tirto.id - “Kami, Presiden Republik Indonesia, Setelah membaca putusan Panglima Besar Tentara bertanggal 3 Mei 1947, berisi pembubaran Penjelidik Militer Choesoes (PMC). Setelah membaca pula usul Panitya Besar Penjelenggara Soesoenan Tentara tentang pembentukan susunan kementerian pertahanan yang didalamnya diadakan jawatan rahasia. Sesudah mendengar nasehat Menteri Pertahanan, memutuskan: Memerintahkan kepada Menteri Pertahanan membentuk Badan Rahasia.”
Itulah titah Sukarno dalam surat keputusan bertanggal 7 Mei 1946, yang terdapat di "Arsip Kementerian Pertahanan RI Nomor 752 (Surat dari Pimpinan Badan Rahasia Negara (BRANI) tanggal 22 Agustus 1946 tentang BRANI yang berdiri langsung di bawah Presiden)".
Apa yang dikehendaki Sukarno dari badan intelijen baru itu adalah “mengadakan kontra spionase; mengadakan kontrol atas segala badan dan perorangan pemerintahan; merancang aturan tentang perang pikiran; merancang Field Preparation (Persiapan Lapangan) dan intelligence berhubungan dengan itu.”
Terkait Field Preparation, badan ini harus berkoordinasi dengan Markas Besar Umum Tentara di Yogyakarta.
Bertindak sebagai kepala dari badan intelijen baru itu adalah Zulkifli Lubis, yang sebelumnya memimpin Penjelidik Militer Choesoes (PMC). Kepala Badan Rahasia ini dalam surat tanggal 13 Agustus 1946 menyebut, “[...] telah dibentuk satu Badan Rahasia dalam Negara Republik Indonesia dengan nama: BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia) yang berdiri langsung di bawah Presiden Republik Indonesia.”
Field Preparation (FP) pun kemudian jadi perpanjangan tangan BRANI di lapangan. Organ ini juga ditugaskan menggalang dukungan untuk Republik di luar Jawa.
Menurut Ken Conboy dalam bukunya, Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007: 4), ada juga anggota BRANI yang beroperasi di luar negeri.
Dalam memoarnya yang dimuat di majalah Tempo (29/7/1989), Zulkifli Lubis mengatakan FP tak cuma mengintai musuh, tapi juga memberi penerangan akan keberadaan Republik Indonesia kepada rakyat sipil yang tersebar di seluruh Nusantara. Mereka dikirim dalam ekspedisi ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, pada akhir 1945. Di antara jaringan jauh Lubis di Sulawesi Selatan terdapat Robert Wolter Mongisidi (hlm. 55-57).
“Waktu di FP atau BRANI, saya kebanyakan menggunakan pelajar. Selain itu, juga bekas dari Seinen Dojo atau Yugekki. Yugekki ini suatu kumpulan gerilya di Salatiga. Jadi, semacam pasukan gerilya, tapi lebih bersifat politis. Termasuk di dalamnya Bambang Supeno di Malang, Kusno Wibowo. Jadi, seperti Dirgo (Sudirgo), Sakri, Suprapto bekas gubernur, Tjokropranolo, itu bekas Yugekki. Mereka banyak ikut dengan saya. Mereka direkrut tanpa klasifikasi. Hanya dilihat sekolahnya,” aku Lubis kepada Tempo.
“Organisasi kami di Sumatera yang ada di Kuala Enoh atau Kuala Tungkal. Penyelundupan itu untuk membantu operasi di Kalimantan yang di bawah pimpinan Mulyono. Termasuk di dalamnya Tjilik Riwut,” lanjutnya.
Misi heroik orang-orang Tjilik Riwut di Kalimantan dalam operasi airborne pertama Indonesia itu gagal. Mereka tertangkap militer Belanda, bahkan ada yang terbunuh.
Siap Tak Dapat Bintang
Lubis selalu menuntut kepada para anggotanya bahwa “Intelijen itu dasarnya, kesatu, dia harus obyektif, kedua, harus pandai menilai suatu berita, untuk mencari obyektivitas, ketiga, harus memberitakan apa adanya. Tidak boleh disimpan. Tapi jangan lupa dengan nilai. Sesudah itu, kita harus security minded, dan intelijen itu harus tanpa pamrih. Total abdi mutlak.”
Tentara reguler yang ada di TNI, tutur Lubis, "masih bisa dapat bintang, naik pangkat, kalau mati masih bisa dimakamkan di makam pahlawan. Kalau intelijen, tidak boleh begitu. Dia harus betul-betul mengabdi, semata-mata untuk negara dan orang banyak."
Zaman BRANI masih eksis adalah masa emas Lubis. Sebagai kepala intelijen negara, dia dekat dengan Sukarno. “Pada saat itu, saya salah satu pejabat yang bisa langsung melapor pada Bung Karno di kamar tidurnya.”
Lubis merasa keberadaannya sebagai orang dekat Presiden tak disukai Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin.
Perdana Menteri kala itu adalah Sutan Sjahrir. Posisi Sjahrir pernah digoyang politisi yang mengaku diri kawan dekat Tan Malaka. Orang-orang inilah yang kemudian terlibat dalam plot kudeta 3 Juli 1946. Golongan ini mendatangi Sukarno di hari itu untuk menuntut agar presiden mengubah formasi pemerintahan. Dengan kata lain melengserkan Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri.
Dalam peristiwa itu, menurut Ken Conboy, terdapat Jenderal Mayor Sudarsono di golongan pengudeta (hlm. 4). Dia panglima Divisi Diponegoro (Jawa Tengah) yang juga membawahi Letnan Kolonel Soeharto (kelak Presiden RI). Sang jenderal ini mendatangi Sukarno ke istana.
“Lubis menempatkan agen kepercayaannya untuk menjadi ajudan Sukarno. Ketika Sudarsono tiba di kantor Sukarno dengan membawa pistol dan menunjukkan sikap yang emosional (dan berpotensi membahayakan), ajudan tersebut meminta sang jenderal untuk meninggalkan senjatanya di luar, yang kemudian ternyata merupakan jebakan agar Sudarsono dapat ditangkap,” tulis Ken Conboy.
Gagallah plot dari orang-orang yang dianggap pengikut Tan Malaka itu. Mereka kemudian ditahan, tapi nama baiknya tak rusak. Padahal banyak pemberontak dan pelaku kudeta Indonesia dihukum mati dan rusak nama baiknya. Bahkan beberapa di antaranya hidup mulia di mata masyarakat dan ada yang dijadikan menteri oleh Sukarno setelah Tan Malaka terbunuh pada 1949.
Membentengi Pengaruh Politikus
Lubis mengaku dirinya tak dapat dipengaruhi Amir Sjarifoeddin yang ingin menguasai intelijen. Amir adalah orang politik. Sudah jadi tabiat orang politik untuk dapat kekuasaan. Menguasai intelijen tentu saja sangat berharga. Tak hanya bagi Amir, tapi juga politikus lain.
Di bulan-bulan pertama BRANI bekerja, di bawah Kementerian Pertahanan, Amir merestui berdirinya lembaga intelijen yang dinamai Kementerian Pertahanan Bagian B. Bekas komisaris Soekardiman ditunjuk menjadi kepalanya. Organisasi ini nasibnya juga seperti BRANI yang dipimpin Lubis: dibubarkan bersamaan oleh Sukarno.
Masa jaya Lubis tentu berakhir ketika BRANI dibubarkan. Jika di BRANI dia menjadi kepala, dalam organisasi intelijen setelahnya dia menjadi wakil saja. Setelah BRANI bubar, Lubis sulit menemui presiden lagi.
“Saya tidak bisa semudah dulu lagi [ke istana]. Karena ada Sugandhi. Gandhi MKGR itu,” katanya.
Menurut Lubis, Gandhi, ajudan Sukarno yang kelak jadi tokoh Golkar itu, adalah seseorang yang beraliran kiri dari kelompok sosial Mahameru.
Lembaga tempat Lubis menjadi wakil kepala intelijen adalah Kementerian Pertahanan Bagian V, di mana mantan BRANI dan Bagian B bersatu. Lubis bertahan di sana karena dianggap ahli.
Sementara itu, menurut Ken Conboy, kepala intelijen Bagian V, yang bernama Abdoelrachman, tidak punya latar intelijen seperti Lubis.
Sepanjang Oktober-November, Tirto menayangkan edisi khusus bertajuk "Seri Intelijen Revolusi". Serial ini hadir setiap Jumat.
Editor: Ivan Aulia Ahsan