tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menekan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Aturan ini menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam Perppu tersebut, pemerintah menekankan kepada pengusaha atau pemberi kerja agar tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam pasal 151 menyebutkan pengusaha, pekerja, buruh, serikat pekerja, serikat buruh dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja atau buruh dan atau serikat pekerja atau serikat buruh," bunyi pasal 151 ayat 2 dikutip Tirto dalam Perppu tersebut, Selasa (3/1/2022).
Kemudian pada pasal 151 ayat 3 dijelaskan jika pekerja yang telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, maka penyelesaian PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja atau buruh.
Selanjutnya, dalam aturan tersebut PHK dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Namun jika para pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri, berakhir hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu, telah mencapai usia pensiun, dan meninggal dunia, maka pengusaha tidak perlu melakukan pemberitahuan.
Sementara itu, dalam pasal 153 ayat 1 pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan:
1. Berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.
2. Berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
4. Menikah.
5. Hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
6. Mempunyai pertalian darah dan/ atau ikatan perkawinan dengan Pekerja/ Buruh lainnya di dalam satu Perusahaan.
7. Mendirikan, menjadi anggota dan/ atau pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pekerja/ Buruh melakukan kegiatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan Pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
8. Mengadukan Pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan Pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.
9. Berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
10. Dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena Hubungan Kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
"Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan alasan tersebut, batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja atau buruh yang bersangkutan," bunyi pasal 153 ayat 2.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin