tirto.id - Adegan pertama dibuka dengan jantung manusia yang masih menggeliat, berdenyut. Selanjutnya penonton akan tahu jika jantung itu ada di atas meja operasi, lewat tangan-tangan yang menjahit sisi-sisinya. Gambar mencekam selama beberapa detik tersebut dipampangkan Yorgos Lanthimos, sang sutradara, lewat angle bird eyes.
Dengan angle yang sama, adegan berikutnya hanya merekam lengan seseorang yang melepas jubah bedah, membuangnya ke tong sampah, lalu melepas sarung tangan berlumuran darah dari tangannya yang bersih.
Orang itu, sang karakter utama, adalah ahli bedah ternama Dokter Steven Murphy (Collin Farrell).
The Killing of A Sacred Deer (selanjutnya disingkat Sacred Deer) jadi pertemuan kedua Lanthimos dan Farrell. Sebelumnya, si aktor Irlandia juga jadi bintang utama di film perdana berbahasa Inggris sang sutradara berdarah Yunani itu—berjudul The Lobster (2015). Kali ini Farrell tak jadi warga negara lemah yang kehidupan selangkangannya diatur oleh pemerintah utopis dalam dunia The Lobster. Ia justru punya kuasa lebih sebagai dokter ahli bedah yang kaya raya, tinggal di rumah mewah, dan bekerja di rumah sakit besar.
Sacred Deer, singkatnya, menceritakan kehidupan Murphy yang berubah ketika bertemu seorang remaja laki-laki—yang ayahnya kebetulan meninggal di ruang operasi karena kelalaian sang dokter. Sepanjang film diputar, Murphy tak pernah mengakui bersalah atas kematian tersebut. Ia bahkan menyatakan: “Ahli bedah tak pernah membunuh pasien; cuma ahli anastesi yang bisa membunuh pasien.” Ujaran Murphy bukan cuma menunjukkan kuasa sang dokter atas nyawa seseorang, tapi juga arogansi Murphy atas kuasanya tersebut.
Kendati demikian, ia diam-diam menaruh perhatian lebih pada remaja laki-laki itu untuk menutupi perasaan bersalahnya. Selama “beberapa tahun” terakhir setelah kematian pasiennya, Murphy berusaha hadir di hidup sang bocah sebagai sosok pengganti ayahnya. Ia memberikan hadiah, menemani mengobrol, memeriksa kesehatan sang bocah cuma-cuma, dan bahkan datang ke rumah sang bocah untuk makan malam dan menonton. Semua perhatian lebih itu berubah jadi paranoia, ketika sang bocah mulai bertingkah agresif. Di titik itu, Murphy mulai merasa terganggu dan menjauhi sang bocah.
Namun, kematian harus dibayar kematian, kata Martin (Barry Koeghan)—sang bocah—suatu waktu.
Secara gaib, Bob (Sully Suljic), putra bungsu Murphy tiba-tiba lumpuh dan kehilangan nafsu makannya. Semua teknologi canggih kedokteran bilang kalau anak Murphy baik-baik saja. Sampai-sampai sang dokter menganggap putranya cuma mengada-ada. Tak dinyana, cuma Martin yang tahu jawabannya. Namun, jawaban itu terlalu gaib, dan tentu saja tak masuk logika Murphy, seorang dokter yang lebih mengimani ilmu pengetahuan.
Martin bilang, penyakit aneh Bob tak akan hilang sampai Murphy membunuh salah satu keluarganya. Jika tidak, semua anggota keluarganya akan menghadapi sakaratul maut serupa Bob: lumpuh, kehilangan nafsu makan, lalu menangis darah hingga mati dengan sendirinya. Martin bahkan juga menyebut urutan keluarga Murphy yang mati duluan: Bob, Kim (Raffey Cassidy)—putri sulungnya, dan Anna (Nicole Kidman)—sang istri.
Ide eksentrik memang jadi ciri khas Lanthimos dalam film-filmnya. Satire-satire sosial yang gelap juga hadir dalam Sacred Deer. Kali ini, ia mengadu sudut pandang progresif lewat karakter keluarga Murphy, dengan sifat-sifat supranatural yang dibawakan tokoh Martin.
Karakter Murphy awalnya tampil sebagai hero, yang memang muncul lebih sering dari tokoh lain, sehingga penonton bisa saja terjebak larut dan hanyut dalam sudut pandang sang dokter: misalnya, ikut membenci Martin; atau lebih parah turut menganggap rasa kehilangan Martin atas ayahnya sudah dibayar impas dengan waktu luang Murphy yang beberapa kali menemaninya mengobrol.
Jika lebih diperhatikan, Lanthimos sebenarnya sama sekali tak mematok batas hitam dan putih yang jelas pada semua karakter. Dari adegan pertama, kita bahkan sudah diperingatkan bahwa di atas tangan bersih seorang dokter ternama macam Murphy, selalu ada sarung tangan dan baju bedah bekas berlumuran darah. Dari awal, kita sudah diperingatkan tentang karakter Murphy yang sebenarnya adalah manusia biasa, tapi 'kerasukan Tuhan' dan merasa berhak menentukan benar dan salah sesuai definisinya sendiri.
Murphy bahkan masih merasa punya kuasa—dan menganggap semua hal masih di bawah kendalinya—ketika menyekap Martin di ruangan bawah tanah rumahnya. Padahal di saat yang sama, kekuatan supranatural itu tetap membuat Bob serta Kim lumpuh, dan kehilangan nafsu makannya.
Tak cuma lewat Murphy, Lanthimos juga mengeksplorasi relasi manusia dengan kekuatan supranatural—atau sebagian orang sebut sebagai 'Tuhan'—lewat karakter Anna dan Kim. Sang ibu adalah tipikal orang beriman yang tak pantang menyerah pada doanya sekaligus pasrah di saat yang sama. Tak ada penolakan berlebihan sebagaimana yang dilakukan Murphy. Hanya percaya, dan bila perlu mencium kaki sang kekuatan supranatural untuk dapat pengampunan—yang dalam film ini dimetaforakan dengan kaki Martin.
Sementara Kim adalah tipikal orang saleh yang sejak awal khusyuk mengimani dan taat sabda dan firman, tapi tetap berontak ketika keinginannya tidak dikabulkan sang kekuatan supranatural.
Akting Barry Koeghan yang memerankan Martin memang sangat tajam sekaligus dingin di film ini. Karakter remaja bermasalah yang tiba-tiba disokong kekuatan supranatural benar-benar diantarkannya dengan maksimal. Performa kuat itu patut disandingkan dengan kualitas sandiwara Ezra Miller yang menghidupkan karakter dingin, psikopat Kevin dalam We Need to Talk About Kevin (2011). Rasanya tak ada karakter psikopat paling dingin dalam dua dekade terakhir selain mereka berdua.
Sebagaimana film Lanthimos yang lain, Sacred Deer juga tampil menonjol dengan lewat perbendaharaan visual yang kaya. Ia selalu membawa kameranya dari sudut pandang ketiga—lebih sering dari angle bird eyes, long shot dan high angle—sehingga mengesankan sosok lain yang mengawasi para karakter, sekaligus menebalkan intensitas ketengangan dalam film thriller psikologis ini.
Nicole Kidman, dalam wawancaranya bersama Farrell, Koeghan, dan Lanthimos denganHollywood Reporter, mengakui bahwa Sacred Deer memang jenis film yang akan memancing banyak pertanyaan—khas karya-karya Lanthimos. Dan karena ini film Lanthimos, maka memperhatikan setiap adegannya jadi penting. Sebab dialog saja biasanya tak cukup untuk membuat film-filmnya masuk akal. Sang sutradara biasanya lebih senang menyisipkan simbol dalam adegan-adegannya.
Misal, bagaimana Lanthimos menjelaskan pemilihan judul The Killing of A Sacred Deer lewat adegan salah satu karakternya yang mendapat nilai A+ atas esai Iphigenia—sebuah mitos Yunani tentang pembunuhan rusa suci oleh Agamemnon.
Lewat adegan itu pula, Lanthimos mempertegas gaya, narasi, dan kekhasan-kekhasan lain Greek New Wave masih jadi benang merah dalam karya-karyanya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf