Menuju konten utama
Sejarah Hari Ini

Sejarah Hari Peristiwa Kapal Tujuh yang Diperingati pada 5 Februari

Sejarah Hari Peristiwa Kapal Tujuh yang diperingati pada tanggal 5 Februari setiap tahunnya.

Sejarah Hari Peristiwa Kapal Tujuh yang Diperingati pada 5 Februari
Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi / kapal de zeven provincin. wikimedia commons/free/koleksi tropen museum/

tirto.id - Peringatan Hari Peristiwa Kapal Tujuh jatuh setiap tanggal 5 Februari, dan tahun ini bertepatan pada hari ini, Minggu (5/2/2022).

Meskipun terdengar asing bagi masyarakat Indonesia, Peringatan Hari Peristiwa Kapal Tujuh membawa pengingat akan sebuah kejadian heroik anti-kolonial Belanda pada tanggal 5 Februari 1933.

Di mana terjadi pemberontakan atau perlawanan yang dilakukan oleh awak kapal perang “De Zeven Provincen” milik pemerintah Belanda.

Pemberontakan ini dilatarbelakangi adanya penurunan upah awak kapal hingga mencapai 17 persen.

De Zeven Provincien adalah sebuah kapal perang terbesar yang dimiliki oleh Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu.

Kapal ini merupakan sebuah bahtera yang fungsikan sebagai tempat karantina sejumlah marinir dari Eropa, Belanda, maupun Bumi Putera (pribumi Indonesia).

J.C. Mollema dalam Ranbdom de Muiterij op Zeven Provincien (1934), menjelaskan bahwa Kapal De Zeven Provincien juga digunakan sebagai tempat pelatihan bagi para marinir pribumi yang telah merampungkan studinya di Pendidikan Dasar Pelaut Bumiputera (Kweekschool voor Inlandse Schepelingen) Makasar.

Beberapa orang Indonesia yang termuat dalam kapal ini pada masa itu menurut buku De Zeven Provincien: Ketika Kelasi Indonesia Berontak 1933 karya J.C.H Blom dan Tiuwen Bouwsma (2015), meliputi Paradja, Rumambi, Gosan, dan Kawilarang.

Beberapa orang pribumi ini, yang nantinya disebut-sebut menjadi biang keladi dari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi.

Sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi

Sejarah Peristiwa Kapal Tujuh dimulai dengan keadaan ekonomi dunia yang mengalami masa-masa penyusutan pada kurun 1930an.

Hal ini tentunya memengaruhi pemasukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berujung defisit. Gubernur Jenderal de Jonge kemudian mengusulkan pengurangan gaji marinir.

Pada tahun 1932, awak yang bekerja di Kapal Tujuh Provinsi mengalami pemotongan upah sebesar 10 persen.

Penurunan upah tidak membedakan antara pegawai Belanda maupun pihak pribumi. Pada tahun yang sama, pemotongan gaji dilakukan kembali sebesar 7 persen.

Dikutip dari buku Citra dan Perjuangan kemerdekaan terbitan Departemen Sosial RI (1984), dijelaskan bahwa jumlah pemangkasan gaji mencapai 17 persen jika digabungkan dengan pemotongan sebelumnya.

Pada saat pemotongan tahap ketiga mulai diadakan, banyak pihak dari awak Kapal Tujuh Provinsi yang tidak menyetujui. J.F. Osten sebagai Komandan Angkatan Laut Belanda juga ikut menolak pemotongan yang ketiga ini.

Namun, Pemerintah Hindia Belanda melalui keputusan Koninlijk Besluit No.51 tiba-tiba melakukan upaya pemangkasan gaji secara resmi mulai tanggal 1 Februari 1933. Para Marinir telah mengetahui kabar pemotongan ini sejak tanggal 26 Januari 1933.

Pemotongan gaji sebesar 17 persen bagi awak kapal kenamaan bumi putera dan 14 persen untuk awak kapal asal Belanda.

Pada hari-hari setelah tanggal 26 Januari 1933, terjadi perbincangan para awak Kapal Tujuh Provinsi di sebuah bioskop. Namun, pada tanggal 28 Januari 1933 perbincangan semakin memanas mengingat adanya informasi telah terjadinya penangkapan 425 awak kapal di Surabaya.

Kronologi Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi

Dikabarkan dalam sebuah artikel berjudul “Karena Seven Proviencien dan Ordonansi Golongan Belanda Tjemas dan Beraksi” yang termuat dalam surat kabar Medan Ra’jat edisi 4 Februari 1933, terjadi kasus pemberontakan kapal perang “De Zeven Provicien”.

Pemberontakan dilakukan oleh beberapa anggota marinir Bumi Putera seperti Paradja, Romambi, Gosal, Kawilarang.

Selain itu, pemberontakan juga dilakukan oleh beberapa awak kapal dari bangsa Eropa yang turut dalam aksi. Kabar pemberontakan ini diinformasikan melalui surat kabar Medan Ra’jat yang bertajuk “Pemberontakan para Marine”.

Kapal Tujuh Provinsi kemudian berada dibawah pimpinan Kawilarang. Tujuan dari kapal perang ini adalah menuju ke Surabaya.

Hendrikus Colijn sebagai Menteri Urusan Jajahan Belanda menanggapi pemberontakan Kapal Tujuh Provinsi dengan tegas. Colijn juga memerintahkan kepada awak media untuk melakukan upaya publikasi peristiwa ini.

Pada tanggal 10 Februari 1933, Kapal Tujuh Provinsi yang mulai mendekati Selat Malak telah menghadapi banyak halangan dari pemerintah kolonial. Beberapa pesawat tempur dan kapal selam dengan senjata telah mengepung serta memberikan peringatan.

Namun, peringatan dari pemerintah kolonial sepertinya tidak diindahkan. Kemudian, salah satu pesawat mengeluarkan bom dan tepat mengenai kapal yang dipimpin oleh Kawilarang. Insiden ini menewaskan banyak awak Kapal Tujuh Provinsi.

Kawilarang dan beberapa orang lainnya berhasil selamat dalam pengeboman tersebut. Meskipun pada akhirnya mereka harus ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara.

Orang-orang yang tewas dalam peristiwa ini dikebumikan di Pulau Mati, Kepulauan Seribu sebelum nanti dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibatan, Jakarta.

Baca juga artikel terkait SEJARAH HARI INI atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Dhita Koesno