Menuju konten utama

Elite Politik Memang Benci Meminta Maaf

Pejabat publik memang sukar untuk mengaku salah dan meminta maaf. Itu dianggap lambang kelemahan.

Elite Politik Memang Benci Meminta Maaf
Ilustrasi error 404. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - "Saya secara tulus ingin mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Joko Widodo atas kejadian ini, terutama permohonan maaf akibat kelalaian tidak melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap kinerja jajaran di bawah saya sehingga harus berurusan dengan hukum.”

Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial, ternyata merasa lebih harus meminta maaf kepada Presiden dan partai dibanding kepada rakyat karena terbukti korupsi dana bantuan sosial. Memang Juliari bertanggung jawab kepada Jokowi, tapi Jokowi, sejauh ini, juga tidak pernah meminta maaf karena ulah bawahannya.

Memang lebih sulit mencari pejabat yang mau mengakui kesalahan daripada menemukan yang bungkam atau merasa tidak bersalah dengan berbagai perbuatan dan kebijakannya. Padahal banyak sekali berbagai kebijakan yang keliru, yang itu berdampak langsung bagi masyarakat.

Misalnya penanganan pandemi Covid-19. Pada masa awal pandemi pemerintah malah memberikan diskon pariwisata saat negara lain melarang penerbangan luar negeri atau dalam negeri. Kasus positif yang berujung kematian juga semakin bertambah tiap hari.

Kasus terakhir soal kebocoran data yang mengemuka kembali setelah di media sosial beredar sertifikat vaksinasi milik Jokowi. Jika data seorang presiden saja bisa bocor, bagaimana nasib warga biasa?

Data itu diduga bocor dari Peduli Lindungi, sebuah aplikasi yang resmi digunakan pemerintah untuk pelacakan kontak Covid-19. Untuk urusan pengamanan data, pembuatan aplikasi ini menggandeng Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), yang salah satu petingginya adalah Dharma Pongrekun, orang yang percaya gawai bisa merusak sel tubuh manusia.

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengatakan sejak awal aplikasi di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) itu memang bermasalah dalam perlindungan privasi. Namun Menkominfo Johnny G. Plate menyanggah dugaan itu. Dia meyakinkan publik bahwa data yang ada di aplikasi Peduli Lindungi masih aman.

Meskin Johnny tidak membeberkan dari mana sertifikat itu bocor, tapi dia mengaku Kemenkominfo telah melakukan pengetatan keamanan dengan memindahkan sistem Peduli Lindungi ke Pusat Data Nasional (PDN).

Indonesia belum punya aturan hukum yang melindungi data pribadi penduduk. Sampai sekarang UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) belum selesai dibahas. Jadi, andaikan data itu bocor pun, warga tidak punya dasar hukum untuk mendapatkan ganti rugi atau setidaknya menuntut tanggung jawab pemerintah.

Mengapa Sulit Mengaku Salah?

Sulitnya politikus mengatakan kalimat sederhana seperti “maaf, saya memang salah” atau sejenisnya terjadi di banyak tempat.

Analis politik dari Kanada, Graham Steele, mengatakan “tidak pernah meminta maaf; tidak pernah menjelaskan” adalah satu kesamaan strategi para politikus agar bisa bertahan di dunia politik. Menurut Steele, hal ini terjadi karena politikus tidak suka terlihat lemah, dan permintaan maaf dianggap sebagai kesalahan dan memalukan dan itu membuat mereka tampak lemah.

Jika misalnya berbuat salah, bukannya membenahinya, pemerintah dan partai pendukung justru terbiasa menciptakan citra baru untuk politikus bermasalah agar tidak mendapatkan penilaian buruk dari publik, katanya.

Profesor Ilmu Politik dan Kebijakan Publik Universitas Southampton Will Jennings memaparkan tingkah laku politikus ketika ada kesalahan, terdiri dari beberapa tahapan yang dia simpulkan sebagai “staged retreat”.

Pertama, mereka akan menyangkal masalah tersebut. Kedua, jika tidak bisa dihindari, maka mereka akan mengaku memang ada masalah, tapi bukan berarti kesalahan itu menjadi tanggung jawab mereka. Ketiga, mencari orang atau organisasi untuk menjadi kambing hitam dari kesalahan tersebut.

Jennings menganggap politikus ini sudah paham sering kali maaf tidak cukup untuk menyelesaikan masalah atau memulihkan kepercayaan publik. Ada peristiwa ketika permintaan maaf justru akhirnya menjadi bahan hujatan di media sosial.

Tapi bukan berarti meminta maaf itu dihindari sama sekali oleh para politikus. Kontributor New Statesman Rachel Cordery mengatakan permintaan maaf dalam politik adalah sebuah “seni”. Ia diucapkan pada saat yang tepat dalam konteks tertentu yang menguntungkan, sebab permintaan maaf bisa menghasilkan rasa hormat tapi juga bisa jadi bumerang yang justru membuat situasi kian buruk.

Hal serupa disampaikan oleh Cass R. Sunstein dalam tulisan untuk New York Times berjudul In Politics, Apologies Are for Losers. Menurutnya permintaan maaf dari politikus bukanlah salah satu upaya untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tapi demi kepentingan elektoral semata: terpilih lagi di periode mendatang. Dengan alasan tersebut, meminta maaf tentu adalah strategi yang berisiko.

Sunstein melakukan survei kecil-kecilan yang melibatkan 300 orang tentang berhasil atau tidaknya permintaan maaf dari pejabat menaikkan tingkat elektoral mereka. Hasilnya, dalam beberapa isu, orang cenderung tidak lagi memberikan dukungan. Sunstein mengatakan kegagalan permintaan maaf mendorong efek elektoral tak lain karena masyarakat justru menjadi kian yakin atas dosa elite politik dan memilih untuk mencari kandidat lain.

Karena itu semua Sunstein berpendapat, “permintaan maaf bukanlah ide tepat [untuk politik]. Kadang lebih bijak bagi pejabat publik untuk diam [ketika salah]–atau mengganti subjek pembicaraan.”

Sulitnya meminta maaf diperparah dengan, mengutip pandangan Economist, kecenderungan bahwa kelompok elite memang tidak begitu memikirkan matang-matang keputusan mereka benar atau salah. Mereka cenderung membantu kelompoknya saja. Martin Gilens dan Benjamin I. Page juga menyatakan bahwa dalam demokrasi belum tentu mayoritas yang kepentingannya didahulukan. Mereka berpandangan, “elite ekonomi dan kelompok kepentingan lain punya peran besar dalam memengaruhi kebijakan publik, tapi masyarakat umum justru hanya punya pengaruh kecil atau tidak sama sekali.”

Dengan kata lain, mengutip judul artikel Vox, “politikus itu mendengarkan orang kaya, bukan kamu!”

Infografik Jokowi Tidak Mau Minta Maaf

Infografik Jokowi Tidak Mau Minta Maaf. tirto.id/Lugas

Komentar, opini, dan argumen para penulis luar tersebut membuat kita semakin tidak heran mengapa elite politik Indonesia sulit meminta maaf. Jangankan soal kasus kebocoran data atau penanganan pandemi, terhadap masalah lain yang skalanya lebih besar seperti dosa kemanusiaan terhadap Timor Leste saja tidak.

Tentara Indonesia terbukti ikut dalam aksi bumi hangus di Timor Leste, tapi sampai sekarang tidak ada permintaan maaf dari pemerintah.

Ada pula pembantaian massal pasca-G30S. Luhut Binsar Panjaitan yang menjabat Menkopolhukam 2015-2016 sempat mengatakan negara tak perlu meminta maaf.

Ia juga menerapkan strategi seperti yang Sunstein paparkan: mengalihkan pembicaraan. Dalih yang dipakai pemerintah adalah alasan moral dan kultural, seperti memakai penyelesaian non-yudisial agar “tidak saling menyalahkan.”

Sampai hari ini, penyelesaian yang dimaksud tak jelas juga rimbanya.

Baca juga artikel terkait POLITIKUS atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino