Menuju konten utama
Mozaik

Ismail Haniyeh, Negosiator Hamas Dibunuh di Negeri Para Mullah

Sebelum dibunuh di Teheran dalam serangan bom, Ismail Haniyeh malang melintang dalam pergerakan memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Ismail Haniyeh, Negosiator Hamas Dibunuh di Negeri Para Mullah
Header Mozaik Ismail Haniyeh. tirto.id/Ecun

tirto.id - Mentari perlahan tenggelam di ufuk Teheran, menutupi kota dengan selimut jingga. Cahaya remang mulai menerobos celah-celah tirai gedung itu. Ismail Haniyeh, sosok yang begitu dikenal sebagai pemimpin Hamas, bergegas memasuki kamar.

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.20, saat beberapa tamu disapanya dengan pelukan hangat sebelum ia pamit untuk rehat.

Dua hari sebelumnya ia mengepalkan tangan menyambut pelantikan pemimpin baru Iran, Masoud Pezeskhian, yang memenangkan pemilihan umum. Bahkan Haniyeh juga bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, seakan menunjukkan posisinya yang penting dalam konteks politik regional.

Ia lantas masuk kamar, sementara pengawalnya tetap terjaga di luar memastikan keamanan. Selama di Teheran, ia juga ditemani pemimpin Jihad Islam Palestina, Ziyad al-Nakhalah, yang menginap di kamar sebelahnya.

Wisma tempat mereka menginap merupakan properti yang dikelola Korps Garda Revolusi Islam (IRGC). Berada di perbukitan utara Teheran yang dikelilingi pepohonan tinggi, membuat siapapun yang tinggal akan merasa aman. Lokasi ini merupakan salah satu wisma favorit Haniyeh setiap ia mengunjungi Teheran.

Sepuluh menit kemudian lampu kamar dimatikan. Kilasan masa lalu melintas di benaknya. Dari seorang pemuda penuh semangat di Jalur Gaza, ia menjelma menjadi pemimpin perlawanan Palestina yang disegani.

Perjuangan penuh liku telah mengukir garis-garis tegas di wajahnya. Ingatannya melayang pada saat-saat manis menjadi orang kepercayaan Syekh Ahmad Yassin, juga kenangan bersama keluarganya, pada saat-saat menegangkan memimpin rapat darurat Hamas, dan pada saat-saat haru ketika melihat bendera Palestina berkibar di langit Gaza.

Tujuh menit berikutnya, sebuah ledakan keras terjadi berasal dari sebuah bahan peledak yang tertanam di bawah tempat tidurnya. Jendela kamar beserta dinding tembok luar hancur. Ismail Haniyeh tewas seketika.

Di luar kamar, salah satu pengawalnya, Wasim Abu Shaaban, terluka parah. Pendarahannya mengerikan hingga membuat nyawanya tidak tertolong saat tim medis dan Otoritas Keamanan Iran tiba beberapa jam sebelum azan subuh berkumandang.

Biro Mentor Syekh Ahmad Yassin

Semasa hidupnya, Ismail Haniyeh sering kali menyatakan komitmennya untuk melanjutkan perlawanan terhadap pendudukan Israel, meskipun ia juga pernah menyatakan pentingnya upaya diplomatik untuk menyelesaikan konflik.

Ia terlibat dalam berbagai negosiasi, baik di tingkat domestik dengan faksi-faksi Palestina lain selain Fatah, maupun dengan negara-negara seperti Mesir dan Qatar. Tujuan utamanya adalah untuk mengakhiri blokade Gaza, melegitimasi kebijakan Hamas, dan menjalin aliansi dengan negara-negara lain, seperti Iran, Lebanon, dan Yaman.

Aliansi terakhir ini, sebagaimana dikutip Washington Post sebagai grup “Sumbu Perlawanan”, yang mencakup Houthi dan Hizbullah.

Sehari sebelum Haniyeh tewas, Israel melancarkan serangan udara mematikan di dekat Beirut, yang menargetkan seorang pejabat senior Hizbullah sebagai balasan atas serangan roket di Dataran Tinggi Golan.

Serangan udara tersebut mengakibatkan tewasnya komandan Hizbullah, Fuad Shukr, dan sedikitnya tiga warga sipil, sementara 74 lainnya terluka di pinggiran kota Beirut yang padat penduduk.

Eskalasi konflik antara Israel dan Hizbullah, bersama dengan serangan militer yang sedang berlangsung terhadap Hamas, membuat mimpi perdamaian kian pudar.

Dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan AS, serangan Israel di Beirut akhirnya memaksa Haniyeh mengurungkan niatnya mengakhiri perlawanan Hamas terhadap Israel yang telah berlangsung selama 10 bulan terakhir di Gaza.

Lahir di kamp pengungsi Al-Shati di selatan Gaza pada 1962 dengan nama Ismail Abdul Salam Ahmad Haniyeh, ia tahu betul penderitaan yang dirasakan rakyat Palestina. Kedua orang tuanya bahkan menjadi korban pengusiran dari kampung halaman mereka di al-Majdal Asqalan, Ashkelon—wilayah yang kini menjadi bagian dari Israel selatan—saat persitiwa Nakba terjadi di tahun 1948.

Hingga remajanya tahun 1987, ia telah menyelesaikan studi dalam bidang sastra Arab di Universitas Islam Gaza. Tahun itu juga bersamaan dengan gerakan Intifada Pertama, di mana pada tahun-tahun sebelumnya, Haniyeh aktif dalam aktivitas remaja Ikhwanul Muslim cabang Palestina sejak tahun 1983.

Dua tahun berikutnya, ia terpilih menjadi Dewan Mahasiswa Islam hingga tahun 1986. Pada 10 Desember 1987, lembaga tersebut kemudian berubah menjadi Harakat al-Muqawama al-Islamiya atau Hamas.

Upaya Pembunuhan

Masa mudanya banyak dihabiskan dengan aktivitas perlawanan yang menyebabkan tiga kali keluar masuk penjara pada akhir 1980-an. Pada 1988, selama enam bulan ia mendekam di penjara Israel akibat Intifada Pertama. Saat itu Hamas sedang mengalami perkembangan pesat.

Setelah kembali dipenjara selama tiga tahun pada 1989, bersama para pemimpin Hamas dan 400 tahanan lainnya, ia diusir ke Lebanon selatan pada Desember 1992.

Haniyeh membedakan upaya politik dari kompromi. Dalam beberapa kesempatan ia kerap menentang upaya diplomatik apa pun demi memulihkan hak-hak Palestina.

Warsa 1993 ia kembali ke Gaza dan menentang habis-habisan Perjanjian Oslo. Ia menilai perjanjian tersebut gagal mewujudkan tujuan utama Palestina dan justru memperkuat pendudukan Israel. Ia menerima Palestina sesuai mandat tahun 1967 dengan Yesrusalem sebagai ibu kotanya.

Haniyeh berargumen bahwa proses yang dihasilkan dari perjanjian Oslo tidak mengantarkan pada kemerdekaan dan keadilan bagi rakyat Palestina, dan menyerukan perlunya pendekatan baru dalam perlawanan terhadap pendudukan Israel.

“Tujuan kami jelas: kami ingin membebaskan tanah kami, tempat suci kami, masjid Al-Aqsa, tahanan kami. Kami tidak ragu-ragu mengenai hal ini,” tukasnya berapi-api dalam sebuah pidato pasca 7 Oktober seperti dilansir Middle East Monitor.

Ia lalu mulai dekat dengan pemimpin Hamas, Syekh Ahmad Yassin, dan mengangkatnya menjadi asisten pribadi. Usai Intifada Kedua meletus pada 2001, ia menjadi pejabat tinggi ketiga dalam struktur organisasi Hamas di bawah Syekh Ahmad Yassin dan Abdul Aziz al-Rantisi.

Usai berseteru dengan Mahmoud Abbas, ia pindah ke Qatar, mendirikan kantor perwakilan Hamas, dan mulai menetap pada 2019. Sejak itu, AS mulai menjulukinya sebagai “A Specially Designated Global Terrorist”.

Berbagai upaya pembunuhan mulai mengarah, termasuk kepada anggota keluarganya. Pada September 2003, ia bertamu ke rumah Syekh Ahmad Yassin, bom Israel mendarat. Beruntung keduanya selamat, namun enam bulan kemudian Israel berhasil membunuh Syekh Ahmad Yassin.

Kerabat dan keluarganya juga terbunuh sepanjang Oktober dan November 2003. Tercatat lebih dari dua puluh keluarganya yang tewas, sebagian rumahnya hancur karena serangan udara Israel. Pada pertengahan April 2024, tiga putra dan tiga cucunya tewas di Jalur Gaza, lagi-lagi akibat serangan udara Zionis.

Ismail Haniyeh terpilih sebagai kepala Politik Biro Hamas untuk kedua kalinya pada 2021. Sebelumnya pada 6 Mei 2017 ia menjabat posisi tersebut usai menggantikan Khaled Mashaal.

Negosiator Ulung

Kunjungannya ke Teheran beberapa waktu lalu merupakan akhir dari perjalanan panjang Ismail Haniyeh sebagai negosiator ulung. Ia tengah mengupayakan gencatan senjata dengan Israel, termasuk langkahnya menyatukan Fatah dan Hamas dalam mengelola pemerintahan Palestina di masa depan.

Pada 24 Juli, Haniyeh mengutus Mussa Abu Marzuk untuk menandatangani deklarasi bersama Fatah yang diwakili Mahmoud al-Aloul dalam pembentukan "pemerintahan rekonsiliasi nasional" sementara untuk Tepi Barat dan Gaza dalam pertemuan yang dimediasi oleh Cina.

Hamas dan Fatah berjanji untuk mencapai persatuan setelah perundingan di Beijing. Dalam pandangan Haniyehh, ini adalah kesepakatan rekonsiliasi terbaru, namun belum pasti mengakhiri perpecahan.

Ia teringat bagaimana Hamas memenangkan pemilihan legislatif pada tahun 2006. Pemilu ini berlangsung setelah pemilihan sebelumnya pada tahun 1996 dan merupakan pemilu pertama yang diadakan di bawah pengawasan internasional setelah perjanjian Oslo.

Dalam pemilihan yang berlangsung pada 25 Januari tersebut, Partai Hamas berhasil meraih kemenangan signifikan dengan mendapatkan 74 dari 132 kursi di Dewan Legislatif Palestina, sedangkan partai Fatah hanya memperoleh 45 kursi.

Dua bulan berikutnya, Haniyeh diangkat menjadi Perdana Menteri Palestina hingga Januari 2014 dan makin dikenal sebagai tokoh kunci dalam pemerintahan di wilayah tersebut.

Infografik Mozaik Ismail Haniyeh

Infografik Mozaik Ismail Haniyeh. tirto.id/Ecun

Kemenangannya kala itu menyebabkan ketegangan dan beberapa kali terlibat konflik dengan Partai Fatah yang dipimpin oleh Mahmoud Abbas, dan setelah kekerasan antara dua kelompok pada tahun 2007, Hamas mengambil alih kendali Gaza.

Dia bertanggung jawab atas kebijakan domestik dan hubungan internasional Hamas, termasuk negosiasi dengan faksi-faksi Palestina lainnya dalam upaya memperbaiki kondisi kemanusiaan di Gaza.

Deklarasi Beijing menjadi catatan upaya terakhir Haniyeh menyatukan kembali Hamas dan Fatah. Deklarasi ini merupakan ekspresi niat, dengan hambatan besar dalam pelaksanaannya.

Israel menolak deklarasi Beijing dan menyatakan bahwa kekuasaan Hamas akan segera hancur.

Haniyeh dianggap sebagai salah satu pemimpin kunci dalam perlawanan terhadap Israel, dan ia telah lama diincar sebagai target yang harus dihabisi. Meskipun tidak ada pihak yang secara langsung mengaku bertanggung jawab, banyak analisis dan laporan menduga bahwa Israel bertanggung jawab atas serangan tersebut.

Hamas dan pejabat Iran mengonfirmasi kematian Haniyeh, yang mereka gambarkan sebagai "tindakan pengecut". Tetapi di sisi lain, kematiannya di ibu kota Iran menimbulkan pertanyaan tentang keamanan Iran dan dianggap sebagai pukulan telak bagi aparat keamanan Iran dalam mengekspos kerentanan serta penetrasi intelijen asing di wilayahnya.

Di Lusail, Qatar, pada 2 Agustus 2024, Ismail Haniyeh dihormati oleh ribuan orang, termasuk tokoh-tokoh Hamas dan Fatah yang menghadiri pemakamannya. Turki dan Pakistan juga mengumumkan hari berkabung untuk menghormati pemimpin yang telah berjuang untuk hak-hak Palestina ini. Bendera merah dengan tulisan "Ya la-Tharat al-Hussein" dikibarkan di Iran sebagai simbol balas dendam terhadap Israel.

Ismail Haniyeh dikenang sebagai seorang pemimpin yang berkomitmen pada perjuangan Palestina dan diplomasi, serta sebagai sosok yang berperan penting dalam pergerakan Hamas di tengah konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah.

Yahya Sinwar lantas ditunjuk Hamas untuk menggantikan posisinya.

Baca juga artikel terkait PEMIMPIN HAMAS atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Politik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi