tirto.id - Ketika teori baru muncul, teori lama berguguran. Begitulah sains bekerja. Di bidang epidemiologi,para peneliti di dunia terus memperbaharui dugaan-dugaan asal-muasal penyakit baru dengan pembuktian ilmiah. Yang terbaru dari bidang ini adalah penelitian terkait asal-usul virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan pandemi COVID-19.
Mulanya, dunia menyakini pandemi COVID-19—sekarang sudah merenggut nyawa lebih dari lima juta orang—bermula dari kasus seorang akuntan laki-laki berusia 41 tahun di Wuhan, Cina.Rumah lelaki itu berjarak 30 kilometer dari pasar boga bahari Huanan. Karenanya, Pasar Huanan kemudian ditengarai kuat menjadi titik awal penyebaran SARS-CoV-2.
Kemungkinan ini sempat diragukan oleh tim investigasi dari WHO pada Februari 2021 lalu. Pasalnya, ada pula penyebaran individual yang tidak terkait dengan pasar itu. Namun, penelitian terbaru yang dilakukan oleh pakar ekologi dan biologi evolusioner dari University of Arizona Michael Worobey kembali mengarahkan dugaan ke Pasar Huanan.
Dalam studi bertajuk “Dissecting the Early COVID-19 Cases in Wuhan” yang diterbitkan oleh jurnal Science, Worobey menyebut akuntan itu memang teridentifikasi menderita penyakit yang kemudian disebut COVID-19. Namun, dia sebenarnya bukanlah yang pertama. Dia bahkan tak pernah pergi ke Pasar Huanan.
Begini kronologinya: Dia awalnya diduga terinfeksi SARS-CoV-2 pada 8 Desember 2019, lalu gejalanya muncul pada 16 Desember 2019.
Setelah ditelusuri ulang, catatan rumah sakit menunjukkan bahwa gejala sakit pada 8 Desember itu tidak terkait dengan COVID-19, melainkan masalah gigi. Pria tersebut mengalami masalah pada gigi susunya yang tertinggal sampai dewasa.
Sementara itu, pada 11 Desember, seorang perempuan yang bekerja di Pasar Huanan melaporkan dirinya jatuh sakit. Dia mengalami demam dan beberapa gejala lain yang terkait dengan infeksi virus baru yang belum diketahui. Beberapa pekerja di pasar yang sama juga dilaporkan mengalami gejala serupa.
Pada 16 Desember, akuntan tersebut mulai mengalami gejala demam dan akhirnya dirawat pada 22 Desember. Lini masa perjalanan penyakitnya itu menguatkan dugaan bahwa si akuntan terinfeksi ketika COVID-19 sudah menyebar di Pasar Huanan.
“Kronologi ini menunjukkan bahwa akuntan itu terinfeksi melalui penularan komunitas setelah virus mulai menyebar dari Pasar Huanan. Dia kemungkinan terinfeksi di rumah sakit selama keadaan darurat gigi atau di kereta bawah tanah selama perjalanan ke utara Pasar Huanan, sesaat sebelum gejala (COVID-19) muncul,” demikian tulis Worobey.
Studi Worobey tersebut sekaligus menguatkan dugaan bahwa COVID-19 merupakan virus yang berasal dari hewan di Pasar Huanan.
Worobey juga menganalisis kasus di dua rumah sakit pada periode sebelum otoritas kesehatan di Wuhan merilis peringatan infeksi virus baru. Hasilnya, setengah dari kasus awal memiliki keterkaitan dengan pasar basah seluas lapangan sepak bola tersebut—meskipun secara geografis ada pula kasus yang tak terpusat di sana.
Mencari Hasil Akhir
Sampai sekarang ada banyak teori—juga konspirasi—yang menyelimuti asal-usul virus SARS-CoV-2. Masyarakat dunia dan bahkan para peneliti terpecah-pecah pendapatnya. Dugaan terkuat masih menyasar pada infeksi virus dari hewan ke manusia (zoonosis) dari Pasar Huanan.
Teori lain yang tak kalah populer menyebut virus penyebab COVID-19 itu bocor dari laboratorium.
Hingga terbitnya penelitian terakhir oleh Worobey kemarin, hipotesis-hipotesis deduktif tetap mengarah ke penyebaran zoonosis. Namun, manusia butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa menarik silogisme terakhir tentang asal-usul sebuah penyakit baru. Bahkan, upaya-upaya tersebut terkadang tak mencapai kesimpulan konklusif.
Coba saja kita lihat dari upaya penelusuran penyakit menular sebelumnya. Misalnya, wabah SARS yang pertama kali terdeteksi pada awal Februari 2003. Butuh waktu hingga hampir 15 tahun lamanya—ketika penyakit ini sudah menewaskan sekitar 800 orang—sampai asal-muasal virus bisa dikonfirmasi berasal dari kelelawar.
Contoh lain adalahvirus human immunodeficiency (HIV) yang menyebabkan AIDS. Virus ini mulai terdeteksi di awal dekade 1980-an, saat kasus pneumonia dan kanker langka juga tengah merebak di komunitas queer dan pengguna narkoba suntik. Kala itu, dunia menyebut penyakit ini sebagai Gay-Related Immune Deficiency (GRID).
Menjelang akhir dekade 1980-an, penyakit ini mulai menjadi perhatian global dan dilaporkan sudah menginfeksi sekitar 76 juta orang. Julukannya pun berubah menjadi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).
Butuh waktu hingga hampir tiga dasawarsa melewati penelitian yang melelahkan, hingga asal-muasal HIV mulai mendapat titik terang sekitar pertengahan 2000-an. Peneliti cukup yakin bahwa infeksi virus HIV terkait dengan perburuan simpanse liar.
Namun, dugaan kasus “nol pasien” HIV masih berubah-ubah sampai awal tahun 2021 kemarin.
Jacques Pepin, epidemiolog dari Université de Sherbrooke di Kanada, dalam edisi pertama bukunya Origin of AIDS (2011) menyimpulkan HIV mungkin pertama kali menginfeksi pemburu di Kamerun pada awal abad ke-20. Virus kemudian menyebar ke Léopoldville yang sekarang dikenal sebagai Kinshasa di Kongo.
Namun, Pepin mengoreksi pernyataannya dalam wawancara khusus dengan Daily Mail. Dia mengungkap bahwa kasus awal bermula di sekitar Perang Dunia Pertama (1916), kala sejumlah tentara Sekutu terjebak di hutan sekitar Moloundou, Kamerun.
Mereka terpaksa berburu simpanse sebagai santapan untuk bertahan hidup. Saat menyembelih, virus HIV dalam darah simpanse menginfeksi salah satu tentara melalui luka terbuka yang dideritanya. Kolonialisme, kelaparan, dan prostitusi kemudian turut membantu menciptakan epidemi AIDS yang sampai sekarang masih terjadi
Seperti dikutip Daily Mail, Profesor Pepin percaya bahwa, “Sekali virus ini menginfeksi populasi manusia, ia menyebar secara perlahan pada awalnya, terbatas di ibu kota koloni Belgia.”
Dia juga memperkirakan bahwa satu kasus penularan zoonosis pada 1916 itu menyebabkan sekitar 500 kasus infeksi pada awal 1950-an.
Jika SARS dan HIV saja butuh waktu sekian lama untuk menemukan jawaban, studiWorobey atas asal-usul COVID-19 sangat mungkin bukanlah penelitian yang terakhir.
Apa Perlunya Mencari Asal Usul Penyakit?
Pada Mei 2021 lalu, sebanyak 18 ilmuwan terkemuka menulis surat di majalah Science untuk mendorong penyelidikan lanjutan tentang asal-muasal COVID-19. Mereka meminta penyelidikan dilakukan dengan transparan, objektif, berkiblat pada data, dan tunduk pada pengawasan independen.
“Kita harus merespon serius hipotesis tentang penyebaran (virus) secara alami (zoonozis) atau (kebocoran) laboratorium sampai ada data yang cukup,” tulis mereka.
Sampai di sini Anda mungkin akan berpikir, mengapa para peneliti begitu kukuh menyelidiki muasal patogen pada penyakit baru?
Pemikiran deduktif para peneliti yang tertuang dalam surat tersebut menyebut urgensinya berfungsi untuk mencegah pandemi di masa depan.
Apabila data sains yang cukup untuk menyimpulkan bahwa virus berasal dari hewan telah terkumpul, dunia dapat merancang pedoman perilaku untuk meminimalisasikontak dengan virus di masa depan dan meningkatkan pengawasan infeksi zoonosis.
Sebaliknya, jika memang virus itu terbukti bocor dari laboratorium, dunia bisa mengambil langkah perbaikan keamanan dalam aturan laboratorium.
Dari sisi sosial, memastikan asal-usul virus dapat mengugurkan stereotipe, asumsi, dan sentimen rasial. Sejak Trump berspekulasi bahwa ilmuwan Cina adalah biang keladi pandemi COVID-19, gelombang rasialisme anti-Asia turut meningkat dan kemudian berujung pada ratusan tindakan kekerasan di Amerika.
Teori lain mengemukakan simulasi virus corona masuk lewat ekspedisi daging beku. Jika benar demikian, langkah perbaikan tentu harus diambil untuk memastikan keamanan perdagangan internasional, transportasi makanan, dan perusahaan komersial lain.
Selain SARS-CoV-2, ada lebih banyak virus yang belum diketahui manusia di dunia. Menemukan jawaban soal asal-usul penyakit baru dapat membantu dunia mencegah situasi serupa terjadi lagi di masa mendatang atau paling tidak meminimalisasi dampaknya.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi