tirto.id - Meila Nurul Fajriah bukanlah sosok kemarin sore dalam aktivisme memperjuangkan hak dan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Dia sudah mengantongi kartu resmi sebagai advokat atau secara sah mumpuni dan berkapasitas menjadi pendamping hukum. Begitu setidaknya kesan dari salah satu kawan dekatnya, Annisa Azzahra.
Annisa adalah peneliti dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Dia menilai Meila sebagai sosok perempuan pembela hak asasi manusia (HAM). Ironisnya, saat ini, Meila mengalami kriminalisasi dan menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik terhadap IM.
“Kak Meila adalah advokat. Dia sudah punya kartu advokat di mana dalam Undang-Undang Advokat, dia boleh dan berhak untuk melakukan pembelaan terhadap kliennya tanpa dikenai proses-proses hukum,” kata Annisa, Senin (29/7/2024).
IM merupakan terduga pelaku kekerasan seksual. Pada 2020, sekitar 30 korban kekerasan seksual melaporkan perbuatan IM ke LBH Yogyakarta. Kasus tersebut lantas ditangani oleh Meila yang merupakan salah satu advokat dari LBH Yogyakarta.
Kasus dugaan kekerasan seksual yang ditangani Meila tersebut diduga terjadi di Universitas Islam Indonesia (UII), tempat IM menimba ilmu sebagai mahasiswa.
Namun, IM tak terima disebut pelaku kekerasan seksual sehingga melaporkan Meila dan dua advokat LBH Yogyakarta lainnya ke polisi. Meila, sebagai pendamping para korban IM, dituding dengan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE jo Pasal 45 Ayat 3 UU ITE dengan sangkaan fitnah. Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Juni 2024 lalu secara resmi menetapkan Meila sebagai tersangka pencemaran nama baik.
Mendengar kabar Meila menjadi tersangka, Annisa mengaku geram. Dia menilai proses hukum terhadap Meila sebagai bentuk kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM.
“Seharusnya Meila tidak bisa dituntut akibat melakukan pendampingan [hukum] kepada 30 korban dugaan pelecehan seksual. Dalam kasus kekerasan seksual korbannya [akan] semakin kesulitan,” ujar Annisa.
Annisa menyayangkan perempuan sebagai pembela korban kekerasan seksual justru jadi rentan dikriminalisasi. Padahal, negara seharusnya menjamin kerja-kerja advokat dari ancaman bui.
Dalam banyak kasus dugaan kekerasan seksual, pelaku yang mencoba memanipulasi korban dan publik bahwa dirinyalah yang justru jadi korban sebetulnya sudah sering kejadian. Pelaku merasa tidak bersalah atas apa yang telah dia lakukan.
Siasat pelaku kekerasan seksual itu disebut DARVO yang merupakan akronim dari deny (menyangkal), attack (menyerang), dan reverse the victim and offender (membalikkan posisi korban dan pelaku). Banyak juga masyarakat yang terkecoh dengan teknik manipulatif ini.
“Kriminalisasi dengan UU ITE pada akhirnya akan terus-menerus berulang. Dan aku agak kesal sebenarnya karena kita mau dapat keadilan aja itu untuk perempuan itu sangat sulit,” terang Annisa.
Perlu Reformasi Peradilan Berperspektif Gender
Menurut Annisa, kriminalisasi terhadap Meila menunjukan perlunya reformasi peradilan di Indonesia yang lebih berperspektif gender. Masih sering, kata dia, aparat penegak hukum bersikap seksis dan misoginis dalam menangani laporan korban kekerasan seksual.
“Kayak aparat penegak hukum kita jadi alat, juga melakukan kriminalisasi kepada para pembela HAM, khususnya perempuan,” kata Annisa.
Sementara itu, Polda DIY memandang proses hukum terhadap Meila berjalan sesuai prosedur dan bukan tindakan kriminalisasi. Dirreskrimsus Polda DIY, Kombes Idham Mahdi, mengatakan bahwa institusinya sebelumnya juga memproses dugaan kekerasan seksual (KS) yang dilakukan IM, mantan Mahasiswa Berprestasi Universitas Islam Indonesia (UII).
Idham menuturkan bahwa Polda DIY meminta kepada LBH Yogyakarta serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk menyerahkan bukti dugaan kekerasan seksual yang dilakukan IM. Namun, klaim Idham, permintaan itu tidak direspons pihak LBH Yogyakarta sehingga penyidikan pelaporan pencemaran nama baik IM terus berjalan.
“Kita membuat surat kepada pelapor untuk meminta apakah peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan IM itu ada atau tidak. Sudah tiga kali meminta. Namun, hingga saat ini kami belum diberikan,” kata Idham Mahdi saat dikonfirmasi Tirto, Sabtu (27/7/2024).
Polda DIY juga sempat menawarkan restorative justice antara IM dan pihak LBH Yogyakarta pada Juli 2021. Namun, niatan tersebut tidak terealisasi hingga berakhir pada penetapan Meila sebagai tersangka.
Idham menyatakan bahwa Polda DIY telah berupaya mencari bukti dan fakta terkait peristiwa kekerasan seksual itu untuk memastikan kebenarannya. Pasalnya, hingga saat itu tidak ada yang melapor ke kepolisian. Dia pun mengklaim telah menanyakan ke pihak kampus untuk mendalami perkara.
Namun, saat ditanya lebih lanjut terkait respons pihak kampus setelah dimintai keterangan pihak kepolisian, Idham mengklaim masih melakukan pendalaman.
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menilai selama proses penanganan kasus ini, penyidik tidak berdiri di atas asas kredibilitas dalam penyidikan. Padahal, asas itu sudah diatur dalam Perkapolri Nomor 15/2006 tentang Kode Etik Profesi Penyidik Polri. Penyidik dinilai tidak memperhatikan dan berupaya mencari fakta-fakta yang akurat berkaitan dengan kasus kekerasan seksual.
“Padahal, dalam waktu yang bersamaan, LBH Yogyakarta juga telah menginformasikan bahwa kasus ini telah diselidiki oleh pihak universitas dan yang salah satunya telah dibuktikan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai dasar pencopotan status IM sebagai Mahasiswa Berprestasi (Mawapres UII),” kata Isnur.
IM sempat melayangkan gugatan ke UII lewat PTUN Yogyakarta terkait pencabutan gelar tersebut. Dalam persidangan, Rektor UII melalui Tim Pendampingan dan Advokasi setidaknya menemukan fakta bahwa terdapat 4 korban yang diduga mengalami kekerasan seksual dari IM dan berdampak buruk pada kondisi psikologisnya.
“Bahkan satu [korban] diantaranya sempat berpikir untuk lakukan bunuh diri. Seperti terlampir di halaman 45-46 Putusan Nomor 17/G/2020/PTUN.YK,” terang Isnur.
Sayangnya, kata Isnur, putusan serta pemeriksaan yang dilakukan UII tidak dijadikan muatan penting oleh Polda DIY sebagai fakta bahwa IM diduga telah melakukan tindakan kekerasan seksual.
Terlebih, Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi UU ITE telah menyebutkan bahwa menyampaikan kenyataan atau fakta bukanlah bagian dari delik pencemaran nama baik.
Polda DIY dinilai serampangan menganulir hak impunitas advokat sebagaimana diatur dalam UU 18/2003 tentang Advokat, hak impunitas pemberi bantuan hukum sebagaimana dalam UU 16/2011 tentang Bantuan Hukum, dan hak impunitas pendamping korban dalam UU 12/2022 tentang TPKS.
“Kesemuanya dimiliki Meila sebagai pengacara, sebagai pemberi bantuan hukum dan sebagai pendamping korban. Penetapan tersangka oleh Polda DIY merupakan serangan serius terhadap perempuan pembela HAM dan atau pendamping korban kekerasan seksual,” tegas Isnur.
Hentikan Kriminalisasi
Dihubungi Tirto, Direktur LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya, membenarkan bahwa lembaganya sempat menerima surat dari Polda DIY soal upaya penyidikan kasus kekerasan seksual. Namun, Julian mengungkapkan bahwa LBH telah memberikan keterangan kepada penyidik bahwa data korban tersebut tidak bisa serta-merta diberikan tanpa adanya jaminan kerahasiaan.
Selain itu, etika advokat menyangkut kerahasiaan data menjadi alasan bagi LBH Yogyakarta tidak membocorkan identitas korban yang melapor.
“Karena kami dalam konteks penanganan kasus KS, kerahasiaan klien itu menjadi salah satu prinsip yang harus dijaga,” ungkapnya.
Komnas HAM mendesak Polda DIY segera mencabut penetapan tersangka terhadap Meila Nurul Fajriyah. Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menuturkan bahwa status Meila sebagai pendamping hukum dari korban dugaan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) dijamin kebal hukum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Posisi dia [Meila] adalah pembela HAM perempuan, terutama pembela korban TPKS. Di dalam Undang-Undang TPKS, sebetulnya diatur hak impunitas para pendamping dalam kasus TPKS, termasuk juga pada korbannya,” kata Anis, Minggu (28/7/2024).
Pasal 29 UU TPKS menyebutkan bahwa pendamping hukum korban kekerasan seksual meliputi petugas LPSK, petugas UPTD PPA, tenaga kesehatan, psikolog, pekerja sosial, tenaga kesejahteraan sosial, dan psikiater.
Tidak hanya itu, pendamping hukum meliputi advokat dan paralegal, petugas lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, dan pendamping lain yang sedang melakukan penanganan terhadap korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas pendampingan atau pelayanannya kecuali jika pendamping atau pelayanannya diberikan tidak dengan itikad baik.
Maka Anis meminta polisi mengikuti ketentuan UU TPKS tersebut. Pasalnya, Meila tidak bisa dikriminalisasi dengan UU ITE. Pendamping korban kekerasan seksual membantu para penyintas yang tidak berani bersuara mencari keadilan.
“Kepolisian harus menerapkan hak impunitas bagi para pendamping korban TPKS. Tidak mengedepankan UU ITE untuk mengkriminalisasi para aktivis perempuan,” jelas Anis.
Anis juga menuturkan bahwa Komnas HAM sudah menerima pengaduan atas penetapan tersangka terhadap Meila. Komnas HAM akan menindaklanjuti laporan kasus Meila tersebut dan berharap agar polisi bisa segera mencabut status tersangkanya.
“Sudah diadukan ke Komnas HAM dan langkah-langkah kami akan sesuai dengan kewenangan untuk segera berkontribusi agar Meila bisa dibebaskan,” kata dia.
Senada dengan Anis, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menilai bahwa upaya kriminalisasi terhadap Meila bakal berpengaruh buruk terhadap penanganan kasus TPKS di Tanah Air. Siti menilai nantinya ada kekhawatiran pada pendamping yang memberikan bantuan hukum.
“Kriminalisasi ini tentunya akan berpengaruh buruk pada penanganan kasus TPKS karena ada ketidakamanan dan kekhawatiran pada pendamping yang memberikan bantuan hukum kepada korban TPKS,” kata Siti, Minggu (28/7/2024).
Padahal, kata Siti, saat ini masih sangat sedikit pendamping hukum yang perhatian terhadap kasus kekerasan seksual. Kriminalisasi terhadap Meila juga bakal menambah beban para korban karena muncul kekhawatiran korban ikut dilaporkan.
Komnas Perempuan mengakui sudah menerima pengaduan kriminalisasi perempuan pembela HAM atas nama Meila sejak 2021. Meila baru resmi ditetapkan Polda DIY sebagai tersangka pada Juni 2024.
“Kriminalisasi ini merupakan bentuk serangan terhadap kerja-kerja advokat dan organisasi bantuan hukum sebagai pendamping korban kekerasan seksual yang dilindungi oleh UU Advokat dan UU Bantuan Hukum,” terang Siti.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi