Menuju konten utama

Aksi Pelarian PKI Madiun di Kabupaten Gunungkidul

Setelah terdesak di Madiun, PKI/FDR mundur salah satunya ke Gunungkidul. Tapi di sana pun mereka terhimpit sampai akhirnya selesai.

Aksi Pelarian PKI Madiun di Kabupaten Gunungkidul
Header Mozaik Pemberontakan PKI Madiun. tirto.id/Fuad

tirto.id - Saat masa revolusi kemerdekaan, di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, yang masyarakatnya mayoritas berprofesi sebagai petani meskipun bertanah tandus, berdiri laskar-laskar perjuangan. Beberapa di antaranya adalah Barisan Banteng, Hizbullah, Sabilillah, Askar Perang Sabil, dan Pesindo.

Di luar itu terdapat organisasi cukup berpengaruh yang berdiri sejak 1945 dan berhubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI): Barisan Tani Indonesia (BTI). Hingga 1948, di samping PKI, BTI-lah yang memegang peran penting dalam penyebaran komunisme di daerah tersebut.

Seperti yang dicatat Estu Dwiyono dalam skripsi berjudul Peranan Askar Perang Sabil (APS) dalam Operasi Penumpasan Pemberontakan PKI di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1948 (2012), para pengurus BTI di Kabupaten Gunungkidul merupakan tokoh-tokoh PKI lama di Yogyakarta. Dalam merekrut, mereka memanfaatkan fasilitas resmi milik Komite Nasional Indonesia (KNI) yang merupakan badan pembantu presiden.

Ketika posisi PKI/Front Demokrasi Rakyat (FDR) semakin terdesak dalam Peristiwa Madiun, Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu daerah yang dituju para pelarian untuk menghindari penangkapan.

Huru-hara di Yogyakarta

Satu sosok yang berpengaruh dalam gerakan PKI di Kabupaten Gunungkidul bernama Istiadjid. Dia berhasil merebut hati tokoh masyarakat seperti Sugaib, Hadisukamto, dan Lurah Desa Nglora Paliyan bernama Margono.

Diceritakan Tashadi, dkk dalam Peranan Desa Dalam Perjuangan Kemerdekaan: Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa di Daerah lstimewa Yogyakarta Periode 1945-1949(1992), suatu ketika sebelum Peristiwa Madiun, Sugaib, Hadisukamto, Margono, dan seorang polisi mendatangi rumah Bupati Gunungkidul. Sugaib membawa revolver, Margono pedang, dan Hadisukamto panah. Bukan hanya itu, rumah juga sudah dikepung rombongan pemuda yang bersenjatakan granggang.

Mereka meminta Bupati segera membebaskan Istiadjid yang ditahan kepolisian Wonosari. Alasannya Istiadjid akan mengusut penggelapan uang koperasi. Istiadjid pun dibebaskan.

Tidak lama kemudian, saat Peristiwa Madiun meletus pada 18 September 1948, keluar instruksi dari kepolisian untuk menggeledah rumah Istiadjid. Dalam penggeledahan tersebut, aparat mendapati Istiadjid terkait dengan PKI Madiun.

Menurut buku tersebut, bukti utamanya adalah dokumen tentang rencana mengambil alih kekuasaan di Kecamatan Wonosari, yang merupakan ibu kota Kabupaten Gunungkidul, pada 23 September 1948. Dokumen juga menyebut tanggal 24 September 1948 Kecamatan Pracimantoro harus sudah dikuasai, dan 26 September 1948 giliran Kabupaten Bantul. Setelah tiga wilayah tersebut dikuasai, maka Sleman dan Yogyakarta menjadi sasaran berikutnya.

Selain itu, terdapat dokumen lain mengenai rencana rapat raksasa BTI pada 25 Desember 1948 di alun-alun Wonosari. Dikatakan bahwa para tani dan pemuda diimbau untuk membawa senjata. Diketahui kemudian bahwa rapat raksasa tersebut diselenggarakan karena menurut BTI terjadi ketidakadilan dalam pembagian lahan pertanian yang produktif di Kabupaten Gunungkidul.

Berdasarkan semua itu, pada 19 Desember 1948, Istiadjid ditangkap kembali dan kepolisian Wonosari segera menciduk mereka yang dianggap bertanggung jawab.

Selain itu, dengan dasar dokumen yang ditemukan di rumah Istiadjid, Tentara Nasional Indonesia (TNI) segera berupaya mengadang masuknya orang-orang PKI dari Madiun. Brigadir Soenarto di Bojonegoro ditugaskan untuk memantau perkembangan keamanan di Kecamatan Wonosari.

Masih mengutip Tashadi, dkk (1992), dikatakan bahwa pada 22 September 1948, masyarakat yang anti-PKI berinisiatif bertindak. Mereka berencana menyerang kelompok diskusi Kiri, Jamaah Patuk, dua hari lagi. Namun rencana itu bocor dan menyulut PKI melancarkan aksi terlebih dahulu hingga menimbulkan kekacauan di Kecamatan Semanu. Kekacauan tidak lama karena polisi segera menertibkannya.

Hari berikutnya, 23 September, tersiar kabar bahwa Sukoharjo dan Kecamatan Wonosari sudah diduduki pengikut Musso pada 21 September, Kecamatan Wuryantoro 22 September, dan Kecamatan Baturetno 23 September.

Lebih lanjut, menurut Siti Nurul Hidayah dalam "Peranan Ulama Muhammadiyah dalam Pembentukan APS" (Askar Perang Sabil) di Yogyakarta Tahun 1947-1949 (HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah vol. 5(1), 2022, hlm. 81-88), setelah tiba di Kecamatan Ponjong, PKI dari Madiun berhasil membentuk pertahanan dan memengaruhi masyarakat dan tokoh-tokoh di desa tersebut.

Sementara Baha Udin, dkk dalam Masyarakat Pedesaan dan Revolusi Kemerdekaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (2020) menyebut kantor berita Antara pada 26 September 1948 mewartakan bahwa di Kecamatan Wonosari sudah terjadi pemberontakan PKI. Dalam kekacauan tersebut juga terjadi penculikan terhadap beberapa pejabat pemerintah.

Di sisi lain TNI dapat menahan Letkol Dahlan dan Atmadji, mantan komandan dari Angkatan Laut, dan terlibat dalam gerakan PKI di Wonosari. Langkah berikutnya, TNI menyebarkan propaganda persatuan dan keutuhan melalui selebaran menggunakan pesawat Angkatan Udara.

Kondisi Gunungkidul, singkatnya, semakin memanas seiring dengan masuknya gelombang pasukan PKI yang melarikan diri dari Madiun. Pertempuran-pertempuran sekitar Gunungkidul sudah dimulai.

Pecah di Gunungkidul

Rombongan PKI Madiun mulai menampakkan diri di Kabupaten Gunungkidul setelah masuk lewat Wonogiri, tepatnya Pracimantoro. Mengutip kembali Tashadi (2020), pada 25 September 1948, sekitar 60 orang, dilengkapi senjata, dengan menaiki buah truk, sudah masuk ke kabupaten tersebut.

Pada 27 September, orang PKI bersama dua orang bersenjata lengkap ditangkap kepolisian di Wonosari dan diserahkan kepada militer di Yogyakarta.

Situasi semakin menegangkan tapi bantuan dari Yogyakarta tidak kunjung datang. Untuk menghindari kemungkinan terburuk, orang-orang dipersenjatai. Mereka yang anti-PKI juga disebut secara sukarela membantu keamanan.

Pada 30 September-2 Oktober, Paku Alam VIII mendatangi Gunungkidul untuk meninjau situasi.

Konflik terbuka akhirnya tidak bisa dihindari. Tanggal 1 Oktober siang hari, di sebelah utara Kecamatan Semin, terjadi pertempuran antara Divisi Siliwangi dengan pasukan PKI Musso. Di sore hari, terdapat informasi mengenai kekuatan PKI Musso yang terdiri dari satu kompi dan beberapa laskar--sekitar 800 orang.

Di hari yang sama juga tersiar kabar mengenai penangkapan penewu (camat) Kecamatan Nglipar oleh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) saat akan menghadiri rapat di Kelurahan Tegalrejo. Penangkapan tersebut di bawah pimpinan Kariyosudarmo, bekas kepala jawatan keamanan Nglipar yang berhasil melarikan diri dari kepolisian Wonosari saat terjadi penangkapan para pemimpin FDR.

Karena penangkapan tersebut kepolisian segera mengirimkan 10 anggota untuk menjaga keamanan di Kecamatan Nglipar.

Hari berikutnya, asisten wedana Manyaran Semin diculik, juga penewu beserta juru tulis dan beberapa pegawai Kecamatan Ponjong.

Pertempuran selanjutnya terjadi di Kecamatan Pracimantoro, antara PKI yang berkekuatan 400 orang dengan pasukan MA (Militer Akademi). Karena kekuatan tidak sebanding, pasukan MA bersiasat dengan mundur ke Kecamatan Semanu. Langkah ini dilakukan juga untuk menghindari serangan dari pusat pertahanan PKI di Desa Bedoyo yang berada di Kecamatan Ponjong. Pertempuran ini memakan seorang korban jiwa dari pasukan MA dan tiga dari PKI.

Sejak pertempuran di Pracimantoro, Yogyakarta mulai memberikan perhatian besar terhadap keamanan Gunungkidul. Bantuan mulai masuk. Bantuan keamanan tersebut berhasil membebaskan penewu Nglipar yang sebelumnya ditahan PKI. Daerah-daerah yang telah dikuasai PKI juga dapat direbut kembali.

Tapi kekacauan tetap terjadi di berbagai tempat. Misalnya di Dusun Baran yang terletak di ujung tenggara Kecamatan Wonosari dan berbatasan dengan Wonogiri. Untuk meredakan situasi tersebut, aparat mengirim polisi dan tentara dari Yogyakarta. Langkah berikutnya, pihak keamanan mendirikan markas pertahanan di Kecamatan Semanu, menempatkan pasukan di Kecamatan Ngenep, dan menempatkan anggota dalam jumlah yang lebih besar di Kecamatan Semin.

Infografik Mozaik Pemberontakan PKI Madiun

Infografik Mozaik Pemberontakan PKI Madiun. tirto.id/Fuad

PKI Diredam

Setelah serangkaian bantuan, pada 7 Oktober 1948, Sri Sultan sendiri yang akhirnya mengunjungi Kecamatan Wonosari yang tidak lain merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Gunungkidul. Di sana Sri Sultan memberikan wewenang kepada bupati untuk memulihkan roda pemerintahan.

Setelah itu keamanan di Kabupaten Gunungkidul semakin diperketat, termasuk kerja sama antara polisi, TNI, dan laskar salah satunya Askar Perang Sabil (APS).

Wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai para pelarian PKI Madiun seperti Kabupaten Wuryantoro, Kecamatan Pracimantoro, dan kecamatan Baturetno di Kabupaten Wonogiri berhasil dikendalikan.

Pelarian PKI Madiun juga terus diburu. Selain TNI dan polisi (termasuk 12 mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), sipil dan laskar juga ikut terlibat. Orang-orang PKI di Kabupaten Gunungkidul dapat ditangkap meskipun tetap ada yang lolos. Estu Dwiyono (2012) menjelaskan bahwa para pelarian PKI Madiun meninggalkan Gunungkidul menuju Wonogiri melalui Desa Manyaran.

Setelah Peristiwa Madiun, PKI benar-benar tiarap. Tapi itu hanya satu fase. Selanjutnya partai ini justru semakin besar di bawah pimpinan baru berusia muda, Aidit, Lukman, Njoto.

Baca juga artikel terkait PKI atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Politik
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Rio Apinino