Menuju konten utama

Yang Terjadi di Balik Pembubaran Diskusi Buku Ahmadiyah Bandung

Beberapa waktu lalu acara bedah buku Haqiqatul Wahy oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesia dikabarkan dibubarkan. Kami menelusuri lagi apa yang sesungguhnya terjadi.

Yang Terjadi di Balik Pembubaran Diskusi Buku Ahmadiyah Bandung
[Ilustrasi] Spanduk berisi penolakan dan tanda tangan warga terhadap Jamaah Ahmadiyah di Masjid Jamaah Ahmadiyah Sawangan, Depok, Jawa Barat, Jum,at, (24/2). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Waktu memang baru menunjukkan sekitar pukul 9:30 pagi, tetapi suara-suara para pengunjuk rasa acara peluncuran dan bedah buku Haqiqatul Wahy yang diselenggarakan oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Masjid Mubarak, Bandung, Jawa Barat, sudah terdengar hingga dalam Masjid Mubarak, Bandung, Jawa Barat.

Acara yang dilangsungkan Sabtu (5/1) itu memang dijadwalkan untuk dimulai pukul 08.00, tapi baru sungguh-sungguh dimulai sekitar pukul 09.00.

Di tengah-tengah acara, ketika salah seorang narasumber masih berbicara, telepon genggam Mansyur Ahmad tiba-tiba berdering. Nama Pasiintel Kodim 0618/BS Mayor Inf O. Suharto tertera pada layar teleponnya. Tanpa menunda waktu, Ketua Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Bandung Tengah itupun segera mengangkat panggilan telpon tersebut.

Panggilan telepon itu menjadi awal dari negosiasi singkat yang dilakukan oleh pihak JAI Bandung Tengah didampingi oleh pihak kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan massa dari sejumlah organisasi masyarakat yang berdemo di depan Masjid Mubarak, termasuk Front Pembela Islam (FPI) dan Jawara Sunda.

“Karena ditelepon, saya keluar. Saya diminta untuk menghadap pendemo,” cerita Mansyur kepada Tirto. “Saya diantar oleh Danramil, Kapolsek, dan Intel Polrestabes untuk mendatangi dua rumah dari masjid untuk bernegosiasi.”

Ada tiga orang dari pihak pendemo, sebut Mansyur, salah satunya adalah Muhammad Ro’in, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, organisasi yang juga ikut dalam demo tersebut. Ia didampingi oleh Danramil dan Kapolsek.

“Saya biasa saja bicara gitu. Saya salaman juga,” jelas Mansyur. “Tadinya dia (Ro’in) tidak mau, tapi saya salaman saja. Saya tidak mau memusuhi siapapun. Kita (JAI) punya motto itu.”

Tidak banyak yang dibicarakan dalam negosiasi yang berlangsung kurang lebih 10 menit itu. Ia mengatakan, pihak pendemo meminta acara untuk segera diselesaikan. Kedua belah pihak akhirnya sepakat acara bedah buku itu diakhiri pada pukul 10.30.

Pihak pendemo beralasan, aksi unjuk rasa itu untuk mengawal Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 serta Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No.3 Tahun 2008. Seperti dilaporkan BBC, Ro’in mengatakan bahwa peraturan tersebut melarang adanya aktivitas Jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat. Meski keadaan sempat memanas, tidak ada kekerasan fisik yang terjadi di antara kedua belah pihak.

Mansyur mengatakan, para peserta bedah buku mulai berangsur-angsur pulang sesuai waktu yang disepakati. Acara tersebut tuntas dilakukan, ditutup setelah sesi tanya jawab berakhir. “Acaranya semua tersampaikan,” jelas Mubaligh Ahamadiyah daerah Bandung, Hafizurrahman Danang, kepada Tirto.

Sejumlah hadirin, lanjut Mansyur, ada yang memilih untuk bersantap siang terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Massa pendemo, sementara itu, juga berangsur-angsur habis sebelum waktu menunjukkan pukul 12.00 siang.

Acara Akademis Biasa

Danang mengatakan, acara bedah buku itu diprakarsai oleh ikatan pemuda mahasiswa-mahasiswi Ahmadiyah Bandung dan diagendakan berjalan selama dua setengah jam. Pada awalnya, acara direncanakan mulai pada pukul 09.00 dan berakhir pukul 11.30, tetapi kemudian dimajukan satu jam menjadi pukul 08.00.

“Kita memang 10.30 (dijadwalkan) sudah selesai,” jelasnya.

Ia mengakui, sebelum menggelar acara tersebut, telah mendapatkan info ada beberapa pihak yang tidak menyetujui acara tersebut. Namun, pihak panitia penyelenggara memutuskan untuk tetap menggelar acara itu.

“Jika mereka demo, tetap harus dikasih ruang sehingga demo jalan, kemudian kita pun berjalan ... Kami kan memiliki hak sebagai warga negara juga kan,” sebut Danang, sembari menambahkan bahwa pihak penyelenggara sudah memberikan informasi terkait acara tersebut kepada Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).

Pembicara dalam acara tersebut pun tidak hanya dari kalangan Ahmadiyah, sebutnya. Total terdapat empat pembicara yang dijadwalkan: Amir Nasional JAI Abdul Basit; Dewan Naskah JAI Muhamad Sutrisna; Intelektual Muda Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi; dan Pengurus Besar JAI Ekky O. Subandi. Abdul Basit, jelas Mansyur, berhalangan untuk hadir.

Buku Haqiqatul Wahy sendiri, sebut Danang, berisikan tulisan pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad, mengenai penggenapan-penggenapan wahyu yang meninggikan derajat Nabi Muhammad SAW.

Tidak hanya dari kalangan Ahmadiyah yang mengikuti acara bedah buku tersebut, jelas Danang. Sejumlah orang dari kalangan Muhammadiyah, Syiah, serta kalangan akademisi dari sejumlah universitas di Bandung juga turut hadir dalam acara tersebut dengan jumlah total peserta sekitar 100 orang.

Beberapa yang hadir, kata Mansyur, adalah Syaeful Abdullah, mantan ketua FPI Bandung dan Agus Nero serta Kunto Sofianto, akademisi dari Universitas Padjadjaran.

Mansyur mengatakan, protes massa tersebut boleh jadi ada kaitannya dengan tahun 2019 ini sebagai tahun politik.

SKB dan Pergub Bermasalah

Direktur Riset SETARA Institute Halili, dalam rilis resmi, menyebut bahwa protes massa terhadap acara bedah buku tersebut semakin menegaskan bahwa SKB dan Peraturan Gubernur Jawa Barat dapat digunakan sebagai alat yang dapat memicu pelanggaran hak-hak pemeluk Ahmadiyah sebagai warga negara.

Oleh karenanya, SETARA mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah progresif terhadap hal tersebut. Kepada pemerintah pusat dan Gubernur Jawa Barat yang baru Ridwan Kamil, mereka mendesak agar keduanya segera mencabut SKB dan membatalkan Pergub yang berpotensi melanggar hak-hak kalangan minoritas, termasuk pemeluk Ahmadiyah.

Kepada pemerintah kota, sementara itu, SETARA meminta agar Walikota Bandung Oded Muhammad Danial agar dapat lebih tegas dalam melindungi hak-hak asasi manusia.

“Walikota harus memposisikan diri sebagai pelindung hak seluruh warga, terutama minoritas yang rentan dikorbankan dalam relasi dengan kelompok-kelompok intoleran yang kerapkali mengatasnamakan mayoritas. Dalam peristiwa yang terjadi kemarin, Pemerintah Kota sempat menganjurkan agar acara peluncuran buku tersebut ditunda,” sebut Halili.

Direktur LBH Bandung Willy Hanafi mengatakan kepada Tirto, adanya rekomendasi dari pihak pemerintah untuk membatalkan atau menunda acara bedah buku tersebut dengan alasan akan ada protes massa, menandakan adanya pembatasan hak-hak warga negara.

“Menurut kami demonya sendiri sudah hate speech. Malah itu (demo) yang dijadikan alat untuk menekan teman-teman Ahamdiyah,” tambahnya.

Infografik Nasib Ahmadiyah di indonesia

Infografik Nasib Ahmadiyah di indonesia

Selain itu, fakta bahwa acara tersebut dimajukan dari jadwal yang sebelumnya sudah ditetapkan juga menunjukkan bahwa intimidasi sesungguhnya telah terjadi dalam proses penyelenggaraan acara tersebut.

Situasi tersebut, menurutnya, berpotensi berulang di masa depan jika tidak ada tindakan apapun baik dari pihak masyarakat sipil maupun pemerintah, utamanya terkait SKB dan Pergub. “Kita tidak ingin itu berulang,” katanya.

Karena itu, Willy mengatakan, pihak LBH bersama sejumlah koalisi masyarakat sipil yang lain akan melayangkan pernyataan sikap kepada pemerintah kota Bandung sebagai bagian dari mengingatkan pemerintah untuk memenuhi hak warga.

“Hak mereka (Ahmadiyah) dalam konteks beragama, berkeyakinan harus dilindungi dan dipenuhi,” kata Willy, sembari menambahkan mereka akan berkomunikasi terlebih dahulu dengan pihak Ahmadiyah Bandung terkait hal ini. Ia menjadwalkan akan bertemu mereka pada Selasa (15/1).

Acara bedah buku itu sendiri, menurut Willy, tidak melanggar baik SKB maupun Pergub karena dilakukan di Masjid milik Ahmadiyah sendiri.

Jemaah Ahmadiyah memang kerap mengalami kasus persekusi di Indonesia. Berdasarkan catatan Tirto, sejumlah tindakan persekusi telah mereka bahkan sejak tahun 1999. Sementara itu, berdasarkan penelitian Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Ahmadiyah masuk dalam kelompok yang paling tidak ditoleransi bersama dengan teroris dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Posisi Ahmadiyah ini masih lebih rendah dibandingkan sejumlah kelompok yang memiliki afiliasi dengan agama Islam seperti Syiah, FPI, bahkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Baca juga artikel terkait INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti