tirto.id - Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengaku bingung mengapa klaster pendidikan tetap ada dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja. Memang sebelumnya, Kamis (24/9/2020), Baleg DPR dan Kemendikbud mengaku telah mencabut klaster pendidikan dari RUU Cipta Kerja.
"Ini diluar dugaan, karena perkembangan terakhir klaster pendidikan dikeluarkan dari RUU tersebut," ujar ketua komisi di bidang pendidikan itu, kemarin.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menolak adanya klaster pendidikan pada UU Ciptaker. Dia berharap pemangku kepentingan pendidikan menggunakan haknya ke Mahkamah Konstitusi.
"Kami dorong untuk menggunakan hak konstitusinya melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi," imbuh dia.
Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, mengaku kecewa dengan adanya klaster pendidikan di UU tersebut. Menurutnya hal itu memberi jalan luas kepada praktik komersialisasi pendidikan.
"Awalnya informasi tentang dicabutnya klaster pendidikan di dalam RUU Ciptaker menjadi kabar baik bagi dunia pendidikan, sebab kekhawatiran para pegiat pendidikan tak akan nyata, bahwa pendidikan makin dikomersialisasikan melalui UU ini," kata Satriwan.
Dengan kata lain, kata dia, UU Ciptaker menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan. Hal itu jelas tampak dalam pasal 26 yang memasukkan entitas pendidikan sebagai sebuah kegiatan usaha, kemudian pasal 65 menjelaskan pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha.
"Kemudian ayat duanya mengatakan ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Artinya, pemerintah dapat saja suatu hari nanti, mengeluarkan kebijakan perizinan usaha pendidikan yang nyata-nyata bermuatan kapitalisasi pendidikan, sebab sudah ada payung hukumnya," ujarnya.
Editor: Dieqy Hasbi Widhana