tirto.id - Ada bayi raksasa. Tepatnya, seorang perempuan normal yang menggendong bayi raksasa di tengah suasana kaotis rumah sakit. Itulah adegan pertama dalam I'm A Virgo, serial TV komedi absurd yang tayang di Amazon Prime Video sejak Juni lalu.
Itu adegan pembuka yang kuat. Langsung mengejutkan sejak mula—terutama bagi penonton yang, seperti saya, memulai serial ini tanpa melihat trailer, sinopsis, atau apapun bahan promosi.
I'm A Virgo bukan judul populer. Saya bahkan menontonnya atas rekomendasi seorang teman. Pun saya menontonnya semata karena dia menyebutkan nama kreatornya, Boots Riley. Kehadiran bayi raksasa jadi tak begitu mengejutkan bagi yang familier dengan karya orang ini, entah sebagai rapper/MC di The Coup dan Street Sweeper Social Club, maupun sutradara/penulis film Sorry to Bother You (2018).
Tentu banyak alasan yang membuat serial ini tak masuk jajaran judul terpopuler. Namun, reputasi sang kreator saja sudah cukup untuk membuat saya meluangkan waktu untuk menonton karya terbarunya. Kita bisa mengantisipasi gagasan unik dan imajinasi yang meliar selagi komentar sosiopolitis ditebar. Satu hal lagi, karya gambar bergerak Riley bisa diharapkan tampil dengan visual memukau.
Dan I'm A Virgo adalah semuanya.
Mulanya Coming-of-Age
Bayi raksasa bernama Cootie lantas tumbuh menjadi remaja setinggi sekitar 4 meter (diperankan Jharrel Jerome). Dia diasuh orang tua adopsi yang notabene merupakan paman dan bibinya, Martisse (Mike Epps) dan Lafrancine (Carmen Ejogo). Untuk menghadirkan efek raksasanya Cootie di antara manusia normal, teknik forced perspective acapkali diterapkan.
Tak ada penjelasan soal mengapa serial ini dijuduli demikian,selain bahwa Virgo adalah zodiaknya Cootie. Ini bisa dibaca sebagai konsepsi yang membentuk pribadinya, caranya memandang diri sendiri, atau bagaimana orang tuanya mendidik.
Jadi, bukan soal warna kulit dan ukuran tubuh. Cootie percaya dan menerapkan bahwa dia disiplin, berjiwa petualang, dan terorganisir—sifat-sifat baik yang disebut menjadi ciri seorang Virgo. Astrologi memang dimanfaatkan secara optimal sebagai salah satu pembentuk kepribadian Cootie semasa tumbuh.Meski begitu, di lain waktu, serial ini tak luput mengejek ramalan bintang sebagai hal-baik-tapi-khayali yang ingin didengarkan orang-orang.
Selama 19 tahun hidupnya, eksistensi Cootie sebagai raksasa dirahasiakan. Dia tak pernah melihat dunia luar selain dari buku, komik, dan TV. Dia bahkan tak pernah keluar rumah sampai naluri remaja pemberontaknya muncul. Cootie mesti beradaptasi dengan dunia baru berikut kelindan baik-buruk yang menyertainya.
Ceritanya agak miripGulliver's Travel, memang. Namun, hulu naratif sebenarnya adalahsesuatu yang sangat umum: perkaracoming-of-age. Pemberontakan Cootie bermula dari kekesalan pada pamannya yang melibatkan burger dan truth issue. Namun,dia sebetulnya lebih dongkol lagi karena selama 19 tahun tak pernah diperkenalkan dengan teknologi canggih seperti subwoofer.
Itu penyampaian yang menarik. Selebihnya, ada kisah tumbuh-kembang yang menjejak: bagaimana Cootie menemukan teman-teman sebaya, naksir untuk pertama kalinya, dan menyadari bahwa kutipan-kutipan apa pun yang berasal dari buku dan TV tidaklah selalu berlaku di pergaulan nyata, lebih-lebih jik berbicara dengan analogi dan metafora.
Dunia Cootie hidup adalah juga dunia di mana superhero eksis (untuk menghukum para kriminal dari golongan bawah). Begitu pun varian kekuatan super lainnya seperti yang dimiliki Flora (Olivia Washington). Di dunia itu dia berhadapan dengan realitas di mana teman-temannya, anak-anak kulit hitam, maupun minoritas lain dan golongan ekonomi bawah pada umumnya, juga berada di bawah ancaman.
Itu adalah dunia, seperti yang dikhwatirkan kedua orang tua asuhnya, di mana para oportunis bakal memanfaatkan spesialnya Cootie sebagai raksasa. Entah mencoba merekrutnya ke tim olahraga atau menjadikannya model. Cootie bakal kesulitan membagi waktu antara jam kerjanya dan kegiatan aktivisme bersama Jones (Kara Young) yang seorang komunis. Sebabnya sudah pasti lantaran dia, sebagaimana kebanyakan orang, dirancang untuk senantiasa memerlukan uang.
Dari sanalah, I'm A Virgo masuk menuju salah satu menu utamanya, komentar tajam untuk kapitalisme.
Satire Kapitalisme dan Superhero
Anak-anak muda atau siapapun yang tak punya asuransi kesehatan tak bakal dilayani oleh layanan kesehatan privat, walau sekarat sekali pun. Sementara itu, aparat selalu siap merepresi saat kemiskinan struktural jadi sumbu kriminalitas.
Karakter Jones lantas jadi kunci untuk propaganda Riley. Orasi-orasi yang keluar dari mulutnya adalah kritik untuk masyarakat kapitalis dan selalu disusupkan dengan mulus ke dalam plot. Tak lelahnya dia mengingatkan bahwa kompetisi bikin perusahaan menekan gaji karyawan serendah-rendahnya. Juga bahwa seluruh bisnis nyatanya menggunakan kekerasan sebagai regulasi, bahwa kapitalisme selalu memerlukan pengangguran dan kriminalitas yang ditimbulkannya.
Di dunia kapitalis, orang-orang dicekoki “dogma” bahwa kemiskinan adalah kesalahan orang-orang miskin itu sendiri. Mereka jatuh miskin lantaran tak cakap dan pilihan-pilihan buruk yang mereka tempuh sendiri, alih-alih lantaran kebobrokan sistem.
Jones tak lupa pula mengingatkan: jika ini adalah perang, ini bukanlah perang ras, melainkan perang kelas.
Uniknya, selalu terjadi perubahan latar pada setiap orasi Jones. Di saat itu, lingkungan nyata Kota Oakland berubah jadi teatrikal lagi sureal—cukup sukses membuat propaganda jadi berwarna dan tak membosankan.
Absurditas tak berhenti di sana. Di “dunia nyata” ada sekelompok orang yang mengecil. Itu seolah jadi simbolisme people power bakal menyusut di hadapan represi. Namun, itu bukanlah akhir dunia lantaran I'm A Virgo menyatakan bahwa siapapun tetap berkontribusi dalam perlawanan, sekecil apapun bentuknya.
Dari dunia distopia kapitalis—yang sebetulnya tak berbeda jauh dengan dunia yang kita tinggali hari-hari ini, plot dirangkai pula menjelma satire untuk superhero. Itu secara mengagumkan sukses diselipkan ke episode-episode akhir.
Karakter The Hero alias Jay Whittle (Walton Goggins) ditulis dengan mengesankan. Sifat otoriternya agak mengingatkan pada serial superhero Amazon lain, The Boys. Dengan kemanusiaan dan pembedaan untuk beberapa aspek menjadikan The Hero sedikit lebih mengerikan ketimbang, misalnya, Homelander.
Pada banyak kesempatan, dia bahkan lebih menyerupai bilyuner seperti Musk atau Bezos (yang ironisnya pemilik perusahaan yang mendanai-menayangkan serial ini).
Kehadirannya difungsikan sebagai pengantar propaganda (lagi) bahwa "orang-orang butuh superhero biar paham bahwa hukum dan moralitas adalah hal yang sama". Latar belakangnya dari keluarga kaya pun dikritik. Tak ada gunanya orang kaya dan kuat jadi superhero lantaran hukum sepenuhnya dirancang untuk mereka.
Segala kepahlawanan The Hero pada akhirnya tak lebih dari sekadar alat kapitalis untuk menjaga status quo.
Selain poin-poin utama itu, I'm A Virgo masih mengomentari banyak hal lagi, dari soal junk food, relationship (sekalipun berbentuk situationship) yang tak pernah mudah, hingga persoalan munculnyakultus pemuja Cootie yang jadi cerminan fanatisme di dunia kita.
Dalam kompleksitas dunianya, karakterisasi Cootie lantas berkembang jadi kian mendalam. Pola kisah superhero, kendati dikritik juga disampaikandengan baik. Semata karena Cootie didampingi keluarga dan orang-orang yang tepat, dia tak lantas terjerumus jadi “villain”, meski sudah ada sosok “hero” di semestanya.
“Perlawanan” Cootie bangkit dari segala kenaifan dan keluguannya, serta dari teks-teks yang pernah dia baca, juga sesederhana karena solidaritas, dan pastinya dari “kebijakannya” memilah mana yang patut diperjuangkan.
Definisi Fafifu yang Menghibur
Di antara segala urusan superserius yang menyembul, I'm A Virgo mendedikasikan sekitar setengah durasi salah satu episodenya untuk menampilkan absurdnya hubungan seks antara manusia berukuran normal dan raksasa. Pada kesempatan lain, ada adegan konyol sang pahlawan super sempat-sempatnya memberikan kritik seni terhadap seniman komik saat dia sedang sibuk menyeret orang atas nama keadilan.
I'm A Virgo selalu seperti itu dalam soal humor tak terduga, sekuens sureal, dan selingan animasi absurd berjudul “Parking Tickets”. Di satu sisi, semua itu menjadikannya kurang fokus.
Penulisannya kadang terasa janggal. Semisal soal Cootie yang agaknya terlalu dini dan gegabah dalam memimpin operasi revolusi. Atau soal optimisme yang agak kelewet tinggi bahwa semua masalah bisa diselesaikan melalui dialog atau sang antagonis bisa disadarkan. Kelemahan-kelemahan ini seakan berlindung di balik sifat absurd naratifnya.
Orasi-orasi Jones setidaknya jadi satu hal yang konstan, yang bisa mengena dan beresonansi di benak penonton. Namun, apakah ia bakal berdampak—bisa bikin penonton terdorong untuk mencicipi teks-teks Marxist, membaca manifesto perlawanan, atau mulai mengorganisasikan diri? Entahlah.
Yang pasti, orasi-orasi Jones sukses menjadikan I'm A Virgo sebagai hiburan yang thought-provoking, kritis selagi bersenang-senang. Selebihnya, inilah serial komedi absurd yang mudah dinikmati. Meski plot terasa ke mana-mana, tetap ada worldbuilding yang cukup jelas dan distingtif.
Semua itu cukup untuk menjadi dasar bagi para kreatornya untuk melanjutkan serial ini ke season berikutnya.
Pun masih ada Ada akting-akting menawan, terutama oleh Jharrel Jerome (Moonlight, Across the Spider-Verse) sebagai Cootie yang malu-malu, penuh kecanggungan, tapi sekaligus tetap seperti remaja kebanyakan yang gila komik dan TV. Begitu pun penampilan layak dari Kara Young dan pastinya Walton Goggins sebagai The Hero yang menampilkan aura tak terjamah, kompleks, lagi tepat untuk dunianya.
Walau adegan-
adeganinteraksi antara Cootie dan manusia biasa sesekali terlihat janggal, visual serial inisecara keseluruhan tetap layak dipuji. Itu ditopang pula oleh pilihan musik yang spesial, baik dari soundtrack oleh The Coup maupun score oleh Tune-Yards.I'm a Virgo bukanlah kisah yang disusupi narasi politik, tapi memang karya yang politis. Karena seni selalu politis, ia senantiasa bisa jadi medium propaganda yang kreatif. Ia memang tak masuk jajaran populer, tapi I'm A Virgo sudah jelas merupakan salah satu tontonan asyik yang kita butuhkan.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi