tirto.id -
Kisah Si Pelayan
Namaku Offred. Aku hidup di zaman yang tak jauh dari penemuan aplikasi Uber. Aku seorang pelayan di Republik Gilead, sebuah republik yang menganut sistem totalitarian dan teokrasi yang menjalankan program 'kembali ke nilai-nilai tradisional'. Republik yang berdiri untuk menggantikan Amerika Serikat. Republik ini mengucilkan peran wanita, memberangus penyuka sejenis, dan segala kegiatan yang melanggar nilai-nilai murni. Hal ini mungkin terjadi, yang mereka butuhkan hanya melegalkan kebrutalan.
Aku tertangkap saat hendak melarikan diri ke Kanada bersama suami dan anakku. Alih-alih dibunuh, aku dipelihara karena aku bisa hamil. Krisis kesuburan akibat polusi membuat umat manusia menghalalkan segala cara, menjadikan wanita budak seks, misalnya. Setelah ditatar, aku dikirim ke keluarga Komandan untuk melayani segala kebutuhan mereka.
Setiap satu bulan sekali, ketika aku berada di masa subur, aku harus melakukan seks bisu dengan Komandan. Istrinya, Serena Joy—mantan penyanyi gospel, mantan aktivis feminis, yang kemudian menjadi penyokong gagasan 'nilai-nilai tradisional'—duduk di belakangku. Kutaruh kepalaku di selangkangannya yang tak subur, dan ia menyaksikan suaminya memperkosaku sambil memegang tanganku. Aku hanya boleh meninggalkan rumah jika hendak berbelanja. Topi yang kami, para pelayan, kenakan sepanjang hari tampaknya sudah amat jelas menunjukkan seberapa bebas kami. Belum lagi Sang Mata, polisi rahasia Gilead, mengintai kami.
Namaku Offred, dan itu bukan nama sebenarnya. Kata 'Of' selalu menyertai para pelayan. Yang perlu mereka lakukan hanya menambahkan nama Komandan yang menjadi tuan kami di belakangnya. Kalian jangan mati dulu sebelum aku selesai bercerita.
Segalanya Abu-Abu
Penonton mengenal sifat tokoh utama melalui monolog interior, yang bisa kita pertanyakan kebenarannya. Sang Komandan kelihatan begitu berkuasa sekaligus rapuh. Penonton bahkan tidak tahu apakah perlu memercayai si Sopir Sang Komandan atau tidak. Kadang ia terlihat bersimpati, kadang gerak-geriknya layak menjadi target pukul. Penonton tak bisa begitu saja menilai Serena Joy jahat, meski tampak luarnya memang begitu.
Semua orang di Gilead kelihatan begitu santun dan berhati-hati memilih kalimat untuk diucapkan, sifat asli mereka sebagai manusia tersimpan dengan rapi dalam pikiran masing-masing. Karakter-karakter yang muncul dan mendapat bagian dalam cerita ini, singkatnya, tidak berdiri di satu sisi. Jika Anda menaruh simpati berlebih terhadap satu atau dua tokoh, bersiaplah kecewa. Dan kesabaran menahan informasi merupakan nilai lebih dari serial televisi ini, selain gaya sinematografinya.
Di Gilead, lelaki memegang kendali dan perempuan terbagi dua kubu. Para Istri yang berpakaian biru, para Martha yang berpakaian hijau dan mengurus kebutuhan rumah dan memasak, dan Para Pelayan yang mengenakan seragam merah dengan topi yang serupa kacamata kuda. Tujuan negeri ini sederhana saja, membuat perempuan terbiasa dengan peran mereka dan pelaku homoseksual dihukum gantung.
Masing-masing tokoh, seperti tokoh utama, berkuasa dalam alam pikir masing-masing. Mereka bisa merencanakan niat jahat, bisa pula menganggap Gilead adalah negara impian mereka. Penonton hanya diizinkan melihat ekspresi dan gerak-gerik tokoh lain selain tokoh utama, tanpa dibolehkan mengikuti arus pikiran mereka. Pada satu kesempatan kita melihat Sang Komandan menyiratkan kemampuannya berbuat apapun, di sisi lain kita akan diperlihatkan bagaimana Sang Komandan mengajak Offred bermain scrabble.
Sedikit Sentuhan Kubrick
Di tengah episode pertama, gaya Kubrick sudah terasa, dari kecermatan pembingkaian dan pilihan palet warna serta beberapa kali menampilkan bentuk-bentuk simetris maupun prisma. Meski begitu, saat frame menampilkan adegan masa lampau, dengan cerdik sinematografer mengambil gambar fragmen demi fragmen, dengan gaya seperti ini penonton tidak perlu takut merasa bosan sekali pun dihadapkan dengan cerita di masa depan yang terkesan lamban. Gaya yang berbeda antara 'kini' dan 'lampau', dengan formula yang tepat, mengajak penonton untuk anteng di depan layar dan pelan-pelan meyakini bahwa ada sebuah negara yang begitu gelap, di mana kebijakan yang mengatur tindak-tanduk warganya sulit diterima akal, tanpa ada paksaan.
Ada satu kepingan cerita yang menampilkan proses kelahiran. Pelayan-pelayan membantu kelahiran itu dengan merapal mantra khas kelahiran tradisional "Tarik napas, tahan, embuskan, dorong." diucapkan secara bersamaan dan diulang berkali-kali sampai Anda bosan merasa nyeri dan terbiasa dengan adegan itu. Di lain bagian, diceritakan pula bagaimana sekumpul pelayan menghabisi nyawa orang yang memerkosa—konsep memerkosa dan melayani di film ini dibedakan, meski keduanya mengandung unsur paksaan—pelayan lain sampai hamil. Ada pula bagian di mana seorang mantan pembela hak perempuan ditanyai bagaimana perasaan dia saat melihat dirinya sendiri menjadi penyokong rezim laknat.
Seperti dibahas Emily Nussbaum pada The New Yorker, Gilead memang menyimpan kengerian yang tak pengin Anda rasakan di masa depan, tetapi juga menyajikan pemandangan layar yang sanggup memanjakan mata. Detail-detail yang secara teliti ditempatkan dengan presisi dan konsistensi cerita yang membuat Anda menikmati perjalanan tanpa perlu repot protes ini dan itu.
Novel Margaret Atwood dan Amerika dan Dunia Hari Ini
ISIS, naiknya sayap kanan-ekstrim di beberapa negara, dan terpilihnya Donald Trump, membuat dunia punya bahan percakapan lain: Kecemasan akan hilangnya kemerdekaan, penggunaan agama sebagai alat teror negara, hak-hak sipil yang bisa lenyap sekali tiup, dan sebagainya. Waktu yang tepat untuk mengadaptasi atau membuat kisah distopia, termasuk The Handmaid's Tale karya Margaret Atwood.
Tahun 1985 di Berlin, tembok masih tegak. Sebuah fondasi yang baik untuk membuat cerita fiksi ilmiah kelam berlatar sejarah. Atwood ada di kota itu, dan ia mengambil sampel secara acak dimulai dari kebangkitan puritanisme New England, NAZI dengan Third Reich-nya, perbudakan di Amerika, dan situasi Jerman Timur.
Semua dikemas dalam cerita fiksi ilmiah yang seakan berjarak dengan kenyataan. Rezim bajingan, apa pun bentuknya, selalu memiliki peluang untuk tumbuh. Cerita bertema distopia hadir untuk mengingatkan Anda. Cerita itu bisa untuk mencegah bisa pula untuk menyiapkan mental, kalau-kalau sudah terlambat untuk mencegah. Sayangnya, amat jarang orang betah menghabiskan waktu untuk membaca atau menonton cerita-cerita ngeri, sebab kemasannya kadang memang menyebalkan: Kurang bergaya, tidak bisa dinikmati.
Serial televisi The Handmaid's Tale menawarkan kegembiraan baru. Bukan dari segi plot. Melainkan dari tampilan maupun musik yang mengiringinya sepanjang musim pertama.
Penulis: Sabda Armandio
Editor: Maulida Sri Handayani