tirto.id - Ratusan warga Gaza menggali batu untuk dijual di wilayah perbatasan Palestina dan Mesir pada pertengahan Agustus 2010. Sebagian besar adalah remaja yang menjadi tulang punggung keluarga.
Mereka mengangkat batu setebal 60 sentimeter, lalu memecahkan, dan mengumpulkannya sebanyak mungkin untuk dijual di pasar gelap. Karena kelangkaan bahan konstruksi, harga batu jadi meningkat.
Saat itu, pasar gelap di Gaza untuk bahan-bahan bangunan mengalami peningkatan meskipun pasokan untuk proyek-proyek yang diprakrasai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sangat terbatas.
Batu-batu yang digali berasal dari puing-puing dan aspal bekas Bandara Internasional Gaza di dekat Rafah. Pada tahun 2000, serangan udara Israel menghancurkan sebagian besar bangunan bandara.
Bangunan utama, landasan pacu, dan fasilitas pendukung lainnya rusak parah. Bandara yang juga dikenal sebagai Yasser Arafat International Airport itu terlantar dan ditinggalkan, tidak lagi berfungsi sebagai pintu gerbang udara bagi Gaza.
Langkah Besar Menuju Kemerdekaan
"Landasan pacu yang dibangun dalam 45 hari dengan semangat dan harapan, sekarang menjadi tumpukan pasir. Anda bahkan tidak dapat membayangkan bahwa sebuah pesawat pernah mendarat di sana," tulis Hind Khoudary dalam kolomnya "Gaza Airport: The Legacy of a Palestinian Dream".
Ia masih berusia lima bulan saat ayahnya, Usama el-Khoudary, memenangkan tender untuk membangun landasan pacu dan area parkir pesawat di Bandara Internasional Gaza, Palestina.
Ayahnya tampak bahagia saat pengumuman itu disampaikan. Ia bahkan mengajukan penawaran dengan harga rendah dalam proposalnya, sesuatu yang tidak menguntungkan baginya secara finansial.
Baginya, yang penting adalah menjadi bagian dari pembangunan Bandara Internasional Gaza, ia ingin menjadi bagian dari sejarah.
Usama lalu bekerja sama dengan perusahaan aspal dan paving NORCO yang merupakan satu-satunya perusahaan aspal di Gaza saat itu. Pekerjaan dimulai pada awal tahun 1996, melibatkan 150 pekerja dan berhasil menyelesaikan landasan pacu hanya dalam waktu 45 hari, separuh dari waktu yang diperkirakan.
Mereka bekerja keras selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, meskipun Israel mencoba menghalangi pembangunan bandara dengan memblokir material dan menghambat akses kendaraan ke lokasi proyek.
Menghabiskan dana 86 juta dolar yang dikumpulkan dari negara donor internasional seperti Arab Saudi, Mesir, Jepang, Jerman, dan Spanyol, bandara ini memiliki desain gaya oriental dengan ubin yang tertata rumit dari Maroko.
Ia memiliki satu terminal penumpang, ruang VIP, dan landasan pacu sepanjang tiga kilometer. Sedangkan desain kubah emasnya merupakan penghormatan akan keberadaan Masjid Dome of Rock di Yerusalem.
Setelah pembangunan selesai, Bandara Internasional Gaza dibuka secara resmi pada 24 November 1998 yang dihadiri Pemimpin Palestina Yasser Arafat dan Presiden AS Bill Clinton.
Palestine Airlines yang didirikan pada 1996, dengan armada kecil Boeing 727, memulai penerbangan pertamanya pada 5 Desember 1998.
Kapten Jamal Al-How tercatat sebagai orang pertama yang mengangkut pesawat berkapasitas 48 kursi itu. Bercat warna bendera nasional Palestina, ia berhasil lepas landas, memutar jauh untuk menghindari wilayah udara Israel, menuju Amman, Yordania.
"Pada momen bersejarah ini, lepas landas untuk pertama kalinya dalam sejarah dari bandara Palestina, semua bahasa di dunia tidak dapat mengekspresikan kebanggaan dan kegembiraan saya," ujarnya seperti dikutip New York Times edisi 7 Desember 1998.
Penerbangan Palestine Airlines berikutnya dilanjutkan menuju Kairo dan Rabat.
Sebelum Bandara Internasional Gaza hadir, warga Palestina yang ingin terbang ke luar negeri memerlukan izin untuk masuk ke Israel dan terbang keluar melalui Bandara Internasional Ben Gurion dekat Tel Aviv.
Namun tentu saja Israel jarang memberikan izin. Ini memaksa warga Palestina melakukan perjalanan melalui jalur darat ke Mesir atau Yordania untuk mengejar penerbangan.
Sayangnya tidak semua fasilitas bandara beroperasi penuh. Beberapa jam sebelum penerbangan pertama misalnya, menara kendali masih tanpa kendali, konter check-in tidak memiliki komputer dan landasan pacu tidak memiliki lampu sorot untuk pendaratan malam hari.
Terlepas dari kekurangannya, banyak warga Palestina menganggap bandara ini sebagai langkah besar menuju kemerdekaan. Menjadi simbol identitas Palestina yang dibangun di wilayah terkepung.
Mereka bangga bisa terbang dari Gaza karena dapat menghindari interogasi dan pemeriksaan keamanan Israel. Mereka juga merasakan martabat dan titik perubahan dalam hidup karena dapat berangkat ke dunia luar seperti halnya orang lain di berbagai belahan dunia.
Bagian dari Perjanjian Oslo
Penerbangan dihentikan pada tahun 2000 setelah meningkatnya ketegangan antara Israel dan Palestina selama Intifada Kedua. Bandara ini kemudian dihancurkan oleh pasukan Israel.
Bandara Internasional Gaza dibangun sebagai bagian dari Perjanjian Oslo yang ditandatangani oleh Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada tahun 1993 dan 1995.
Perjanjian ini bertujuan untuk membangun perdamaian di Timur Tengah dengan mengakui negara Israel dan mengizinkan pemerintahan mandiri yang terbatas bagi warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.
Namun, Perjanjian Oslo tidak menghasilkan perdamaian abadi. Negosiasi dipengaruhi oleh Perjanjian Camp David dan melibatkan pengakuan atas legitimasi masing-masing pihak.
Perjanjian Oslo I membentuk Dewan Legislatif Palestina dan penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza. Sementara Perjanjian Oslo II membahas pemerintahan masa depan Yerusalem, perbatasan, keamanan, dan hak-hak pemukiman di Tepi Barat.
Dalam perjanjian ini, disepakati pula bahwa Palestina akan memiliki kendali otonomi akan ruang udara di Jalur Gaza—bersama-sama dalam kontrol Israel, sehingga memungkinkan untuk pembangunan bandara bertaraf internasional.
Yasser Arafat menginisiasi pembangunan bandara itu pada tahun 1994 dan menetapkan lokasi di lahan 1100 hektare antara Dahaniya dan Rafah, tak jauh dari perbatasan Mesir.
Setelah kedua Perjanjian Oslo, berbagai permasalahan muncul, termasuk Israel yang tidak menindaklanjuti penarikan pasukan dan memancing atas meningkatnya kekerasan yang akhirnya melahirkan gerakan Intifada Kedua pada bulan September 2000.
Negosiasi selanjutnya gagal, dan Perjanjian Oslo belum menghasilkan perdamaian yang komprehensif. Beberapa ketentuan tetap ada, namun banyak pula yang ditinggalkan.
Masa Depan Bandara yang Suram
Israel mengizinkan pembukaan Bandara Internasional Gaza pada tahun 1998 dengan kebimbangan, khususnya kekhawatiran mengenai dampak keamanan dan implikasi politik.
Mereka khawatir bandara digunakan untuk mengirimkan senjata ke Otoritas Palestina dan dapat digunakan sebagai bukti kemajuan menuju negara Palestina.
Pihak Otoritas Palestina mersepons kekhawatiran berlebihan Israel itu dengan menekankan sisi positif keberadaan bandara, seperti penerbangan komersial reguler Palestina ke Kairo, Amman, dan Jeddah, yang dapat membawa dampak ekonomi.
Laetitia Bucaille dalam buku Growing Up Palestinian: Israeli Occupation and the Intifada Generation (2006:90) menilai kekhawatiran itu yang akhirnya membuat Israel memperketat kontrol terhadap Bandara Internasional Gaza beberapa minggu kemudian.
"Namun, bukannya menawarkan warga Palestina sarana untuk melaksanakan kedaulatan mereka, hal ini justru menegaskan subjugasi mereka kepada Israel, yang angkatan bersenjatanya bertanggung jawab atas keamanan di sana,” tulis Bucaille.
Menurut Bucaille, di Jembatan Allenby (antara Tepi Barat dan Yordania) dan di Rafah (antara Jalur Gaza dan Mesir), pasukan Israel adalah pihak yang memegang kendali. Sedangkan pasukan keamanan Palestina yang memeriksa surat-surat penumpang berada di sana hanya untuk menyelamatkan muka.
Bandara ini ditutup beberapa kali selama Intifada Kedua sebelum lalu lintas udara komersial dilarang sepenuhnya pada bulan Februari 2001.
Stasiun radar dan menara kendali dihancurkan Israel pada bulan Desember 2001 mengakibatkan bandara tidak dapat dioperasikan. Mereka juga mengirim buldoser lapis baja untuk menghancurkan lapisan bandara menjadi 17 bagian.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengutuk serangan terhadap bandara tersebut pada Maret 2002.
Setelah intifada berakhir, Israel dan Otoritas Palestina menandatangani perjanjian pada November 2005 yang mengakui pentingnya bandara tersebut. Namun diskusi mengenai pembukaan kembali bandara belum terjadi sejak Hamas membentuk pemerintahan di Jalur Gaza pada Juni 2007.
Palestina berharap rencana penarikan Israel dari Gaza akan mengarah pada pembukaan dan pembangunan kembali bandara tersebut, namun Israel memandang pelabuhan laut lebih penting bagi perekonomian Palestina.
"Bandara tidak berkontribusi pada Ekonomi Palestina," ujar juru bicara Kementerian Pertahanan Israel, Shlomo Dror kepada NBC.
Jalur Gaza kini masih diblokade Israel sejak tahun 2007, sehingga impian memiliki bandara baru sulit terwujud.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi