tirto.id - Pemimpin tertinggi Hamas, Ismail Haniyeh, meninggal dunia akibat terbunuh di Teheran, Iran pada Rabu (31/7/2024) waktu setempat. Dikutip dari New York Times, Hamas menyalahkan Israel akibat pembunuhan Ismail Haniyeh tersebut.
Haniyeh tidak sendiri, sejumlah pengawalnya ikut meninggal di lokasi penginapan akibat pembunuhan tersebut.
Dikutip dari situs resmi Hamas, hamasinfo.info, diungkapkan bahwa Ismail Haniyeh merupakan petinggi Hamas yang sedang berada di pengasingan di Qatar dan melakukan kunjungan ke Iran dalam rangka menghadiri pelantikan presiden terpilih Iran Masoud Pezeshkian dan bertemu dengan pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Sebelum kematian Ismail terjadi, pihak Israel melakukan serangan militer ke Lebanon, tepatnya di wilayah Selatan. Serangan tersebut dianggap Iran sebagai deklarasi perang dengan negara mereka.
Kehadiran Ismail di Iran diduga sebagai bentuk aksi mencari sokongan kekuatan untuk melawan Israel. Menurut analisa New York Times, Lebanon merupakan negara proksi dari Iran, sehingga apabila negara itu diserang menjadi serangan yang sama kepada Iran.
Sebelumnya, di April 2024, Tiga orang putra Haniyeh meninggal dunia akibat dibunuh Israel di kawasan sekitar Gaza. Tiga orang itu antara lain, Amir, Mohammad dan Hazem Haniyeh.
Menurut pernyataan resmi Israel, ketiga putra Haniyeh tersebut aktif sebagai militer Hamas yang sedang bergerilya tepat di saat umat muslim sedang melaksanakan Idul Fitri.
Haniyeh lahir di kamp pengungsi Al-Shati di Jalur Gaza pada tahun 1962. Ia belajar di Universitas Islam Gaza, di mana ia terlibat dengan Hamas, dan lulus dengan gelar sarjana dalam bidang sastra Arab pada tahun 1987. Sejak ditunjuk untuk mengepalai kantor Hamas pada tahun 1997, ia semakin berkembang di jajaran organisasi tersebut.
Sosok Ismail Haniyeh sebelum pergi ke Qatar aktif di parlemen Palestina dari Faksi Hamas. Dia sempat memenangkan pemilihan legislatif di Palestina di 2006 dan menjadi perdana menteri namun dihentikan oleh Presiden Mahmoud Abbas.
Hal itu merupakan imbas puncak konflik Fatah–Hamas, namun Haniyeh tidak mengakui keputusan tersebut dan terus menjalankan otoritas perdana menteri di Jalur Gaza.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Bayu Septianto