tirto.id - Pemerintah Indonesia terus menggencarkan program vaksinasi COVID-19 untuk seluruh lapisan masyarakat dalam rangka membentuk kekebalan komunal terhadap ancaman virus corona.
Menurut data terkini dari Satgas COVID-19, hingga Senin, (8/11) angka jumlah vaksinasi COVID-19 di Indonesia telah mencapai 125,394,487 orang yang mendapatkan dosis pertama dan 79,212,475 lainnya telah menyelesaikan dosis lengkap vaksin COVID-19.
Hingga kini, masih banyak mitos yang beredar di masyarakat terkait keamanan dan efek samping vaksin COVID-19 yang digunakan. Namun, berdasarkan penelitian dan riset terbaru yang telah dilakukan, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebut vaksin COVID-19 aman dilakukan. Hanya saja, efek samping mungkin akan timbul terhadap sebagian orang.
“Beberapa orang tidak memiliki efek samping. Banyak orang telah melaporkan efek samping yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari, tetapi mereka akan hilang dalam beberapa hari,” demikian pernyataan CDC dikutip laman resminya.
Meski mungkin menimbulkan efek samping, akan tetapi CDC merekomendasikan semua orang berusia 12 tahun ke atas untuk mendapatkan vaksinasi sesegera mungkin guna membantu melindungi diri dari COVID-19 dan komplikasi terkait yang berpotensi parah yang dapat terjadi.
CDC bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration/FDA), serta lembaga terkait lainnya terus memantau keamanan vaksin COVID-19.
Efek samping yang mungkin terjadi telah dilaporkan ke bagian eksternal Sistem Pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan Vaksin (Vaccine Adverse Event Reporting System/VAERS). VAERS menerima laporan tentang efek samping apapun setelah vaksinasi apa pun.
“Laporan efek samping kepada VAERS setelah vaksinasi, termasuk kematian, tidak selalu berarti bahwa vaksin menyebabkan masalah kesehatan. Efek samping yang serius setelah vaksinasi COVID-19 jarang terjadi tetapi dapat terjadi,” ungkap CDC.
Oleh karenanya, untuk kesadaran publik dan demi kepentingan transparansi, CDC memberikan informasi terbaru tentang kejadian buruk yang mungkin terjadi.
1. Anafilaksis
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi berat yang terjadi secara tiba-tiba dan dapat menyebabkan kematian. Beberapa gejala diantaranya ruam gatal, pembengkakan tenggorokan, dispnea, muntah, kepala terasa ringan, dan tekanan darah rendah.
Anafilaksis setelah vaksinasi COVID-19 jarang terjadi. Namun ada kasus yang terjadi di Amerika Serikat bahwa terjadi pada sekitar 2-5 orang per satu juta yang divaksinasi.
Reaksi alergi yang parah, termasuk anafilaksis, dapat terjadi setelah vaksinasi apa pun. Jika ini terjadi, penyedia vaksinasi dapat secara efektif dan segera mengobati reaksi tersebut.
2. Trombosis dengan sindrom trombositopenia (TTS)
Trombosis dengan TTS setelah vaksinasi Johnson & Johnson Janssen (J&J/Janssen) COVID-19 jarang terjadi. Per 13 Oktober 2021, lebih dari 15,2 juta dosis Vaksin J&J/Janssen COVID-19 telah diberikan di Amerika Serikat.
CDC dan FDA mengidentifikasi 47 laporan yang dikonfirmasi tentang orang-orang yang mendapatkan Vaksin J&J/Janssen COVID-19 dan kemudian mengembangkan TTS. Wanita berusia 50 tahun ke bawah harus waspada terhadap risiko ini meski jarang ditemukan.
Hingga saat ini, dua kasus TTS yang dikonfirmasi setelah vaksinasi mRNA COVID-19 (Moderna) telah dilaporkan ke VAERS setelah lebih dari 388 juta dosis vaksin mRNA COVID-19 diberikan di Amerika Serikat. Berdasarkan data yang tersedia, tidak ada peningkatan risiko TTS setelah vaksinasi mRNA COVID-19.
3. Guillain-Barre Syndrome (GBS)
CDC dan FDA sedang memantau laporan Guillain-Barre Syndrome (GBS) pada orang yang telah menerima Vaksin J&J/Janssen COVID-19. GBS adalah kelainan langka di mana sistem kekebalan tubuh merusak sel-sel saraf, menyebabkan kelemahan otot dan terkadang kelumpuhan.
Kebanyakan orang pulih sepenuhnya dari GBS, tetapi beberapa mengalami kerusakan saraf permanen. Setelah lebih dari 15,2 juta dosis Vaksin J&J/Janssen COVID-19 diberikan, ada sekitar 233 laporan awal GBS yang diidentifikasi di VAERS per 13 Oktober 2021.
Kasus-kasus ini sebagian besar telah dilaporkan sekitar 2 minggu setelah vaksinasi dan sebagian besar pada pria, berusia 50 tahun ke atas. CDC akan terus memantau dan mengevaluasi laporan GBS yang terjadi setelah vaksinasi COVID-19 dan akan mengupdate informasi terbaru.
4. Miokarditis dan perikarditis
Miokarditis atau peradangan dinding otot jantung dan perikarditis atau peradangan dari perikardium setelah vaksinasi COVID-19 jarang terjadi. Hingga 13 Oktober 2021, VAERS telah menerima 1.638 laporan miokarditis dan perikarditis di antara orang berusia 30 tahun ke bawah yang menerima vaksin COVID-19.
Sebagian besar kasus telah dilaporkan setelah vaksinasi mRNA COVID-19 (Pfizer-BioNTech atau Moderna), terutama pada remaja pria dan dewasa muda. Melalui tindak lanjut, termasuk tinjauan rekam medis, CDC dan FDA telah mengkonfirmasi 945 laporan tentang miokarditis atau pericarditis dan kini sedang menyelidiki laporan ini untuk menilai apakah ada hubungan dengan vaksinasi COVID-19.
5. Laporan kematian setelah vaksinasi COVID-19 jarang terjadi. Lebih dari 408 juta dosis vaksin COVID-19 diberikan di Amerika Serikat dari 14 Desember 2020 hingga 18 Oktober 2021.
Selama waktu tersebut, VAERS menerima 8.878 laporan kematian (0,0022%) di antara orang-orang yang menerima COVID-19 vaksin. FDA mewajibkan penyedia layanan kesehatan untuk melaporkan kematian apapun setelah vaksinasi COVID-19 kepada VAERS, meskipun tidak jelas apakah vaksin itu penyebabnya. Laporan efek samping kepada VAERS setelah vaksinasi, termasuk kematian, tidak selalu berarti bahwa vaksin menyebabkan masalah kesehatan.
“Tinjauan informasi klinis yang tersedia, termasuk bukti kematian, autopsi, dan catatan medis, belum menetapkan hubungan sebab akibat dengan vaksin COVID-19. Namun, laporan terbaru menunjukkan hubungan kausal yang masuk akal antara Vaksin J&J/Janssen COVID-19 dan TTS, efek samping yang jarang dan serius seperti pembekuan darah dengan trombosit rendah yang telah menyebabkan kematian,” demikian dilansir CDC.
Di Indonesia, hingga saat ini tidak ada kasus meninggal dunia akibat COVID-19. Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) Prof Hindra Irawan Satari menegaskan sampai saat ini tidak ada yang meninggal karena vaksinasi COVID-19.
Sempat beredar kabar bahwa sebanyak 30 orang meninggal dunia setelah melakukan vaksin COVID-19.
Prof Hindra menjelaskan ada 27 kasus kematian diduga akibat vaksinasi dengan Sinovac. Namun setelah investigasi, kematian tersebut tidak terkait dengan vaksinasi. Investigasi meliputi data pemeriksaan, perawatan, rontgen, hasil laboratorium, dan CT Scan.
“10 kasus akibat terinfeksi COVID-19, 14 orang karena penyakit jantung dan pembuluh darah, 1 orang karena gangguan fungsi ginjal secara mendadak dan 2 orang karena diabetes mellitus dan hipertensi tidak terkontrol,” jelasnya.
Sementara yang meninggal diduga akibat vaksinasi AstraZeneca ada 3 kasus. Namun juga tidak diakibatkan oleh vaksinasi melainkan karena penyakit lain.
Editor: Iswara N Raditya