tirto.id - Pusat Dialog Internasional (KAICIID) dan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menggelar pelatihan peningkatan kapasitas bina damai, resolusi konflik, dan dialog antaragama. Kegiatan ini mempertemukan para fellow KAICIID dari delapan negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan latar belakang agama yang beragam.
Direktur CRCS UGM, Samsul Maarif mengatakan, CRCS UGM sebagai lembaga pendidikan S2, riset dan pelatihan, menyambut baik kegiatan pelatihan ini. Di pelatihan ini, CRCS berkontribusi pada pengayaan pengetahuan terkait teori dan praktik dialog antaragama, bina damai dan advokasi bagi kelompok rentan di Indonesia.
“Melalui kerja sama ini, CRCS UGM belajar dan berharap untuk berpartispasi aktif dalam membangun jembatan damai di tingkat global,” kata Samsul dalam keterangan pers yang diterima Tirto, Jumat (29/7/2022).
International Fellows Program adalah program pelatihan satu tahun yang bertujuan membekali, menginspirasi dan memberdayakan para pemimpin dan pendidik, termasuk pemimpin komunitas agama dan pengkaji dialog antaragama. Program ini menyatukan para pemimpin dan pendidik dari seluruh penjuru dunia dan latar belakang agama yang berbeda untuk pelatihan dalam fasilitasi dialog, pencegahan konflik, komunikasi antar budaya serta promosi kohesi sosial.
Sejak program ini diluncurkan, KAICIID telah melatih lebih dari 400 Fellows dari total 74 negara yang berbeda. Para fellow yang saat ini berkumpul di Yogyakarta, berasal dari Indonesia, Pakistan, Filipina, Thailand, Singapura, Bangladesh dan Malaysia. Mereka dikelompokkan ke dalam program fellow dari Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Selain program fellow Asia Selatan dan Asia Tenggara tersebut, KAICIID juga menyelenggarakan pelatihan tingkat internasional maupun tingkat regional seperti pelatihan untuk regional Arab, Afrika, Eropa, Asia Selatan, serta Amerika Latin.
Samsul mengatakan, secara tematis pengembangan kapasitas dalam pelatihan ini difokuskan pada sejumlah hal, antara lain: Pertama, pembangunan perdamaian dan resolusi konflik. Kedua, teori dan praktik dialog antaragama. Ketiga, peran pemimpin agama dan organisasi berbasis agama dalam pembangunan perdamaian.
Mike Waltner yang menjadi fasilitator sekaligus Manajer Program Senior Wilayah Asia KAICIID, menjelaskan “Yogyakarta benar-benar tempat yang istimewa. Hanya sedikit dari kota-kota di dunia yang memiliki keragaman agama dan budaya seperti Yogyakarta.”
Ia menambahkan, “Kota ini juga memiliki kekayaan historis dan agama-agama serta budaya yang sangat beragam. Lebih dari itu daerah yang asri ini juga kaya dengan kearifan lokal dari para berbagai paguyuban penghayat kepercayaan.”
Mike juga mengungkapkan kesannya bahwa, para fellow tampak sangat menghargai kehangatan dan keramahan para pemimpin lokal serta dinamisme dan kecerdasan inisiatif antaragama dan antarbudaya di sini. “Ini adalah lingkungan yang sempurna untuk belajar tentang dialog dan perjumpaan antaragama,” kata dia.
Selama pelatihan di Yogyakarta, para peserta mengunjungi beberapa tempat di dalam dan di luar Yogyakarta, termasuk Candi Borobudur yang terkenal sebagai situs warisan dunia UNESCO, Vihara Mendut, Pondok Pesantren Pabelan dan Komunitas 5 Gunung di Magelang. Mereka juga mengunjungi Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Yogyakarta.
Sementara itu, Staf Bidang Komunikasi ASEAN Institute for Peace & Reconciliation (AIPR), Rif'at S. Fachir mengatakan, pelatihan ini merupakan pengalaman pertama yang ia ikuti secara langsung. Sebelumnya ia hanya mengikutinya secara daring.
“Dialog antaragama dan antarbudaya adalah elemen yang tak terpisahkan dari pembangunan perdamaian. Bagi saya, pelajaran penting dari pelatihan ini adalah bagaimana kita belajar untuk mendengarkan, memahami dan menghargai perbedaana agama dan budaya di masyarakat yang beragam ini. Dialog adalah proses yang berkelanjutan,” kata dia.
Kannaporn Pam Akarapisan, seorang fellow dari Thailand yang memperkenalkan dirinya sebagai muslimah yang bekerja di lingkungan yang hampir semuanya beragama Buddha mengatakan, kegiatan ini membuka matanya tentang keberagaman.
“Mengikuti program ini, termasuk sesi-sesi dan kunjungan lapangan di dalamnya, benar-benar membuka mata saya tentang perbedaan agama dan budaya yang sangat kompleks,” kata dia.
Direktur Southeast Asian Studies Center, Payap University Chiangmai ini juga menyebutkan, “Meski saya ingin tinggal di Yogyakarta yang indah ini lebih lama, tetapi saya ingin cepat pulang ke Chiangmai agar bisa melakukan banyak hal seperti orang-orang di sini lakukan bagi masyarakat.”
Sementara itu, Father Asher, seorang Pastor dari Gereja Katholik Anglikan Pakistan, menyatakan, “Di dunia dengan persaingan ekonomi yang pesat dewasa ini, kita melupakan nilai dialog. Dari pelatihan ini saya banyak belajar tentang pentingnya dialog dan membangun kepercayaan antar pihak yang berbeda.”
Editor: Maya Saputri