Menuju konten utama

Gugatan Jemaah Ahmadiyah Soal Pasal Penodaan Agama Ditolak MK

Para jemaah Ahmadiyah telah mencampuradukan persoalan konstitusionalitas norma dalam UU 1/PNPS/1965 dengan tindak lanjut pelaksanaan UU aquo melalui SKB.

Gugatan Jemaah Ahmadiyah Soal Pasal Penodaan Agama Ditolak MK
Ilustrasi Suasana sidang uji materi atas UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Gugatan Jemaah Ahmadiyah soal pasal penodaan agama ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan itu dibacakan dalam sidang putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (23/7/2018).

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Anwar Usman yang membacakan putusan tersebut dalam sidang putusan di Mahkamah Konstitusi.

Gugatan jemaah Ahmadiyah itu mempermasalahkan ketidakjelasan Pasal 1, 2 dan 3 dalam UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama juncto UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang.

Ketidakjelasan soal pasal penodaan agama tersebut mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang adil serta munculnya ragam penafsiran.

Sembilan Jemaah Ahmadiyah yang mengajukan gugatan itu juga menilai hak konstitusionalnya terlanggar. Sebab, tiga pasal itu menjadi dasar penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri.

SKB yang dimaksud yakni Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008 terbit dengan alasan bahwa ajaran yang dianut oleh anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) bertentangan dengan Islam. Alasan utama pemerintah adalah karena menganggap ajaran kelompok itu mengakui ada nabi setelah Muhammad SAW, yakni Mirza Ghulam Ahmad.

Hadirnya SKB Tiga Menteri itu, menurut jemaah Ahmadiyah, membuat mereka dibatasi termasuk dalam beribadah. SKB tersebut juga dijadikan dasar untuk melakukan penyegelan bahkan ada juga yang merusak masjid tempat ibadah jemaah Ahmadiyah. Hal ini, kata mereka, bertentangan dengan UUD 1945 dan menimbulkan kerugian konstitusional.

Namun menurut MK "Para jemaah Ahmadiyah telah mencampuradukan persoalan konstitusionalitas norma dalam UU 1/PNPS/1965 dengan tindak lanjut pelaksanaan UU aquo melalui SKB dan keputusan kepala daerah. Benar bahwa pembentukan SKB sebagai produk sebuah penetapan (beschikking) diterbitkan berdasarkan Pasal 2 UU 1/PNPS/1965. Hanya saja, jika terdapat masalah atau kerugian akibat diberlakukannya SKB atau perda yang menjadikan UU 1/PNPS/1965 sebagai dasar pembentukannya, maka bukan berarti UU PPNS yang bertentangan dengan UUD 1945."

Selain itu, terkait pembatasan dalam beribadahan, MK mengatakan, "larangan dalam UU 1/PNPS/1965 hanya sekadar membatasi perbuatan yang berhubungan dengan pernyataan pikiran dan sikap di muka umum, bukan membatasi keyakinan seseorang secara individu yang memang merupakan haknya."

Meski demikian, MK menyatakan bahwa UU 1/PNPS/1965 memang membutuhkan revisi agar tidak terjadi penafsiran berbeda terkait penodaan agama. Akan tetapi, untuk mengubah UU tersebut haruslah dilakukan melalui proses legislasi dengan melibatkan para pihak yang terkait.

"Oleh sebab itu, untuk memperbaikinya adalah merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui proses legislasi," menurut MK.

Baca juga artikel terkait PASAL PENODAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Hukum
Penulis: Yantina Debora
Editor: Yantina Debora