tirto.id - Demonstrasi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dalam rangka evaluasi tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Jumat (20/10) pekan lalu berujung ricuh. Sampai Selasa (25/10) malam, masih ada dua mahasiswa yang ditahan di Polda Metro Jaya, Muhammad Ardy Sutrisbi, asal Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Ihsan Munawwar, dari STEI SEBI.
Selain dua mahasiswa itu, sebelumnya pihak kepolisian juga menangkap 12 mahasiswa lainnya--kini sudah dibebaskan. Senin (23/10) kemarin, Polda Metro Jaya menetapkan dua tersangka baru, Panji Laksono dan Presiden BEM Universitas Sebelas Maret (UNS) Wildan Wahyu Nugroho. Keduanya telah dipanggil oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro, tetapi tidak hadir.
Apa sebetulnya yang terjadi ketika itu?
Muhammad El Luthfie Arif, Kepala Departemen Kajian Strategis (Kastrat) BEM Universitas Indonesia--bagian dari BEM SI--yang mengikuti aksi tersebut hingga selesai, bercerita kepada Tirto bahwa aksi mereka dimulai pukul 14.00. Massa aksi dari berbagai kampus di Indonesia itu berkumpul di Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, dan melakukan march hingga lampu merah depan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Massa sudah tidak bisa bergerak lebih dekat lagi ke Istana Negara karena ketika itu polisi sudah memasang kawat berduri. Demonstrasi pun dilakukan di titik itu, dengan konten sebagaimana demo pada umumnya. "Ada orasi, teatrikal, dan puncaknya 'sidang rakyat', yang intinya meminta Jokowi mendengar tuntutan kami," terang Luthfie, Selasa (24/10) malam.
Orasi politik selesai ketika magrib tiba. Ketika itu, BEM-SI memutuskan untuk memulangkan massa aksi perempuan, sementara BEM UI memilih untuk memulangkan semua massanya, dengan hanya menyisakan beberapa fungsionaris BEM saja.
Berbeda dengan aksi di siang hari, demonstrasi mereka dari magrib hingga malam tiba tidak riuh sama sekali. Massa, yang menurut Luthfie tinggal tersisa 200-300 orang, bertahan dengan duduk-duduk di aspal. Ketika itu Medan Merdeka Barat memang sudah diblokade polisi sejak siang.
Baca juga:BEM UNS Gelar Aksi Tuntut Pembebasan Aktivis Mahasiswa
Ketika malam semakin larut, mulai banyak polisi berpakaian preman yang berkeliaran di antara massa aksi yang memang sudah "cair", tidak ada border hidup atau semacamnya. Satu dari polisi berpakaian preman itu sempat bertanya kepada Luthfie, yang sejak siang tidak pernah menggunakan jaket almamater, tentang nama-nama dan asal beberapa peserta aksi. "Sepertinya nanya-nanya itu karena memang untuk diincar," kata Luthfie.
Sekitar jam 22.00, ketika massa aksi masih juga dalam kondisi duduk dengan menyalakan lilin, keadaan makin ramai. Dari pengamatan Luthfie, ketika itu sudah banyak polisi anti huru-hara, dan water cannon sudah terlihat dari kejauhan. Sementara polisi yang paling dekat dengan massa aksi mulai melakukan provokasi dengan nada melecehkan.
"Enak nih, diinjeknya. Nanti nangis lagi," kata Luthfie, menirukan celotehan polisi kepada massa aksi. Polisi-polisi ini, menurutnya, masih terhitung muda. Terlihat dari perawakan dan wajah.
Pukul 22.30, ada beberapa polisi menunggangi motor terus menerus membetot gas di belakang massa aksi. Pada pukul 23.00, polisi mulai bergerak dengan mengambil tongkat yang digunakan untuk mengibarkan bendera demonstran. Ini dilakukan dengan paksa.
"Di saat itu, massa UNJ memutuskan untuk mengakhiri aksi. Kepergian massa UNJ membuat massa aksi lain panik karena jumlah demonstran berkurang," aku Luthfie.
Baca juga:Soal Penangkapan Mahasiswa, Polisi: Nanti Saja di Pengadilan
Pembubaran demonstrasi terjadi setengah jam kemudian. Pertama-tama, yang dilakukan korps baju cokelat ini adalah mengurung massa aksi dari berbagai sisi dan mendesak mereka ke trotoar depan Kemenko PMK. Massa aksi merespons dengan berdiri dan mencoba bertahan.
"Di titik itu mulai ricuh. Kami didorong ke trotoar. Ada kekerasan. Saya lihat ada yang ditendang perutnya. Saya juga didorong dan ditendang. Ada yang ditarik sampai bajunya robek. Sampai di trotoar kami masih ditendang," ujar Luthfie. Barisan massa aksi pun sudah tidak bisa dikontrol lagi, mundur ke arah Monas.
"Waktu pada mundur itu polisi masih mengikuti. Mereka bilang 'cepat-cepat'. Sampai Patung Kuda masih diikuti. Massa pecah," kata Luthfie. Tidak ada water cannon, atau tembakan gas air mata sebagaimana yang kerap dilakukan polisi untuk membubarkan demonstrasi.
Setelah suasana agak reda, barulah mereka tahu bahwa ada kawannya yang tidak berkumpul. Diketahui kemudian mereka diciduk polisi.
Sementara, Ketua BEM UI, Syaeful Mujab, yang juga mengikuti aksi sampai dibubarkan, mengatakan bahwa ketika kericuhan berlangsung, ada lemparan batu dari arah dalam Monas. "Ini yang membuat ada kawan yang kepalanya bocor," katanya kepada Tirto.
Baca juga:14 Demonstran di Istana Kepresidenan Dibekuk Polda Metro Jaya
Mujab adalah orang yang menyelamatkan Wildan, Presiden BEM UNS yang ditetapkan sebagai tersangka kemudian. Menurut pengakuannya, Wildan sudah diincar sejak awal karena memang ia cukup menonjol dalam demo, yang paling sering berorasi. Wildan sempat ditarik polisi sebelum dibantu Mujab. "Yang menarik Wildan itu polisi berbaju sipil, kaos warna putih," kata Mujab.
Sampai saat ini, keberadaan Wildan masih tidak diketahui. Mujab telah mengontaknya berkali-kali, namun tidak juga ada respon.
Mujab baru kembali dari Polda untuk menjenguk Ardy dan Ihsan ketika dihubungi Tirto. Menurut Mujab, kedua kawannya ini diinterogasi dengan cukup intensif, bahkan polisi kerap melontarkan kata-kata kotor. "Meski menurut pengakuan mereka memang tidak ada kekerasan fisik," katanya.
Polisi Membantah
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono dalam pernyataan kepada media, di Jakarta, Sabtu (21/10) membantah polisi telah memprovokasi pendemo dengan cara memukul dan menjambak sehingga terjadi keributan sebelum terjadinya penangkapan.
Menurut Argo, aparat kepolisian telah mengupayakan berbagai cara dan persuasif mengimbau pendemo menyampaikan aspirasi sesuai Undang-undang. Petugas bahkan memberikan kesempatan kepada pengunjuk rasa berdemo sejak pukul 11 siang hingga pukul 11 malam.
Lantaran tidak menuruti imbauan polisi itulah, para pengunjuk rasa dibubarkan paksa.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti