Menuju konten utama
Mozaik

Pan-Arabisme, Warna Bendera, dan Persatuan Arab yang Terus Koyak

Semangat persatuan di kalangan bangsa Arab sempat tumbuh kala memberontak terhadap Turki Ottoman. Namun kiwari rajutan persatuan itu terus terkoyak.  

Pan-Arabisme, Warna Bendera, dan Persatuan Arab yang Terus Koyak
Header Mozaik Bendera Pan Arab. tirto.id/Ecun

tirto.id - Pan-Arabisme merupakan gerakan politik dan sosial untuk menyatukan seluruh dunia Arab di bawah satu entitas politik. Juga membangun solidaritas dan kesatuan di antara bangsa Arab yang tersebar di berbagai wilayah. Salah satu peristiwa penting dalam sejarah gerakan ini adalah Pemberontakan Arab 1916 terhadap Turki Ottoman.

Pemberontakan Arab memiliki implikasi yang penting bagi sejarah Timur Tengah. Ia membantu menciptakan kesadaran nasionalisme Arab dan menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada runtuhnya Kekaisaran Ottoman.

Namun, pemberontakan ini juga menyebabkan pembagian wilayah Arab yang berdampak pada konflik di Timur Tengah hingga saat ini.

Akar Pan-Arabisme

Asal-usul Pan-Arabisme dapat ditelusuri kembali pada gerakan Nahda (Arab Renaissance) yang berakar pada akhir abad ke-19. Kebangkitan intelektual dan budaya ini menggarisbawahi pentingnya identitas Arab yang mempersatukan bahasa dan warisan Arab sebagai elemen pemersatu.

Nahda secara harfiah berarti "kebangkitan". Gerakan ini tidak hanya berfokus pada pengembangan intelektual dan budaya, tetapi juga politik.

Para pemimpin gerakan percaya bahwa pembaruan budaya akan membawa perubahan sosial dan politik yang lebih luas. Mereka ingin melihat bangkitnya persatuan Arab yang kuat untuk melawan penjajahan Eropa.

Gerakan ini dipimpin oleh sejumlah tokoh intelektual seperti Rifa'a al-Tahtawi dari Mesir, Jamaluddin al-Afghani dari Iran, dan Muhammad Abduh dari Mesir. Mereka mengkritik keadaan sosial dan politik di dunia Arab yang dianggap terbelakang dan korup. Lalu ada sosok Jurji Zaidan yang dianggap sebagai sosok yang menyusun cerita sejarah berbahasa Arab.

Mereka juga mengadvokasi hak-hak perempuan dan menentang praktik-praktik yang merugikan perempuan seperti pembatasan hak-hak perempuan dalam perceraian.

Pada awal abad ke-20, dunia Arab terus menderita akibat intervensi bangsa Eropa dan penarikan perbatasan setelah Perang Dunia I, yang berujung pada perpecahan dan sektarianisme.

Gerakan Nahda berhasil menciptakan kesadaran nasionalisme di dunia Arab dan memperkuat identitas Arab. Pan-Arabisme kemudian muncul sebagai gerakan anti-imperialis yang menyerukan solidaritas Arab untuk melawan dominasi asing.

Gerakan ini juga menjadi cikal bakal munculnya gerakan-gerakan kebangkitan lainnya di dunia Arab seperti lahirnya Kongres Arab tahun 1913 dan Pemberontakan Arab terhadap Turki Ottoman pada 1916.

Partai Ba’ath yang menganut Arab-Sosialis lahir dari gerakan nasionalisme Arab setelah kerusuhan terjadi di Palestina dan Suriah sepanjang tahun 1936 hingga 1939.

Pan-Arabisme mencapai puncaknya pada tahun 1950-an dan 1960-an, khususnya di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir saat itu. Nasser memperjuangkan gagasan persatuan Arab dan menentang pengaruh Barat di wilayah tersebut.

Ia juga memainkan peran penting dalam pembentukan Republik Persatuan Arab, persatuan antara Mesir dan Suriah yang berlangsung dari tahun 1958 hingga 1961.

Namun, Pan-Arabisme mengalami kemunduran setelah kekalahan Arab dalam Perang Enam Hari melawan Israel tahun 1967. Kekalahan ini menimbulkan keraguan terhadap efektivitas Pan-Arabisme dan menyebabkan perpecahan di antara negara-negara Arab.

Saddam Hussein adalah pendukung kuat Pan-Arabisme selama pemerintahannya dari tahun 1979 hingga 2003. Ia berupaya menjadikan Irak sebagai negara Arab terkemuka dan pusat persatuan Arab.

Dia mendukung gerakan nasionalis Arab dan memberikan bantuan keuangan dan militer ke negara-negara Arab seperti Suriah dan Palestina. Meskipun beberapa negara Arab menyambut baik upayanya, negara-negara lain memandangnya sebagai kekuatan yang mengganggu stabilitas kawasan.

Invasinya ke Kuwait pada tahun 1990, misalnya, menimbulkan kecaman internasional dan intervensi militer oleh koalisi negara-negara Arab dan Barat.

Melawan Ottoman dan Pengkhianatan Inggris

Pemberontakan Arab terhadap Ottoman dipimpin oleh Syarif Husein bin Ali, kepala suku Bani Hasyim. Ia penjaga spiritual kota suci Makkah dan Madinah.

Kala itu, Kekaisaran Ottoman sedang mengalami kemunduran yang signifikan. Syarif Husein melihat kesempatan ini untuk memperjuangkan kemerdekaan Arab dan mendirikan negara Arab yang merdeka di wilayah-wilayah yang diduduki oleh Ottoman.

Pemberontakan dimulai pada tahun 1916 saat Syarif Husein menyatakan dukungan Arab terhadap Inggris dalam Perang Dunia I (1914-1918) melawan Kekaisaran Ottoman.

Yon Machmudi dalam buku Timur Tengah dalam Sorotan: Dinamika Timur Tengah dalam Perspektif Indonesia (2020:3) menyebut hubungan Arab dan Inggris bermula dari korespondensi antara Komisioner Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon, dan Syarif Husein sepanjang bulan Juli 1915 hingga Maret 1916.

"Surat-surat ini berisikan kesediaan para elite Arab untuk membantu Inggris dalam perang melawan Turki Usmani dengan catatan setelah Turki Usmani dapat dikalahkan, bangsa Arab dapat diberi kemerdekaan penuh," tuturnya.

Syarif Husein menjadi sekutu Inggris untuk melawan persepsi sebagai agen penting di Timur Tengah. Ia berhubungan dengan T.E Lawrence, seorang perwira junior Inggris yang dikenal sebagai Lawrence of Arabia, dan membuat berbagai skenario dengan mengidentifikasi Raja Faisal, anak Husein, sebagai tokoh yang dibutuhkan untuk pemberontakan.

Selama Perang Dunia I, Lawrence bekerja sebagai intelijen Inggris di Kairo, Mesir, dan kemudian bergabung dengan pasukan Arab untuk berperang melawan Kekaisaran Ottoman.

Lawrence lalu menjadi letnan terpercaya Raja Faisal yang kelak menjadi Raja Irak dan berkontribusi dalam memahami taktik perang unik di Arab. Dia mengeluarkan segala pengetahuannya tentang struktur kesukuan di Arab dan sejarah militer abad pertengahan. Ia juga memahami kompleksitas aliansi suku, memahami pentingnya sumber daya strategis seperti air dan makanan ternak.

Pemberontakan Arab terhadap Ottoman berlangsung selama beberapa tahun dengan pertempuran-pertempuran yang sengit. Pada akhirnya, pasukan Arab berhasil merebut beberapa wilayah dari Ottoman, termasuk kota-kota seperti Makkah, Madinah, Damaskus, dan Aleppo.

Namun, setelah perang berakhir, janji kemerdekaan Arab oleh Inggris tidak sepenuhnya terpenuhi. Sifat korespondensi yang ambigu, ditambah dengan negosiasi rahasia dan konflik kepentingan, mengakibatkan pencapaian negara-negara Arab kurang dari yang mereka perkirakan.

Inggris dan Prancis secara rahasia menentukan batas-batas sendiri wilayah yang akan mereka kuasai dari bekas jajahan Kerajaan Ottoman lewat Perjanjian Sykes-Picot pada bulan Mei 1916.

Perjanjian ini menguraikan berbagai wilayah dan pelabuhan yang akan berada di bawah kendali Prancis atau Inggris, serta ketentuan perdagangan dan transportasi. Dinyatakan juga bahwa wilayah Arab akan dilindungi dari pengambilalihan oleh negara lain. Langkah-langkah untuk mengendalikan impor senjata ke wilayah Arab juga dibahas.

Sebaliknya, wilayah-wilayah Arab justru dibagi-bagi, dengan beberapa wilayah Suriah dan Lebanon dikuasai oleh Prancis, sementara dilayah Irak dan Palestina dicaplok oleh Inggris.

Hal ini diperparah dengan lahirnya Deklarasi Balfour pada 2 November 1917 yang mendukung pendirian rumah nasional Yahudi di Palestina. Deklarasi ini disampaikan melalui surat Menteri Luar Negeri Inggris kepada seorang pemimpin komunitas Anglo-Yahudi.

Deklarasi tersebut sangat bertentangan dengan perjanjian Sykes-Picot, serta korespondensi antara Sir Henry McMahon dengan Syarif Husein, khususnya terkait Palestina, di mana negara-negara Arab tidak mencapai apa yang mereka harapkan.

Bendera Persatuan Bangsa Arab

Bendera Pemberontakan Arab melambangkan peradaban bangsa Arab dan Muslim yang mengakar dan telah diadopsi menjadi bendera negara-negara di Teluk Arab. Di antara negara-negara Liga Arab, 10 negara memiliki warna bendera yang sama, sementara negara lainnya menggunakan simbol Islam yang mewakili kekhasan ideologi dan identitas.

Perancang bendera tersebut ialah seorang Inggris bernama Sir Mark Sykes. Dia menulis buku pertamanya, Dur-ul-Islam, pada usia 25 tahun. Ia merancang bendera Pemberontakan Arab yang berpengaruh dalam dunia veksilologi.

Bendera tersebut melambangkan persatuan dan harapan masyarakat Arab untuk kesatuan wilayah yang saat ini meliputi Suriah, Lebanon, Israel, Palestina, dan Yordania. Begitu juga warnanya yang mewakili berbagai aspek identitas dan sejarah Arab.

Bendera ini terdiri dari tiga warna horizontal, yakni hitam, hijau, dan putih, serta warna segitiga merah. Garis hitam melambangkan Dinasti Abbasiyah, garis hijau melambangkan Dinasti Fatimiyah, garis putih melambangkan Dinasti Umayyah, ketiganya merupakan pilar sejarah Arab. Dan warna segitiga merah melambangkan Dinasti Hasyim, melengkapi citra bendera yang kuat.

Bendera ini digunakan oleh pasukan Pemberontakan Arab selama perjuangan kemerdekaan. Setelah perang, bendera tersebut terus melambangkan persatuan Arab dan kerinduan akan penentuan nasib sendiri.

Hal ini dianut oleh beberapa negara Arab yang baru merdeka, termasuk Yordania, Irak, dan Suriah. Di susul kemudian diadopsi oleh bendera UEA, Kuwait, Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Qatar, Yaman, Oman, Mesir, Lebanon, Tunisia, dan Palestina.

Simbolisme dan desain bendera di dunia Arab lantas berubah seiring waktu, mencerminkan pergeseran politik dan identitas nasional. Sebagian besar emirat menambahkan elemen unik pada bendera merahnya, seperti tulisan Arab, garis vertikal, simbol, atau perbatasan.

Bahrain dan Qatar menambahkan kerekan berwarna putih dengan tepi gigi gergaji, dan warna resmi Qatar diubah dari merah menjadi merah marun. Sementara bintang dan bulan sabit muncul di bendera Tunisia, Aljazair, Mauritania, dan Liga Arab.

Bendera Oman menambahkan lencana nasional dengan dua pedang bersilangan di belakang khanjar, belati tradisional yang melengkung. Sedangkan Lebanon menambahkan elemen pohon cedar Lebanon, simbol kesucian, perdamaian, dan keabadian.

Bendera Palestina juga mengadopsi dari bendera Pemberontakan Arab, namun mengalami pergesaran makna warna seiring penjajahan yang dilakukan Israel.

Menurut Adam Ramadan dalam jurnalnya "A Refugee Landscape: Writing Palestinian Nationalisms in Lebanon", sebagian besar warga Palestina menjelaskan warna bendera mereka, di mana warna merah melambangkan darah, hijau melambangkan tanah, hitam melambangkan kegelapan perang, dan putih melambangkan perdamaian.

Infografik Mozaik Bendera Pan Arab

Infografik Mozaik Bendera Pan Arab. tirto.id/Ecun

Masa Depan Persatuan Arab

Bendera Pemberontakan Arab masih berkibar di Aqaba, kota pelabuhan di Yordania dan termasuk tiang bendera paling tinggi di dunia. Sejak 2012, bendera asli Pemberontakan Arab dimiliki Yordania saat Raja Abdullah II menyerahkannya kepada Angkatan Bersenjata Yordania. Sedangkan duplikatnya disimpan di Imperial War Museum di London.

Kiwari, gagasan persatuan Arab masih menarik bagi banyak orang Arab dan Pan-Arabisme terus memengaruhi kebijakan luar negeri dan hubungan antar bangsa Arab. Sayangnya, persatuan Arab kini mengalami berbagai persoalan rumit dan kompleks.

Bangsa Arab memiliki berbagai negara yang mempunyai perbedaan politik dan kepentingan. Konflik internal dan perpecahan politik di antara negara-negara Arab telah menghambat kemampuan mereka untuk bersatu dalam menangani berbagai isu, termasuk penjajahan Israel terhadap Palestina.

Beberapa negara menunjukkan dukungan kuat terhadap kemerdekaan Palestina, sementara yang lain yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel lebih mendukung solusi damai.

Perpecahan sektarian antara Muslim Sunni dan Syiah juga telah menjadi sumber konflik utama di dunia Arab, sehingga melemahkan persatuan bangsa Arab secara keseluruhan.

Dinamika regional juga memengaruhi persatuan Arab. Perubahan seperti pergantian rezim, peran Iran di wilayah tersebut, dan intervensi pihak asing, khususnya AS, telah memperumit situasi.

Liga Arab sebagai organisasi bangsa Arab yang berdiri sejak 1945, diharapkan mampu menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah Arab dengan memediasi konflik, mengkoordinasikan upaya untuk menyelesaikan perselisihan yang adil dan berkelanjutan.

Namun seringkali implementasinya menemui hambatan karena perbedaan pandangan sesama anggota. Realitas politik dan perbedaan budaya yang kuat antara negara-negara Arab membuat penyatuan seutuhnya sulit dicapai.

Baca juga artikel terkait PAN ARABISME atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Politik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi