoewirjo juga membentuk Tentara Islam Indonesia (TII) dengan Raden Oni sebagai panglimanya.

Pemberontakan DI-TII Jawa Barat dapat dipadamkan setelah Kartosuwiryo dan para petinggi lainnya ditangkap pada 4 Juni 1962 dalam operasi Pagar Betis militer Indonesia. Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati berdasarkan Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (mahadper) pada 16 Agustus 1962. Eksekusi Kartosoewirjo dilakukan pada 6 september 1962 di salah satu pulau Kepulauan Seribu.

Baca juga artikel terkait TIMELESS atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin