tirto.id - Badan Kesehatan Dunia atau WHO menyatakan obat antivirus Remdesivir tidak direkomendasikan untuk obat pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.
Alasannya, tidak ada bukti bahwa obat produksi Gilead itu dapat semakin menyelamatkan nyawa atau mengurangi kebutuhan penggunaan ventilator, kata panel Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Panel menemukan kurangnya bukti bahwa remdesivir meningkatkan hasil yang penting bagi para pasien, seperti penurunan angka kematian, kebutuhan menggunakan ventilator, waktu untuk perbaikan klinis, dan lain-lain," menurut pedoman yang dirilis WHO, sebagaiana diberitakan Antara dari Reuters, pada Jumat (20/11/2020).
Anjuran itu adalah kemunduran untuk obat tersebut, yang pada musim panas menarik perhatian dunia sebagai pengobatan yang berpotensi efektif sebagai obat COVID-19 dan setelah beberapa uji coba sebelumnya tampak menjanjikan.
Pada akhir Oktober, Gilead memangkas perkiraan pendapatan tahun 2020, dengan alasan permintaan lebih rendah daripada perkiraan dan kesulitan dalam memprediksi penjualan Remdesivir.
Remdesivir merupakan obat antivirus yang dianggap potensial untuk mengatasi infeksi virus corona. Sejumlah uji coba telah menemukan bahwa remdesivir efektif dalam mengurangi tingkat viral load pada pasien Covid-19. Sebelumnya, remdesivir juga sempat digunakan untuk mengatasi wabah Ebola, MERS, dan SARS.
Namun, uji coba besar yang dipimpin WHO yang dikenal sebagai Uji Solidaritas menunjukkan pada Oktober bahwa antivirus itu hanya memiliki sedikit atau tidak berpengaruh pada kematian atau lamanya masa rawat inap 28 hari di rumah sakit untuk pasien COVID-19.
Obat tersebut adalah salah satu obat yang digunakan untuk mengobati infeksi virus corona Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dan telah ditunjukkan dalam penelitian sebelumnya dapat mempersingkat waktu pemulihan.
Remdesivir diizinkan atau disetujui untuk digunakan sebagai pengobatan COVID-19 di lebih dari 50 negara.
Sebaliknya, Gilead mempertanyakan hasil Uji Solidaritas WHO.
"Veklury diakui sebagai standar perawatan untuk perawatan pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 dalam pedoman dari berbagai organisasi nasional yang kredibel," kata Gilead dalam pernyataan. Ia merujuk pada nama merek obat tersebut.
"Kami kecewa pedoman WHO tampaknya mengabaikan bukti ini pada saat kasus meningkat secara dramatis di seluruh dunia dan dokter mengandalkan Veklury sebagai pengobatan antivirus pertama dan satu-satunya yang disetujui bagi pasien COVID-19."
Panel Kelompok Pengembangan Pedoman (Guideline Development Group/GDG) WHO mengatakan rekomendasinya didasarkan pada tinjauan bukti, yang mencakup data dari empat uji coba acak internasional dengan melibatkan lebih dari 7.000 pasien yang dirawat di rumah sakit karena COVID-19.
Setelah meninjau bukti, panel mengatakan, disimpulkan bahwa Remdesivir, yang harus diberikan secara intravena dan oleh karena itu mahal dan rumit untuk diberikan, tidak memiliki efek yang berarti pada tingkat kematian atau hasil penting lainnya bagi pasien.
"Terutama mengingat implikasi biaya dan sumber daya yang terkait dengan Remdesivir [...], panel merasa bertanggung jawab harus menunjukkan bukti kemanjuran, yang tidak ditetapkan oleh data yang tersedia saat ini," tambahnya.
Nasihat WHO terbaru muncul setelah salah satu badan utama dunia yang mewakili dokter perawatan intensif mengatakan antivirus tidak boleh digunakan untuk pasien COVID-19 di bangsal perawatan kritis.
Rekomendasi WHO itu, yang tidak mengikat, adalah bagian dari apa yang disebut proyek "pedoman hidup", yang dirancang untuk menawarkan panduan bagi para dokter untuk membantu mereka membuat keputusan klinis tentang pasien dalam situasi yang dinamis seperti pandemi COVID-19.
Panduan tersebut dapat diperbarui dan ditinjau kembali saat bukti dan informasi baru muncul.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Gilang Ramadhan