tirto.id - Salah satu isu yang dipermasalahkan dalam UU Cipta Kerja, disahkan Senin (5/10/2020) lalu, adalah pendidikan. Pasal-pasal di dalamnya dikhawatirkan menghasilkan komersialisasi pendidikan.
Dalam konferensi pers Rabu (7/10/2020), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan “pendidikan di-drop dalam pembahasan sehingga perizinan pendidikan tidak diatur di dalam UU Cipta Kerja.”
Apa yang Airlangga maksud sebelumnya terdapat dalam Pasal 65 Paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan halaman 392 (versi--yang disebut-sebut--5 Oktober) yang berbunyi (1): Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini; (2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Evy Mulyani mengonfirmasi serupa. “Pemerintah dan DPR RI telah sepakat mencabut klaster pendidikan dari RUU Cipta Kerja pada 24 September 2020,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu malam.
Namun, tak jelas legislatif mana yang dimaksud sebab Komisi X DPR RI Fraksi PKB Syaiful Huda mengatakan sebaliknya. Ruang lingkup Komisi X tak lain pendidikan, termasuk olahraga serta pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Saya baru tahu tadi malam (Senin 5 Oktober), bahwa masih ada pasal yang terkait dengan pendidikan. Ini di luar dugaan kita juga sebenarnya,” kata Huda.
Wakil Ketua Baleg DPR Fraksi PPP Achmad Baidowi mengatakan bahwa secara umum klaster pendidikan sudah dikeluarkan dalam UU Cipta Kerja, tapi tidak dengan pasal 65--artinya berbeda dengan pernyataan Menko Airlangga. Menurutnya, pasal 65 dimasukkan hanya untuk menjembatani pendirian lembaga pendidikan di kawasan ekonomi khusus (KEK) yang mendapatkan izin pemerintah pusat.
“Kita tahu semua, kawasan KEK itu bicara bisnis dan ekonomi; orang punya duit, orang kaya di situ. Komersialisasi pasti ada di situ. Makanya kami gunakan klausul itu,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (8/10/2020).
Pasal 65 akan menjadi panduan para lembaga pendidikan untuk membangun bisnis lembaga sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. “Kalau mereka bikin lembaga pendidikan di KEK, pasti kelas elite dan standarnya tinggi.”
Ia bilang pasal tersebut bersifat tidak wajib lantaran “ada kata ‘dapat’ (merujuk pasal 65 ayat 1), boleh menggunakan dan boleh tidak menggunakan.”
Memperluas Kesenjangan
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai kehadiran pasal 65 hanya akan memperluas kesenjangan pendidikan.
“KEK bukan kawasan yang mati. tapi bisa berkembang ke mana-mana. Dengan begitu potensi kesenjangan dan ketidakadilan akan meluas ke semua daerah. Ini berbahaya,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis.
Ia berkaca pada skema Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang membuat pendidikan tidak dapat dijangkau semua kalangan. Status RSBI sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2013.
Ketika itu MK memang mengatakan “penggolongan kasta dalam sekolah seperti SBI, RSBI, dan Sekolah Reguler itu diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi.” Disebutkan pula bahwa “hanya siswa dari keluarga kaya atau mampu yang mendapatkan kesempatan sekolah di RSBI atau SBI yang merupakan sekolah kaya atau elite. Sedangkan siswa dari keluarga sederhana atau tidak mampu hanya memiliki kesempatan diterima di sekolah umum.”
Ia mendesak agar legislatif dan pemerintah memperbaiki kualitas dan kuantitas sekolah negeri, agar bisa semakin kompatibel dengan zaman dan daya tampung. Dengan demikian kesempatan untuk peserta didik mengenyam pendidikan inklusif yang berkualitas dan berkeadilan selama 12 tahun menjadi terwujud.
“Pendidikan itu hak dasar warga negara yang harus dibiayai negara. Bukan malah diserahkan ke swasta dan berdaulat dengan pasar,” ujarnya.
Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian, domain yang tidak dicakup pasal 65 akan tetap mengikuti ketentuan lama--khususnya dalam hal perizinan pendirian satuan pendidikan, yaitu: UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Bidang pendidikan tetap berprinsip nirlaba, mekanisme perizinan pendirian satuan pendidikan tidak akan disamakan dengan mekanisme perizinan pendirian bidang usaha lainnya yang berprinsip laba,” ujarnya kepada reporter Tirto Kamis. “Dengan catatan para stakeholder pendidikan atau perwakilannya bisa turut andil dalam penyusunan peraturan pemerintah sesuai amanat pasal 65 ayat 2.”
Bagi Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, kualitas pendidikan tidak semestinya diukur dengan seberapa mahal sekolah. Pasal itu tetap saja menurutnya akan meniadakan sekolah yang inklusif dan berkeadilan.
“Idealnya pendidikan harus lepas dari pengaruh seberapa besar investasi yang masuk serta seberapa untung yang didapat,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino