Menuju konten utama
Ulasan Buku

Syuhada dan Identitas Kebangsaan Palestina

Beragam ideologi dan gerakan memberi warna nasionalisme untuk Palestina. 

Syuhada dan Identitas Kebangsaan Palestina
Buku "Heroes and Martyrs in Palestine". FOTO/Istimewa

tirto.id - Bagaimana Palestina menjadi “bangsa”? Apakah ia menjadi bangsa karena sekumpulan orang Palestina, beserta adat-istiadatnya, sudah tinggal di kawasan Timur Tengah selama berabad-abad? Ataukah Palestina baru menjadi bangsa seiring didirikannya negara bernama Israel pada 1948 di atas tanah warga Arab?

Satu pertanyaan yang kerapkali muncul dalam diskusi politik abad 20 adalah apa pijakan terbentuknya sebuah bangsa. Kesamaan bahasa dan etnisitas adalah dua macam jawaban klasik—dan paling problematis—yang paling sering dirujuk untuk menamai tumbuhnya nasionalisme di negara-negara Eropa pada paruh kedua abad ke-19 yang kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan nasionalis di Dunia Ketiga.

Jawaban lainnya mengacu pada respons terhadap kolonisasi Eropa, beserta pelbagai corak perjuangan sosial yang menyertainya—termasuk anti-kapitalisme dan anti-feodalisme, sebagaimana yang jamak terjadi di Asia dan Afrika. Dus, bangsa Indonesia pun tidak pernah benar-benar eksis tanpa pengalaman eksploitasi Belanda selama ratusan tahun.

Tapi dalam praktiknya, seringkali sebuah bangsa terbentuk setelah atau bersamaan dengan pendirian suatu negara. Dalam Imagined Communities (1990:6) ilmuwan politik Benedict Anderson menyatakan, "sebuah bangsa dibedakan bukan berdasarkan kepalsuan/keasliannya, tetapi dari cara di mana mereka dibayangkan."

Di sinilah karya Laleh Khalili, Heroes and Martyrs of Palestine: The Politics of National Commemoration (2007), menjadi penting untuk dibaca. Khalili, profesor kajian politik Timur Tengah di SOAS, University of London, tidak berangkat dari klaim-klaim esensial tentang kebangsaan Palestina. Ia memilih membaca nasionalisme Palestina melalui ekspresi-ekspresi populer, khususnya yang dibangun oleh kelompok-kelompok perlawanan.

Sejak 1948, identitas rakyat Palestina terbangun dari cerita-cerita berdirinya Israel dan cerita-cerita tentang pengusiran warga Arab serta kerinduan pulang ke kampung halaman. Inilah bangsa yang identitasnya tersusun dari kisah hidup di kamp-kamp pengungsian dan pemukiman kumuh di Lebanon, Yordania, dan sekitarnya.

Sejak 1998 hingga hari ini, tiap tanggal 15 Mei orang Palestina memperingati Nakhba—yang di Israel merupakan hari kemerdekaan, serta pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatilla di Lebanon yang menewaskan pengungsi Palestina dan warga Syiah setempat dalam perang sipil pada 1982. Adapun para martir (syuhada) diperingati oleh beragam kelompok militan, dari yang beraliran nasionalis, komunis, dan Islamis.

Warga Palestina kebanyakan memperingati berbagai peristiwa, benda, dan manusia. Pohon zaitun, rumah batu yang dibangun di desa-desa, jeruk, serta gaun bersulam menjadi ikon nasionalisme keseharian warga Palestina yang mengacu pada imajinasi kehidupan kolektif pra-pendudukan Israel. Ikon-ikon ini memperoleh makna politisnya ketika gerakan nasionalis Palestina bangkit pada 1960an.

Namun, imajinasi bangsa tidak hanya selesai pada peringatan tragedi dan fantasi masa lalu. Yang menonjol—dan paling terkenal hingga kini—adalah mitologisasi martir. Ideologi dan metode perjuangan kelompok-kelompok militan Palestina kemudian mempengaruhi bangunan bangsa-pengungsi-pemberontak ini melekat dalam identitas Palestina, sebagaimana orang Indonesia kebanyakan mengingat bambu runcing ketika membayangkan perjuangan anti-kolonialisme pada 1945-1949.

infografik membaca pahlawan dan martir palestina

Gagasan-gagasan transnasional juga berperan besar. Pada tahun 1960an, wacana Kiri dunia ketiga yang dipopulerkan oleh Fidel Castro dan Mao Zedong masuk ke Timur Tengah dan memberi corak internasionalis pada gerakan kemerdekaan Palestina, menghubungkannya dengan gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan dan gerilyawan Vietkong di Asia Tenggara.

Tak hanya itu, idiom-idiom kultural pun diserap. Partai-partai kiri di Palestina, misalnya, mempropagandakan perlawanan melalui poster laki-laki berkafiyeh yang memegang senapan dengan latar belakang merah tiba-tiba mudah ditemui di dinding-dinding kota, berikut foto-foto militan yang tewas dalam operasi bersenjata atau dibunuh oleh pasukan musuh. Popularisasi kafiyeh dari Palestina ke seluruh dunia, termasuk di kalangan progresif Eropa dan Amerika, berasal dari periode ini.

Bersamaan dengan itu, kaum nasionalis seperti Fatah menyumbang tradisi lagu-lagu heroik untuk memperingati martir-martir mereka dalam upacara pemakaman. Sosok gerilyawan laki-laki kemudian diadopsi menjadi ikon nasionalis dan jika meninggal dikekalkan sebagai fida’yi (pejuang). Citra pejuang inilah yang kemudian diartikulasikan sebagai syahid dan diekspor ke negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim ketika gerakan Islamis seperti Hamas mendominasi gerakan perlawanan Palestina.

Pengarusutamaan politik kemanusiaan yang dilakukan oleh LSM-LSM juga turut mengamplifikasi isu Palestina dan memberi corak tersendiri. Palestina, yang sempat populer dengan imaji martir dan gerilyawan, sejak 1980an identik dengan kamp pengungsian dan foto anak-anak yang menjadi korban agresi militer Israel. Namun pada gilirannya, imaji korban ini lantas diserap oleh kampanye-kampanye gerakan Islamis di berbagai tempat dan menjadikan Palestina suatu simbol penderitaan kaum muslim seluruh dunia.

Heroes and Martyrs tidak hanya mempelajari persepsi sebuah masyarakat mengenai diri dan lingkungannya, melainkan juga dinamika konstruksi politik bernama bangsa yang kita tangkap dalam kapasitas orang luar sebagai efek perjuangan pelbagai kelompok di Palestina.

Sejarah Palestina kemudian menjadi sebuah “laboratorium bangsa” yang unik di mana arus nasionalisme Dunia Ketiga, perjuangan penentuan nasib (self-determination), Islamisme, dan humanitarianisme saling berkompetisi dan berdampak luas pada dunia.

Baca juga artikel terkait PALESTINA atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani