tirto.id - Richard Nixon mundur dari jabatannya sebagai Presiden ke-37 Amerika Serikat pada Agustus 1974. Keputusan ini membuatnya menjadi presiden pertama dan satu-satunya dalam sejarah Negeri Paman Sam yang mengundurkan diri sebelum waktunya.
Setelah itu Nixon menghilang dari muka publik. Dia baru mau menerima tawaran wawancara media massa tiga tahun kemudian, momen yang kelak menjadi salah satu peristiwa paling diingat dalam sejarah politik negara tersebut.
Nixon tumbang karena skandal Watergate–nama yang diambil dari tempat kejadian, kompleks gedung di Washington D. C. Pada 17 Juni 1972, lima orang penyusup ditangkap di lantai enam gedung tersebut, yang tidak lain merupakan markas besar Komite Nasional Partai Demokrat, partai lawan Nixon dalam pemilihan presiden 1976. Virgilio Gonzalez, Bernard Barker, James McCord, Eugenio Martínez, dan Frank Sturgis menyusup untuk memasang alat penyadap.
Belakangan diketahui bahwa mereka adalah kelompok pendukung Nixon bernama Committee to Re-elect the President alias CREEP. Mereka melakukan ini semua untuk memenangkan sang jagoan, melanjutkan kepemimpinannya untuk periode kedua.
Tidak susah menebak motif tersebut. The Washington Post melaporkan James McCord adalah koordinator keamanan CREEP. FBI kemudian menemukan bahwa pengawas penyadapan tersebut adalah Howard Hunt dan G. Gordon Liddy. Hunt ialah mantan agen CIA yang kadang menjadi konsultan Gedung Putih, sedangkan Liddy juga anggota CREEP.
Ketika itu banyak yang belum tahu bahwa penyusupan telah terjadi dua kali. Yang pertama pada Mei 1972. Bedanya, pada penyusupan pertama operasi berjalan lancar. Dua telepon kabarnya berhasil ditempel penyadap.
Terbongkarnya penyusupan membuat Nixon berupaya menyelamatkan orang-orang yang mengemban tugas kotor tersebut. Tentunya bukan hanya karena yang terlibat adalah orang-orang dekatnya, tapi juga agar tudingan tidak menyentuh Gedung Putih. Dia berusaha memengaruhi FBI dan CIA, tapi semuanya gagal.
Jurnalis Washington Post Bob Woodward dan Carl Bernstein berhasil mengetahui dan melaporkan upaya lain dari Nixon, yaitu menyogok para penyusup agar mau mengakui kesalahan tapi tidak mengaitkan itu dengan Gedung Putih.
Meski banyak bukti, Nixon berhasil lolos. Sang presiden pengganti Gerald Ford mengeluarkan keputusan mengampuni Nixon. “Sekarang memberikan pengampunan penuh, tanpa syarat, mutlak, kepada Richard Nixon untuk semua pelanggaran yang dia lakukan atau mungkin lakukan kepada Amerika Serikat,” demikian petikan keputusan itu. Bagi Ford, Nixon sudah cukup mendapat hukuman sejak mengundurkan diri.
Warga AS tentu jengkel bukan main. Bukan hanya karena Nixon bebas, tapi dia juga tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan apalagi memohon maaf.
Tapi Nixon tidak bisa lolos begitu saja. Tiga tahun kemudian, dia dicerca habis dalam sebuah acara televisi.
Nixon Meminta Maaf
David Frost, seorang pembawa acara televisi asal Inggris, mengejar Nixon mati-matian. Dia rela mengeluarkan 600 ribu dolar AS untuk membujuk Nixon tampil di layar kaca dan berhasil. Tak tanggung-tanggung, Frost berhasil membuat 12 seri tanya jawab dengan total durasi 28 jam 45 menit.
Banyak yang menduga wawancara ini tidak akan membawa dampak apa pun. Frost sudah pernah mewawancarai Nixon dan sang presiden justru mendapat publikasi yang bagus. Selain itu, wawancara kali ini juga situasinya lebih sulit. Nixon telah lolos dari jerat hukum dan hampir sukses memanipulasi publik bahwa kejahatan politik adalah sesuatu yang normal.
Wawancara pertama Frost dan Nixon pada 4 Mei 1977 langsung membicarakan tentang Watergate. Seperti yang bisa ditebak, Nixon cukup berupaya berkilah. Misalnya ketika ditanya tentang apa yang terjadi dalam rekaman sepanjang 18,5 menit yang hilang. Nixon mencoba membawa pertanyaan itu ke hal yang lebih umum dengan mengatakan, “Masalah penyadapan sebenarnya bukan berangkat dari Watergate. Adlai Stevenson, kurasa kau tidak tahu, dia pernah...,” tapi kemudian dipotong. “Kita bahas ini nanti. Fokus pada pertanyaan tadi saja,” sela Frost.
Frost bukan hanya bertanya dan menadah ludah sebagaimana banyak wartawan atau pewawancara lain, tapi juga bicara cukup panjang terkait fakta-fakta kasus dan logika bagaimana Nixon memang menghalangi proses hukum. Misalnya soal upaya memengaruhi FBI dan CIA. Frost membuat analogi berikut: “Jika aku ingin merampok bank tapi gagal, tak ada pembelaan, aku tetap ingin merampok bank. Makanya aku bilang, Anda ingin menghalangi proses hukum dan berhasil. Titik.”
Nixon menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana dia begitu sulit melepas orang terdekatnya yang terlibat skandal Watergate, bahkan sampai cerita tentang bagaimana dia akhirnya memecat orang-orang itu. Tapi, seakan tidak peduli, Frost kembali mendesak Nixon dan mengatakan bahwa lalai saja tidak cukup untuk mendeskripsikan tindakan Nixon.
Tak disangka, balasan Nixon adalah, “Apa yang bisa Anda sarankan untuk saya katakan?”
Setelah kurang lebih 50 menit, tekanan dari Frost membuat Nixon tidak dapat menghindar lagi.
“Saya membiarkan teman-teman saya bersedih, negara saya, rakyat saya, semua bersedih. Dan saya harus membawa beban tersebut seumur hidup saya,” ujar Nixon. “Karier politik saya hancur. Saya tidak akan pernah lagi punya kesempatan untuk menduduki jabatan negara apa pun.”
Megan Morris dalam tulisannya berjudul “The Presidential Apology: Lessons from Tricky Dick and Slick Willy” (2012) mencatat bahwa setelah momen itu Nixon tampak sebagai “orang yang kalah.” Meski tidak secara langsung, namun pernyataan Nixon “lebih seperti permintaan maaf yang orang-orang Amerika sudah tunggu sejak lama,” catat Morris. Dan itu cukup buat mereka.
Buktinya, dalam sebuah survei, ada setidaknya 44 persen orang Amerika yang merasa iba kepada Nixon. Pada 2002, sebanyak 59 persen publik Amerika percaya bahwa pengampunan yang diberikan Presiden Ford kepada Nixon sudah tepat. Tapi, tetap saja, Nixon tidak pernah bisa lagi menjadi politikus–apalagi calon presiden.
Kasus Indonesia
Presiden Joko Widodo pernah melakukan hal serupa Nixon, yaitu menghadapi wartawan untuk membicarakan dan mengklarifikasi isu spesifik. Jokowi setidaknya sudah melakukan tiga wawancara khusus yang cukup panjang terkait penanganan pandemi Covid-19. MetroTV, KompasTv, dan BBC yang mendapat kesempatan itu.
Mengesampingkan MetroTV yang dimiliki Surya Paloh yang merupakan pendukung Jokowi, KompasTv dan BBC menyinggung bagaimana masyarakat tidak puas penanganan pandemi dari pemerintah. Ini sejalan dengan tingkat kepuasan masyarakat secara umum terhadap pelayanan pemerintahan yang cenderung menurun. Pada Mei 2021, misalnya, Indikator mencatat kepuasan di angka 62,3%. Sebulan kemudian, hanya 59,6% responden Lembaga Survei Indonesia yang menyatakan puas. Survei yang keluar bulan Agustus oleh Indikator Politik Indonesia juga menunjukkan tren penurunan dari yang awalnya sekitar 67% menjadi 61%. Lembaga survei SMRC juga menganggap secara umum kepuasan masyarakat turun sebanyak 7,2% dalam empat bulan terakhir.
Dalam wawancara teranyar, Karishma Vaswani dari media asal Inggris BBC menekankan bagaimana pemerintah awalnya meremehkan Covid-19 hingga kasusnya melonjak seperti sekarang. “[….] Awalnya pemerintahan Anda menganggap remeh penyakit ini, dan imbasnya, Indonesia terlambat menyadari bahayanya. Bagaimana pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas kematian ini?”
Ada dua poin yang Jokowi jadikan alasan. Pertama, fasilitas rumah sakit yang memang kurang memadai. Kedua, kesulitan bahwa negara Indonesia terlalu luas. “Fasilitas kesehatan kita penuh dan tidak mampu menampung. Saat itulah memang terjadi kematian yang sangat banyak. Hampir 2.000 per hari. Tapi saat ini sudah bisa kita tekan, sudah bisa kendalikan,” kata Jokowi.
Jawaban Jokowi mirip dengan Nixon yang sekadar menceritakan masalah. Jokowi mengabaikan poin penting pertanyaan yaitu “menganggap remeh” Covid-19. Bahkan, ketika didesak lagi dengan pertanyaan “Apa kesalahan terbesar yang dilakukan pemerintah selama penanganan pandemi?” Jokowi, sekali lagi, tetap berkutat pada masalah kurangnya fasilitas kesehatan.
Janna Thompson dalam artikel berjudul “Apology, Justice and Respect: a Critical Defence of Political Apology” (2005) mengatakan permintaan maaf dalam politik memang sebaiknya tidak dilakukan terlalu banyak. Tapi permintaan maaf menjadi penting dan bisa jadi sebuah awalan yang baik. Jangan sampai hal keliru yang memicu permohonan maaf terjadi di kemudian hari.
Meskipun akhirnya bisa jadi sia-sia belaka, tapi Thompson menganggap “permintaan maaf bisa jadi penting secara moral.”
Kepribadian Nixon dan Jokowi tentu berbeda. Pun dengan kasusnya. Nixon melanggar hukum, sementara Jokowi menjalankan kebijakan yang buruk. Namun tetap saja ada yang menuntut Jokowi meminta maaf sebagaimana Nixon lakukan meski tidak eksplisit, apalagi hal serupa jamak dilakukan para pemimpin di banyak negara.
Pertanyaannya, jika Nixon didesak Frost, adakah yang mampu membuat Jokowi melakukannya?
Editor: Rio Apinino