Menuju konten utama
Mozaik

Yahya Sinwar, Lahir di Pengungsian dan Gugur di Medan Tempur

Yahya Sinwar kerap menghukum orang-orang Palestina yang menjadi kolaborator Israel. Kematiannya yang ikonik menjadi inspirasi bagi generasi muda Palestina.

Yahya Sinwar, Lahir di Pengungsian dan Gugur di Medan Tempur
Header Mozaik Yahya Sinwar. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada 25 Oktober 2011, seorang ulama asal Arab Saudi, Sheik Awadh al-Qarani, menawarkan hadiah sebesar $100.000 kepada siapa pun yang berhasil menculik tentara Israel. Ia merespons langkah serupa yang dilakukan keluarga Solomon Liebman yang memberikan sayembara bagi siapa saja yang berhasil membunuh Khuwailid Ramadan dan Nizar Ramadan, dua tersangka yang diduga menghabisi nyawa Solomon Liebman.

Empat hari kemudian, Pangeran Arab Saudi, Khaled bin Talal, mendukung upaya al-Qarani dengan menaikkan hadiah sebesar $900.000 bagi pelaku yang sukses menculik tentara Israel.

Seminggu sebelumnya, seorang tentara Israel, Gilad Shalit, dibebaskan oleh Hamas setelah diculik selama lima tahun sejak Juni 2006. Ia merupakan seorang kopral yang menjaga perlintasan Kerem Shalom, pintu perbatasan antara Jalur Gaza dan Israel.

Shalit diculik pasukan militan pejuang Palestina yang melakukan serangan sistematis melalui terowongan rahasia usai menaklukan beberapa pasukan penjaga dan sistem menara pengawas.

Shalit dibebaskan melalui pertukaran dengan 1.027 tahanan Palestina. Melalui negosiasi yang alot dan memakan waktu lama, Hamas dan Israel menandatangani kesepakatan pertukaran tahanan yang dikenal dengan Wafa al-Ahrar (setia kepada yang bebas).

Dimediasi oleh Mesir dan Jerman pada 11 Oktober 2011 di Kairo, pertukaran tahanan terjadi dalam dua tahap. 477 tahanan Palestina dibebaskan pada fase pertama dan sisanya dibebaskan pada fase kedua, kriteria tahanan yang dibebaskan dilakukan oleh Israel.

Sebagian besar tahanan Palestina yang divonis tengah menjalani hukuman seumur hidup oleh pengadilan Israel. Salah satu tokoh yang dibebaskan ialah sosok yang di kemudian hari menjadi salah satu arsitek aksi Badai al-Aqsha pada 7 Oktober tahun lalu. Ia juga merupakan salah satu pendiri Brigade Izzuddin al-Qassam, sayap militer Hamas.

Pada 16 Oktober 2024 ia menjadi martir dalam pertempuran sengit dengan Israel. Ia tampil jelang akhir hayatnya dengan aksi ikonik: kepala berbalut kaffiyeh dengan luka di lengannya sembari melempar sebilah kayu kepada drone Israel.

Inilah Yahya Ibrahim Hassan Sinwar.

Lahir di Barak Pengungsian

Yahya Sinwar lahir pada 29 Oktober 1962 di kamp pengungsian Khan Younis, di Jalur Gaza. Ia juga dikenal dengan panggilan Abu Ibrahim yang dinisbatkan pada nama ayahnya, berasal dari keluarga Palestina yang menjadi korban pendudukan Israel saat peristiwa Nakba 1948. Mereka terusir dari tanah kelahirannya dan sejak itu Sinwar bertekad menentang segala pendudukan oleh Zionis.

Usai menamatkan sekolah menengah di Khan Younis, Sinwar melanjutkan ke Universitas Al-Azhar Gaza pada 1984 untuk belajar ilmu agama dan politik. Selama di kampus, ia dikenal sebagai orang yang aktif di berbagai organisasi, termasuk membangun jaringan aktivis Islam. Lain itu, ia bekerja di bidang kontruksi untuk meringankan biaya kuliahnya.

Sinwar terlibat dalam aktivisme sejak usia muda. Selama jadi mahasiswa, ia kerap dituduh dalam gerakan teror anti Israel di kampusnya dan sering kali berakhir dalam penjara Israel selama berbulan-bulan.

Selama 1984-1985 ia mulai bertemu dengan pemimpin Hamas, Syeikh Ahmad Yassin. Ia bersama rekannya, Rawhi Mushthaha, dipercaya untuk membangun jaringan personel keamanan yang disebut Munazzamat al-Jihad w’al-Daw (Al-Majd).

Jaringan ini terdiri dari berbagai sel personal yang kompleks, menyebar di seluruh Jalur Gaza. Tugasnya mengidentifikasi orang-orang Palestina yang dicurigai menjadi kolaborator Israel. Sejak itulah Yahya Sinwar dikenal sebagai “Penjagal dari Khan Younis” karena kerap menghukum para pelaku dengan tangannya sendiri. Dalam beberapa pengakuannya, ia telah membunuh 12 kolaborator yang dicurigai membelot kepada Israel.

Al-Majd mulai efektif beroperasi hingga meletusnya Intifada Pertama tahun 1987. Organisasi ini lantas dikembangkan dan menjadi bagian dari sayap militer Hamas, Brigade Izzudin al-Qassam.

Pada Januari 1988, Yahya Sinwar dicurigai Israel karena melanggar administrasi yang menyebabkan ia disiksa selama enam minggu. Setahun kemudian, dua tentara Israel diculik dan dibunuh oleh Hamas, Sinwar diduga terlibat langsung dalam aksi tersebut.

Selain menghabisi nyawa dua tentara Israel, Sinwar juga mengeksekusi empat tersangka mata-mata Palestina, sehingga dalam persidangan militer pada 1989 ia dijatuhi vonis hukuman seumur hidup.

Warsa 2004, Sinwar menderita tumor otak yang memaksa seorang dokter gigi penjara, Dr. Yuval Bitton, membujuknya agar dibawa ke rumah sakit. Dokter ahli bedah berhasil mengangkat tumornya.

“Penting baginya bahwa saya mengerti dari seorang Muslim, betapa pentingnya hal ini dalam Islam--bahwa ia berutang pada saya hidupnya,” ujar Bitton seperti dilansir The New York Times.

Pada akhir tahun 2004, Sinwar menyelesaikan novel yang ia tulis selama dalam sel dengan judul The Torn and the Carnation. Menceritakan sosok bernama Ahmed yang muncul dengan latar Perang Arab-Israel 1967. Tokoh ini menuntaskan dendam kepada pendudukan Israel dengan melakukan perlawanan. Novel tersebut diyakini sebagai autobiografi Yahya Sinwar.

Selama di penjara, Sinwar mengembangkan keahliannya dalam bahasa Ibrani, mendalami politik Israel, dan sejarah orang-orang Yahudi, yang memengaruhi prinsip dan pendekatannya sebagai pemimpin Hamas.

Setelah dibebaskan dalam pertukaran tahanan pada tahun 2011, Sinwar semakin menonjol dalam struktur kepemimpinan Hamas. Ia diangkat sebagai pemimpin Hamas di Jalur Gaza pada 2017, menggantikan Ismail Haniyeh.

Dia bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan strategis yang berkaitan dengan operasional Hamas di wilayah tersebut. Sinwar dianggap sebagai sosok yang memiliki pandangan ekstrem terhadap Israel dan kerap mengedepankan taktik perlawanan bersenjata.

Memimpin Hamas di Jalur Gaza

Sebagai pemimpin, Sinwar berperan penting dalam beberapa konflik yang terjadi antara Hamas dengan Israel, serta dalam membentuk kebijakan dalam urusan lintas batas yang berkaitan dengan blokade Gaza. Lubang antara pendekatan politik dan militer menjadi ciri khas kepemimpinannya.

Sebagaimana pemimpin Hamas lainnya, Sinwar juga menjadi figur yang dianggap kontroversial. Ia dihormati banyak pendukung Hamas, tetapi dikritik secara internasional karena kebijakan dan tindakan yang diambil Hamas di Gaza.

Departemen Pertahanan AS berkali-kali mencapnya sebagai teroris dimulai sejak 8 September 2015 bersama pentolan Hamas lainnya, Rawhi Mushtaha dan Muhammed Deif.

Sebagai mantan komandan Brigade Izzuddin al-Qassam, Sinwar juga fokus pada penguatan kemampuan militer kelompok tersebut, termasuk pengembangan senjata dan taktik perlawanan.

Ia menjalin negosiasi dengan kelompok-kelompok lain di Palestina, serta dengan pihak luar, termasuk Iran dan Hizbullah, dalam upaya menjalin taktik serangan senjata dan dialog untuk menyingkirkan pendudukan Zionis Israel.

Pada Mei 2021, sejumlah rudal ditembakkan ke wilayah Israel oleh para pejuang Palestina menyikapi demonstrasi anti pemukiman Yahudi yang berujung pada kekerasan oleh tentara Israel. Sinwar mengklaim serangan tersebut sebagai uji kelayakan kemampuan Hamas dalam memobilisasi perlawanan.

Israel membalasnya dengan sejumlah serangan udara yang menyebabkan korban sipil dan hancurnya beberapa fasilitas umum. Dalam laporannya, Organisasi Hak Asasi Manusia (HRW) menyebut serangan udara Israel sebagai kejahatan perang.

Sinwar tetap berusaha menangani tantangan sosial, khususnya pengungsian dan ekonomi di Gaza di tengah blokade Israel, misalnya penyediaan layanan dasar bagi warga sipil, seperti air bersih dan suplai makanan.

Dalam pidatonya, ia selalu menyatakan komitmennya untuk membela hak-hak Palestina dan menuntut pengakuan terhadap proyek negara Palestina. Sinwar juga kerap melontarkan retorika yang menyerukan persatuan di antara faksi-faksi Palestina dan mendukung langkah-langkah untuk melawan segala agresi Israel.

Sinwar adalah pemimpin yang berpengaruh dalam Hamas, terutama dalam merancang strategi militer. Ia sering memerintahkan untuk menculik lebih banyak tentara Israel untuk dilakukan pertukaran dengan tahanan Palestina lainnya.

Pandangannya tak kenal kompromi, mencerminkan pendekatan keras yang diambil oleh Hamas secara keseluruhan, terutama dalam menghadapi situasi yang dianggap merugikan negara dan manusia Palestina.

Kematiannya yang Ikonik

Setelah Ismail Haniyeh dibunuh pada akhir Juli 2024, Yahya Sinwar secara aklamasi mendapatkan dukungan penuh dari beberapa Dewan Syuro Hamas untuk naik sebagai Kepala Biro Politik Hamas.

“Beberapa pemimpin menyuarakan kekhawatiran mereka, yang lain mendorong orang yang lebih moderat. Namun pada akhirnya ia memperoleh suara mayoritas,” tutur seorang pejabat Hamas kepada Rushdi Abualouf dari BBC.

Sebelumnya, Israel juga membunuh pemimpin Brigade Izzudin al-Qassam, Mohammed Deif, yang merupakan tetangga Sinwar, sekaligus teman sekelasnya di masa kecil pada bulan Juni lalu.

Setelah Sinwar menjadi petinggi Hamas, Israel sangat mewanti-wanti dengan sosok yang sudah memiliki rekam jejak menakutkan sejak tahun 1980-an itu. Ia menjadi target yang harus segera diringkus. Operasi besar-besaran kemudian digelar Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang bersikukuh bahwa Yahya Sinwar berada di terowongan rahasia dan menjadikan warga Gaza sebagai tameng.

Pada akhir Agustus dan awal September, IDF mulai mencurigai sebuah gedung di daerah Tal as-Sultan, di Rafah, Gaza. Kontak senjata terjadi dengan Hamas pada 16 Oktober pagi. Israel memanfaatkan pesawat nirawak untuk mendeteksi berapa jumlah pasukan Hamas yang ada di gedung tersebut.

Infografik Mozaik Yahya Sinwar

Infografik Mozaik Yahya Sinwar. tirto.id/Tino

Pertempuran sengit yang tak berimbang itu mencapai puncaknya saat tank-tank Israel mulai menembaki bangunan dua lantai tersebut. Sinwar melemparkan dua granat ke arah pasukan Israel dan mengalami luka di tangan akibat tembakan tank.

Sore hari, ada jeda kontak senjata ketika pesawat nirawak Israel kembali memasuki lantai dua dan terlihat sosok terluka tengah duduk, berbalut kaffiyeh, dan mencoba menjatuhkan drone tersebut dengan sebilah kayu.

Beberapa jam kemudian sosok tersebut teridentifikasi sebagai Yahya Sinwar. Mentos, pemotong kuku, dan paspor yang sudah kadaluarsa adalah di antara barang-barang yang ditemukan.

Setelha diautopsi, penyebab kematiannya karena terkena pecahan peluru dan tertembak di bagian kepala dalam kontak senjata.

Hamas mengonfirmasi kematian Sinwar tetapi menyatakan tidak akan memengaruhi sikap mereka dalam perlawanan terhadap tentara pendudukan Israel.

Menurut Daniel Byman dalam “A War They Both Are Losing: Israel, Hamas and the Plight of Gaza”, kematian tokoh besar seperti Sinwar atau Deif tidak akan terlalu berarti dari sudut pandang militer, meskipun akan menghasilkan keuntungan politik bagi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Presiden Biden melihat kematian Sinwar sebagai kesempatan untuk perdamaian di Gaza. Ia menyamakan kematiannya seperti kematian Osama bin Laden. Sedangkan Netanyahu menyatakan bahwa perang di Gaza belum berakhir dan berjanji untuk terus mengejar Hamas.

Momen jelang kematian Yahya Sinwar dianggap Israel sebagai “akhir yang menyedihkan”, sementara reaksi dunia menjadikannya sebagai martir yang melakukan perlawanan hingga napas terakhirnya, sekaligus membuktikan bahwa ia tidak pernah bersembunyi dan menggunakan perisai manusia dalam aksinya.

Aksi ikoniknya melemparkan kayu ke arah drone dengan balutan keffiyeh viral di media sosial, termasuk gayanya duduk di sofa dengan senyum penuh ejekan terhadap Israel, tak lama setelah tentara Zionis itu menghancurkan rumahnya di Khan Younis pada 2021.

Baca juga artikel terkait PALESTINA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Politik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi