tirto.id - Antelope, sebuah kota kecil di Wasco County, Oregon, Amerika Serikat, berpenduduk sekitar 50-an jiwa. Sebagian besar pensiunan. Ini bukan tipikal tempat yang bakal mengundang berita besar.
Satu kantor pos, satu bangunan sekolah, satu tempat belanja, dan satu gereja—hanya itulah bangunan yang ada di sana, selain pemukiman warga. Antelope memang kota tempat para warganya menghabiskan hari tua.
Namun, pada suatu hari di tahun 1981, semuanya berubah. Antelope tiba-tiba saja kedatangan ribuan orang berbaju oranye, ungu, dan merah marun. Mereka semua pengikut seorang guru spiritual dari India, Bhagwan Shree Rajneesh.
Mereka baru saja membeli sekitar 63.000 akre tanah berbukit dan berlembah yang disebut Big Muddy Ranch, sekitar 19 mil dari Antelope. Di daerah gersang itu mereka membangun kota, lengkap dengan aula meditasi, pusat perbelanjaan, bank, butik, lapangan udara, tanah pertanian dan peternakan, sampai bendungan. Kota utopia itu mereka beri nama Rajneeshpuram.
Melihat perkembangan tersebut, penduduk Antelope merasa terancam, dan dari perasaan terancam ini konflik pun pecah. Konflik mula-mula bermain di ranah hukum, tetapi dalam perjalanannya semakin mengeras sampai melibatkan pemboman, peracunan massal, dan beberapa kali percobaan pembunuhan. Salah satu pendiri Nike, istri produser The Godfather, FBI, dan Garda Nasional ikut pula mewarnai konflik ini.
Tak Hitam-Putih
Semua itu tersaji dalam serial dokumenter Wild Wild Country yang tayang streaming di Netflix 16 Maret 2018 lalu. Menggunakan materi rekaman video (footage) internal dan eksternal dari para pengikut Rajneesh maupun berita televisi masa itu yang mencapai 300 jam, serta wawancara terkini dengan tokoh-tokoh penting peristiwa tersebut, Chapman dan Maclain Way, sang sutradara, menganyam itu semua menjadi kisah yang bikin kecanduan.
Thriller politik, espionase, aksi terorisme, dan drama pengadilan ada dalam serial dokumenter enam episode ini.
Lebih menarik lagi, Way bersaudara tak melakukan penilaian moral dalam karyanya tersebut. Hasilnya Wild Wild Country tak hanya mengelak dari reduksi pandangan hitam-putih, melainkan menawarkan cerita yang kompleks.
Memang, kelompok Rajneesh pada akhirnya melakukan beberapa kali percobaan pembunuhan, peracunan massal, penipuan imigrasi, pembelian senjata ilegal. Namun, semua kegilaan itu muncul karena provokasi yang terus-menerus mereka terima dari warga Antelope dan Wasco County yang paranoid dan bisa dikatakan bigot.
Terhadap praktik keagamaan yang asing bagi sensibilitas Kristen konservatif mereka, warga lokal langsung memandang para pengikut Rajneesh yang baru saja datang sebagai sumber kejahatan. Kosakata alkitabiah macam Satan dan Anti-Christ kerap disematkan pada jemaah baru itu.
Namun benarkah demikian?
Memadukan Barat dan Timur
Wild Wild Country sayangnya tak menjelajahi aspek keyakinan jemaah ini secara mendalam. Dalam episode satu disinggung secara sepintas tentang visi Bhagwan Shree Rajneesh yang ingin menciptakan manusia baru yang mendapat pencerahan.
Manusia baru ini didasarkan pada penyatuan antara spiritualitas Timur dan rasionalitas Barat, sebuah ide yang kini dikemas dengan label "New Age" dan sebenarnya pernah menjamur di tahun 1960-an. Visi itu dipraktikkan lewat penerimaan atas hal-hal yang oleh agama tradisional dilarang atau dibatasi, seperti kekayaan material dan seksualitas.
“Buatku seakan-akan sebuah pintu tiba-tiba terbuka, karena Bhagwan sangat ekletik dan terpelajar,” kenang Chaterine Jane Stork, seorang pengikut Rajneesh asal Australia. “Dia seorang profesor filsafat dan ia bercerita tentang hal-hal yang belum pernah kudengar sebelumnya. Dia bercerita tentang Budha, tentang Zarathustra.”
Pandangan Bhagwan yang beririsan dengan sensibilitas modern ini membuatnya memiliki pengikut yang banyak di kalangan profesional Barat. Ashram-nya di Poona, India, dibanjiri oleh orang-orang Eropa dan Amerika yang haus spiritualitas.
Namun tak sedikit pula yang melihat penerimaan Bhagwan terhadap kekayaan material (ia penyuka jam tangan mewah dan mobil Rolls-Royce) dan seks bebas sebagai sebuah penyimpangan. Sebuah film berjudul Ashram in Poona yang rilis pada 1981 menunjukkan itu.
Dibuat oleh salah seorang pengikut Rajneesh asal Jerman, Wolfgang Drobowolny, film itu menampilkan rekaman video salah satu sesi terapi yang dilakukan pengikut. Dalam rekaman itu tertangkap beberapa perempuan dan laki-laki, telanjang bulat, saling berteriak, saling pukul, sembari bergulingan. Setelah beberapa lama mereka melakukan meditasi lalu berdansa.
Meski setelah sesi tersebut, orang-orang yang terlibat di dalamnya mengaku merasa lebih bahagia dan damai, tetapi adegan yang tampak seperti ritual pagan itu banyak menyumbang pandangan negatif terhadap para pengikut Rajneesh. Warga Antelope termasuk di antara mereka yang menonton film tersebut.
“Rekaman itu membuat kami cemas; akan jadi apa orang-orang macam begini nantinya? Ada banyak kejahatan di sana,” kata Rosemary McGreer, salah satu warga Antelope, di episode dua.
Mengutip filsuf konservatif abad 18 Edmund Burke “satu-satunya hal yang memungkinkan kejahatan (evil) menang adalah diamnya orang-orang baik”, Rosemary, mewakili sentimen warga Antelope lain, semakin termotivasi untuk berbuat sesuatu menanggapi para jemaah Rajneeshes ini.
“Terkadang, Anda harus melakukan sesuatu, meskipun itu bukan hal yang Anda rencanakan dalam hidup,” tandasnya.
Dibantu Bill Bowerman, salah satu pendiri perusahaan sepatu Nike yang memiliki sebuah ranch dekat Rajneeshpuram, warga Antelope lewat organisasi lingkungan Thousand Friends of Oregon melakukan gugatan hukum terhadap komunitas Rajneesh atas nama penyalahgunaan lahan. Lahan untuk ranch, menurut mereka, tak bisa digunakan untuk membangun kota. Mereka meminta Rajneeshpuram dibongkar.
Melihat itu sebagai akal-akalan warga Antelope yang ingin mengusir mereka, para pengikut Rajneesh lantas melawan dengan cara membeli properti yang ada di Antelope. Setengah dari properti yang ada di kota kecil itu memang untuk dijual. Dalam waktu singkat, mereka pun menguasai Antelope. Tentu saja kejadian tak terduga ini membuat konflik semakin memanas.
Dalam salah satu wawancara di televisi waktu itu, Ma Anand Sheela, sekretaris pribadi Bhagwan Shree Rajneesh sekaligus orang yang menjalankan keseluruhan operasi Rajneeshpuram, ditanya pendapatnya tentang niat Thousand Friends of Oregon yang ingin membongkar kota yang baru saja dibangunnya.
“Bagus. Mereka boleh datang. Saya persilakan. Saya bakal berdiri tepat di tengah jalan. Jika mereka mau tabrak aku, itu pilihan mereka. Aku akan mencat buldozer mereka dengan darahku. Dan aku akan merasa bangga tergilas di bawah buldozer itu,” katanya.
“Apa menurut Anda konflik ini bakal sampai sejauh itu?”
“Jika mereka tidak sadar akan kenekatanku, saya pikir mereka bodoh,” tandasnya.
Ucapan Sheela membayangi tindakan-tindakan nekat yang mampu dilakukan para pengikut Rajneesh dalam beberapa tahun ke depan. Namun, semua itu baru mulai bergulir setelah hotel milik mereka yang terletak di Portland, Oregon, di bom oleh orang tak dikenal.
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Windu Jusuf