tirto.id - Julukan bagi Zulkifli Lubis memang seharusnya Bapak Intelijen Indonesia. Laki-laki yang belajar intelijen kepada tentara fasis Jepang ini adalah pendiri badan intelijen untuk Republik Indonesia di bulan-bulan pertama kemerdekaan.
Waktu itu Lubis belum lama pulang dari Singapura. Dia mengikuti pelatihan intelijen di sana. Lubis sempat singgah di Palembang sebelum tiba di Jakarta untuk menemui A.K. Gani.
Di Jakarta, Lubis bertemu dengan kawan-kawan dan gurunya di Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) seperti Kemal Idris, Daan Mogot, Yamazaki, dan Yanagawa. Di Jakarta, Lubis melakukan hal yang cukup penting, setidaknya bagi Republik Indonesia.
“Di situlah saya mempersiapkan untuk membentuk suatu Intelijen Awal. Saya anggap, setiap gerakan apa pun, intelijen itu penting, harus ada,” kata Lubis seperti diakuinya kepada majalah Tempo (29/7/1989).
Lembaga intelijen itu disebut Badan Istimewa. Badan intelijen ini awalnya menempel di Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berdiri pada 22 Agustus 1945. Lubis tak ingat kapan persis tanggal berdirinya Badan Istimewa. Seingatnya, setelah BKR berdiri dan sebelum Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berdiri. Kemungkinan sekitar September 1945.
Badan Istimewa diisi personel-personel yang di antaranya nyaris sama dengan Lubis. “Saya merekrut kebanyakan dari gyugun (tentara sukarela). Markasnya waktu itu masih di gedung juang Jalan Pejambon. Di samping itu, juga ada di Lapangan Banteng, tempat bekas Mahkamah Agung, bersama-sama BKR Pusat,” tutur Lubis.
Sepengakuan Lubis juga, mereka dilatih selama seminggu dengan materi aplikasi intelijen, terutama untuk informasi, sabotase, dan psywar. Bukan aplikasi teori. "Mereka saya rekrut melalui alamat yang saya tahu, lalu dipanggil melalui BKR. Tempat latihannya di Pasar Ikan, asrama pelayaran yang saya pinjam melalui almarhum Untoro Kusmarjo dan Suryadi,” tambahnya.
Orang-orang yang dilatih Lubis itu kemudian disebar ke seluruh Jawa. Mereka diperintahkan untuk berhubungan dengan BKR setempat dan, sepenuturan Lubis, “mengumpulkan informasi dari pihak musuh dan dari luar, juga mengadakan psywar.”
Intinya, seperti ditulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007: 2), mereka dimaksudkan untuk “mencari dukungan bagi Republik dan melaporkan gerak-gerik musuh.”
“Mereka pun mendapat sebutan Penjelidik Militer Choesoes (disingkat PMC),” tulis Irawan Soekarno dalam bukunya, Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen (2011: 3).
Beberapa mantan PMC antara lain Kahar Muzakkar yang berontak di Sulawesi Selatan era 1950-an dan Sutopo Juwono yang pernah menjadi kepala Badan Kordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Di zaman kacau itu Lubis mengangkat dirinya sebagai kolonel. PMC terlibat dalam kekacauan pula. PMC punya reputasi sebagai “tukang sweeping” yang kerap bentrok dengan banyak satuan militer, termasuk Divisi Siliwangi pimpinan Kolonel Abdul Haris Nasution. PMC bahkan tersangkut dalam kasus kematian kepala stasiun Padalarang di wilayah Divisi Siliwangi.
“Maka terpaksa PMC ditindak. Semua badan penyelidik yang beroperasi dibawah markas besar atau kementerian pertahanan di Yogya, berangsur-angsur kena penertiban oleh Divisi saya,” tutur Abdul Haris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1989: 217).
Habis PMC Terbitlah BRANI
Menurut "Arsip Kementerian Pertahanan RI Nomor 752 tentang berdirinya BRANI", PMC dibubarkan Panglima Besar Jenderal Sudirman pada 3 Mei 1946. Kala itu, Lubis baru saja melatih calon intel baru. Beberapa hari setelah PMC bubar, Presiden Sukarno, dalam suratnya yang bertanggal 7 Mei 1946, memberi perintah kepada Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin untuk membantuk Badan Rahasia. Dari sini Lubis pun membentuk Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI), bagian intelijen yang berkoordinasi dengan Markas Besar Tentara di Yogyakarta.
Di dalam BRANI sendiri terdapat satu jawatan anti korupsi dan pasukan lapangan FP (Field Preperation). FP punya tugas untuk bergerak ke pulau di luar Jawa dalam rangka menguatkan dukungan Republik.
“Kahar Muzakkar sendiri dulu datang pada saya untuk mengembangkan pasukan di daerah, di seberang. Lalu saya tanya, orangnya dari mana. Dia bilang, diambil dari Nusakambangan. Kemudian, penjahat berat itu, termasuk yang dari Sulawesi Selatan, orang Bugis maupun dari Timor, direkrut. Ada ratusan orang yang dia bawa. Lalu mereka dibawa ke Pingit, di barat Yogya, untuk dilatih beberapa bulan,” aku Lubis.
Kahar Muzakkar sendiri, menurut Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari Tradisi ke DI/ TII (1989: 140-144), berusaha mengirim pemuda ke Sulawesi Selatan, lewat satuan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS).
Usia Badan Istimewa dan BRANI tidak panjang. Tak lama setelah BRANI berdiri, badan intel bernama Kementerian Pertahanan Bagian B dibentuk Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin.
Badan intel itu pun tidak lama umurnya. Seperti dicatat Ken Conboy (hlm. 6), pada 30 April 1947, Sukarno menyatukan Bagian B dengan BRANI ke dalam badan intel baru di tubuh Kementerian pertahanan yang biasa disebut Bagian V. Amir menunjuk Abdoelrachman sebagai Kepala Bagian V.
“Saya jadi wakil Abdoelrahman. Di situ ikut orang-orang PKI, seperti Fatkur, Tjoegito. Jadi, saya mengalami beberapa kali pembubaran. Ada yang karena kebutuhan organisasi, tapi ada juga karena politis, karena orang tidak bisa menguasai saya,” klaim Lubis.
Organ intel ini juga tidak tahan lama. "Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 883 tentang situasi Kementerian Bagian V (tanggal 5 Maret 1948)" menyebut, Bagian V dituduh “menyimpang dari syarat mutlak” sebuah badan intelijen yang seharusnya objektif. Badan ini pun dituntut untuk dibubarkan setelah kabinet Amir jatuh pada awal 1948.
Tetap di Dunia Intelijen
Setelah Bagian V bubar, Lubis ditempatkan untuk memimpin dua badan intel. Pertama di intelijen Markas Besar Komando Djawa, yang disingkat MBKD-I dan kedua di intelijen Staf Umum Angkatan Darat yang disebut SUAD-I.
Di masa-masa ini Lubis kerap bertemu dengan sepupu jauhnya yang kemudian dikenal sebagai musuh bebuyutannya dalam sejarah Angkatan Darat: Abdul Haris Nasution.
"[Dari sebelum 1950] sudah terjadi ketidakserasian antara TB Simatupang, AH Nasution dan Z Lubis. Ketiga perwira berkedudukan tinggi ini punya pendukung masing-masing,” tulis Hario Kecik alias Brigadir Jenderal Suhario Padmodiwiryo dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995: 399).
Setelah 1949, Lubis memimpin Intelijen Kementerian Pertahanan ketika Hamengkubuwana IX alias Dorodjatun jadi Menteri Pertahanan. Kemudian, Lubis diangkat sebagai Kepala Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP) oleh Simatupang.
Di masa-masa setelah tentara Belanda angkat kaki, menurut Ken Conboy, “Lubis lebih sibuk mengurusi rivalitasnya dengan Nasution dan Simatupang, daripada mengurusi lembaga intelijen” (hlm. 9). Rivalitas Lubis vs Nasution adalah rivalitas yang dilupakan Angkatan Darat, tapi diingat pembaca sejarah militer.
Lubis belakangan dikenal sebagai tokoh PRRI/Permesta. Sementara Nasution hidup mulia sebagai KSAD lalu Menteri Pertahanan yang dijaga dengan baik oleh Sukarno.
Zulkifli Lubis meninggal pada 23 Juni 1993, tepat hari ini 26 tahun lalu. Ia sangat layak diberi gelar Bapak Intelijen Indonesia.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 9 November 2018 sebagai bagian dari Seri Intelijen Revolusi. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan