tirto.id - Koalisi masyarakat sipil menyayangkan penetapan tersangka terhadap Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti. Keduanya resmi sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Wahyu Perdana mengatakan persoalan yang muncul bukanlah terkait Fatia dan Haris yang menjadi tersangka, melainkan hasil riset yang dikriminalisasikan oleh pejabat pemerintah.
“Seharusnya ini bukan menjadi persoalan Fatia dan Haris saja, ini preseden untuk demokrasi Indonesia. Kalau saja setiap orang atau institusi yang mengutip hasil riset kami dikriminalkan, maka ruang kritis, bahkan dalam pendekatan akademis sekalipun, punya keterancaman serius,” kata Wahyu Perdana, di kantor Kontras, Jakarta, Rabu (23/3/2022).
Pada saat yang sama publik dihadapkan dengan persoalan lingkungan hidup cum hak asasi manusia yang tidak kunjung selesai. Dalam konteks tujuan, studi itu ingin membuka relasi ekonomi-politik, khususnya terkait pejabat publik.
“Kenapa itu penting? Publik berhak tahu apakah pejabat publik punya korelasi bisnis, sehingga bisa dimungkinkan ada konflik kepentingan,” kata Wahyu.
Hal penting berikutnya yakni jika ada pejabat publik yang jelas melanggar HAM atau kerusakan lingkungan hidup, maka pertanggungjawabannya lebih gamblang.
Kasus Haris, Fatia, dan Luhut ini bermula pada Agustus 2021. Kala itu Fatia tampil dalam akun Youtube Haris Azhar yang berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada!! " Kuasa hukum Luhut menyomasi Fatia dalam tempo 5x24 jam sejak surat tersebut diterbitkan.
Hal ini juga berkaitan dengan temuan koalisi masyarakat sipil perihal indikasi kepentingan ekonomi dalam serangkaian operasi militer ilegal di Intan Jaya, Papua.
Riset yang diluncurkan oleh Walhi Eknas, Jatam Nasional, YLBHI, Yayasan Pusaka, LBH Papua, WALHI Papua, Kontras, Greenpeace, Bersihkan Indonesia dan Trend Asia mengkaji keterkaitan operasi militer ilegal di Papua dan industri ekstraktif tambang dengan menggunakan kacamata ekonomi-politik.
Dalam kajian koalisi ada empat perusahaan di Intan Jaya yang teridentifikasi dalam laporan ini yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata'ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan PT Kotabara Mitratama (IU Pertambangan).
Dua dari empat perusahaan itu yakni PT Freeport Indonesia dan PT Madinah Qurrata'ain adalah konsesi tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer/polisi termasuk dengan Luhut.
Kemudian, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Franky Samperante berujar perihal riset yang mereka buat, laporan ini bukan ‘kaleng-kaleng’.
“Laporan ini ingin mendokumentasikan realitas yang terjadi di Intan Jaya,” kata dia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto