tirto.id - Toleransi dapat diartikan sebagai sikap membiarkan, menenggang dan menghormati pendapat/sikap pihak lain walau terjadi perbedaan pendapat dengannya. Toleransi sangat dibutuhkan dalam kehidupan karena keragaman dan perbedaan adalah keniscayaan. Tanpa toleransi, hidup akan terganggu.
Manusia dianugerahi oleh Allah pikiran, kecenderungan, bahkan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan aneka perbedaan dan pertentangan yang, jika tidak dikelola dengan baik, akan mengakibatkan bencana. Dalam Q.S. Hud ayat 117-118, Allah menegaskan bahwa manusia akan terus berbeda dan berselisih, kecuali yang dirahmati Allah, yakni yang mampu mengelola perbedaan itu, antara lain dengan bersikap toleran terhadap pandangan dan sikap orang lain, baik dalam keberagaman maupun selainnya.
Allah menciptakan manusia dari satu ayah dan ibu (Adam dan Hawa AS) yang kemudian berkembang biak menjadi bangsa-bangsa, puak-puak dan suku-suku. Perbedaan tersebut, dinyatakan oleh QS. Al-Hujurat ayat 13, dimaksudkan agar manusia saling mengenal; pengenalan yang dapat mendorong lahirnya hubungan harmonis, kerja sama, serta saling mendukung. Bukankah mereka semua bersaudara yang berasal dari seorang bapak dan seorang ibu yang sama?
Dalam konteks pengenalan dan tujuan itulah sehingga dialog dan upaya saling mengenal sejak dahulu, lebih-lebih masa kini, amat sangat dibutuhkan. Dialog bertujuan mencari titik temu dan mengetahui perbedaan demi bekerja sama dan menghindari sengketa. Tidak jarang melalui dialog ditemukan apa yang diduga berbeda namun pada hakikatnya hanya dalam permukaan atau rumusan redaksional saja yang berbeda. Bahkan walau berbeda substansinya, maka dengan dialog dapat ditemukan jalan untuk menghindari konflik melalui toleransi.
Ini tentu saja bila dialog itu berdasarkan sikap saling menghargai dan dilakukan sebagaimana tuntunan al-Qur’an yakni dengan cara yang terbaik (QS. An-Nahl ayat 125) serta bertujuan menemukan titik temu sehingga dialog itu tidak didahului sikap apriori, menganggap diri sendiri sebagai pemilik kebenaran dan mitra dialog memonopoli kesalahan.
Kalau pada akhirnya dialog tidak menemukan titik temu, maka sesuai pesan Allah kepada Nabi Muhammad: sampaikanlah bahwa sesungguhnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: kamu tidak akan ditanyai menyangkut dosa yang telah kami perbuat dan kami tidak akan ditanyai tentang apa yang kamu perbuat (Q.S. Saba’ ayat 25-26). Maksudnya, biarlah kita berbeda sambil menyerahkan kepada Allah untuk memutuskan pada hari kemudiam siapa di antara kiita yang benar. Biarlah masing-masing kita mengikuti apa yang kita anggap benar, tanpa saling mempersalahkan dalam kehidupan dunia ini.
Demikianlah, sehingga sebagaimana kita menuntut agar diberi kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengamalkan dan menganut apa yang kita anggap benar, maka kita pun harus memberi kebebasan bertanggung jawab kepada siapa pun yang berbeda kepercayaan dan pendapat dengan kita.
Surat Al-Hajj ayat 39-40, ketika menjelaskan izin Allah bagi yang teraniaya untuk melakukan pembelaan diri, dinyatakan-Nya bahwa izin itu dikarenakan bila tidak diizinkan-Nya pasti dirobohkan biara-biara dan gereja-gereja serta sinagog-sinagog dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Demikian terbaca dengan sangat jelas bahwa al-Qur’an menghendaki terpeliharanya rumah-rumah ibadah non-muslim sekali pun walau ibadah di sana tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Ini salah satu bentuk toleransi yang diajarkan Islam kalau kita membaca naskah janji Nabi kepada umat Kristiani yang bermukim di Najran. Di sana tertulis dengan sangat gamblang janji-janji Nabi untuk umat nasrani, kapan dan di mana pun. Janji itu antara lain bahwa: jika umat Nasrani bermaksud merenovasi rumah-rumah ibadah mereka, maka hendaklah dibantu dan itu bukan sebagai utang, tetapi sebagai pemberian.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa toleransi tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip keyakinan agama, sebagaimana keyakinan agama tidak boleh dikorbankan demi toleransi.
Dahulu pada awal masa Islam, tokoh-tokoh kaum musyrik Mekkah menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan tuntunan agama/kepercayaan. Usul mereka adalah agar Nabi bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka dan mereka pun akan mengikuti ajaran Islam.
Kata mereka: "Kami menyembah Tuhanmu, hai Muhammad, setahun dan kamu juga menyembah Tuhan kami setahun. Kalau agamamu benar, kami mendapatkan keuntungan karena kami juga menyembah Tuhanmu dan jika agama kami benar kamu juga tentu memperoleh keuntungan." Demikian lebih kurang usul kompromi mereka.
Usul kaum musyrik itu ditolak oleh Rasulullah SAW., karena tidak mungkin dan tidak logis pula terjadi penyatuan agama-agama. Setiap agama berbeda dengan agama yang lain, baik dalam ajaran pokok, demikian pula sekian banyak perinciannya. Karena itu, tidak mungkin perbedaan-perbedaan itu digabungkan dalam jiwa seorang yang tulus terhadap agama/keyakinannya.
Masing-masing penganut agama harus yakin sepenuhnya dengan ajaran gama. Selama mereka telah yakin, mustahil mereka akan membenarkan ajaran yang tidak sejalan dengan ajaran agama.
Usul kaum musyrik di atas yang menjadi sebab turunnya Q.S. Al-Kafirun yang, antara lain, menegaskan: lakum dinukum wa liya din, bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku. Ini merupakan pengakuan eksistensi timbal balik secara de facto sehingga masing-masing dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik tanpa memutlakkan pendapat kepada pihak lain, tetapi sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing. Memang, kemutlakan ajaran agama adalah sikap jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan atau kenyataan di/keluar bagi yang tidak meyakininya.
Kalau toleransi yang demikian tinggi telah ditetapkan dan diterapkan oleh Rasul terhadap umat yang tidak seiman, maka tentu lebih-lebih lagi kepada sesama kaum beriman, bahkan sesama kaum muslim. Dalam konteks ini, sungguh menarik semboyan yang dikumandangkan oleh ulama dan pemikir muslim yang moderat dan berwawasan luas, yakni semboyan yang menyatakan: “Kita bersatu dalam akidah dan bertoleransi dalam khilafiyah/furu’iyah.”
Ajaran Islam ada yang harus dipercayai dan ada juga yang harus diamalkan. Akidah adalah ajaran yang harus dipercayai. Akidah adalah ajaran Islam yang berkaitan dengan kepercayaan yang sifatnya demikian mantap mengikat hati sang muslim sehingga kalau ia dipaksa mengubahnya maka kendati lidahnya berucap yang bertentangan dengan akidahnya hatinya tidak ikut bergerak dan menyimpang.
Memang, kalau kita membuka buku-buku atau mendenganr uraian-uraian tentang apa yang dinamai akidah, sering kali kita menemukan uraian yang berbeda-beda dan sangat rinci sehingga lahirlah aneka kelompok dalam bidang akidah. Argumentasi masing-masing kelompok pun tidak meyakinkan kelompok yang lain, apalagi ada yang memperluas sumber pemahamannya, sehingga mencakup semua hadis dan pendapat ulama-ulama masa lalu. Ada yang mengandalkan akal dan ada juga yang mengabaikannya. Ada lagi yang mendahulukan akal atas teks atau sebaliknya, dll.
Dari sini, akidah yang dimaksud dalam semboyan tersebut adalah yang argumentasinya bersifat qath’iy, yakni pasti tidak dapat diragukan. Argumentasi yang demikian itu, bagi umat Islam, hanyalah yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis yang mutawatir, yakni yang diriwayatkan oleh banyak orang dan yang mustahil menurut adat kebiasaan mereka yang meriwayatkannya sampai bersepakat berbohong, lalu makna yang ditarik dari kedua sumber ajaran Islam itu harus pula bersifat pasti, tidak ada celah baginya untuk menerima makna lain. Itu demikian karena terhimpun padanya banyak indikator yang mendukung makna tersebut. Lidi jika berdiri sendiri maka rapuh, tetapi jika telah terhimpun sehingga menjadi sapu lidi, maka ia menjadi sangat kuat.
Nah, kita bersatu dalam akidah, antara lain yang tercermin dalam Rukun Iman yang enam (percaya kepada Allah, malaikat, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, hari Kemudian, dan takdir-Nya yang baik atau buruk). Rincian dari masing-masing hal di atas dapat berbeda-beda karena argumentasi masing-masing menyangkut umat Islam dituntut bertoleransi antara sesama muslim, yakni membiarkan masing-masing menganut apa yang ia percaya dan pahami walau berbeda dengan paham dan kepercayaan yang bertoleransi itu.
Jika ini dapat dilaksanakan, tidak akan lahir tuduhan kafir mengafirkan. Karena akidah bersemai di hati dan tidak seorang pun yang mampu menyelaminya. Karena itu pula para ulama menekankan bahwa jika Anda telah menemukan 99% dalil yang menunjukkan kekufuran seseorang, jangan tetapkan kekufurannya sampai bulat 100%. Apalagi Nabi bersabda:
“Siapa yang berkata (menuduh saudaranya) wahai kafir, maka kekufuran itu telah jatuh terhadap salah seorang dari mereka kalau itu benar (maka jatuhlah kekufuran itu pada yang dituduh) dan kalau tidak, maka kekufuran menimpa yang menuduh” (H.R. Muslim).
Demikian, wa Allah A’lam.
======
*) Naskah dinukil dari buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Editor: Zen RS