tirto.id - Konsili Vatikan II adalah upaya awal gereja Katolik dalam menerima dan menghargai keberagaman di muka bumi, termasuk perbedaan agama. Momen tersebut dibuka secara resmi pada 11 Oktober 1962, tepat hari ini 57 tahun lalu.
Kala itu warga Italia membanjiri Lapangan Santo Petrus, Vatikan. Mereka rela berdesakan demi bisa melihat iring-iringan 2.400-an uskup yang datang dari seluruh dunia dalam rangka menghadiri Konsili Vatikan II (selanjutnya disebut Vatikan II), pertemuan yang digagas Paus Johanes XXIII untuk mendiskusikan kembali peranan gereja Katolik di dunia.
Monsignor John Strynkowski yang sempat diwawancara BBC menganggap Vatikan II sebagai pertemuan keagamaan terpenting pada abad ke-20. Tanpanya, gereja Katolik hanya akan jadi institusi yang stagnan dan tidak mampu memberikan dampak positif yang maksimal bagi umat manusia.
“Tak perlu diragukan lagi bahwa Konsili Vatikan II adalah momen revolusioner. Waktu itu Eropa masih memulihkan diri dari Perang Dunia II. Di samping itu, masih banyak ketidakpastian lantaran Perang Dingin juga sempat terjadi. Sejumlah negara di Asia dan Afrika pun ada yang baru merdeka. Johanes XXIII muncul dengan ide briliannya untuk memanggil seluruh uskup dan mengajak mereka berdiskusi bersama dalam menghadapi tantangan zaman,” katanya kepada jurnalis BBC.
Pendapat serupa diungkap penulis The Voice of Vatican II: Words for Our Church Today (2012), Peter A.Huff. Kepada NPR ia berkata, "Sebelum Vatikan II, gereja tampak sebagai institusi yang saklek, tak tersentuh, dan hanya fokus pada stabilitas internal. Mereka memaknai relasi dengan dunia luar hanya dalam konteks aktivitas misionaris."
Johanes XXIII ingin mengubah hal tersebut dan menyebut Vatikan II sebagai persiapan gereja dalam menghadapi dunia modern. Gereja ingin lebih terbuka dan terlibat dalam berbagai isu yang merebak di kehidupan sosial.
Persiapan itu berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang dan, menurut Stynkowski, penuh perdebatan alot. Kaum konservatif atau Katolik tradisionalis menentang rencana tersebut. Golongan ini menganggap pembaruan yang diperbincangkan dalam Vatikan II malah mencoreng nilai luhur gereja.
Sidang Vatikan II selesai pada Desember 1965 dan menghasilkan 16 pedoman bagi para tokoh Katolik untuk menjalankan peran dalam kehidupan menggereja. Pedoman dirumuskan dari sidang yang diadakan setahun sekali selama tiga tahun berturut-turut dan masih diterapkan sampai hari ini. Hal-hal yang diatur di antaranya adalah makna dan peran gereja, tata ibadah, pendidikan agama, pelayanan para imam, tugas uskup dalam gereja, pembinaan iman, kerasulan awam, upaya komunikasi sosial, kebebasan beragama, dan hubungan gereja dengan agama non-Nasrani.
Elemen Revolusioner Vatikan II
Ada beberapa hal yang dianggap sangat berarti dalam pembaruan sistem gereja Katolik. Pertama, penggunaan bahasa dalam perayaan ekaristi. Sebelum Vatikan II, misa di seluruh dunia hanya boleh dibawakan dalam bahasa Latin.
Bagi Stynowski dan mungkin pastur non-Italia lain, keputusan ini adalah salah satu keputusan krusial. “Sebagian besar orang menganggap kewajiban menggunakan bahasa Latin adalah keputusan yang tidak didasari rasa pengertian,” tutur Stynowski.
Hal berikutnya yang dianggap paling revolusioner adalah pandangan gereja terhadap agama lain, terutama Yahudi dan Islam. Nostra Aetate, dokumen Vatikan II yang mengatur relasi antaragama, menyebut bahwa gereja Katolik menghargai aliran kepercayaan lain dan berniat membangun dialog dan relasi atas dasar cinta kasih.
Terkait anggapan kepada kaum Yahudi, gereja Katolik menyesali antisemitisme dan tidak menyalahkan atau membenci seluruh umat Yahudi atas kejadian pada masa lampau (tertulis di kitab suci bahwa kematian Yesus terjadi akibat ulah orang-orang Yahudi).
Tak semua orang sepakat terhadap keputusan tersebut. Huffington Post pernah mewawancarai seorang tokoh golongan Katolik tradisionalis, Bernard Fellay, yang menyebut bahwa Yahudi adalah musuh gereja. Dukungan orang Yahudi terhadap keputusan Vatikan II dipandang sebagai hal yang sengaja dibuat untuk menguntungkan mereka, bukannya menguntungkan gereja.
Fellay akhirnya merevisi pendapatnya dengan bilang bahwa pihak yang jadi musuh gereja katolik adalah mereka yang tidak sepakat dengan konsep keselamatan dunia akhirat.
Perihal perlakuan diskriminatif institusi gereja Katolik terhadap Yahudi memang sempat terjadi sebelum Vatikan II dan pelakunya adalah Paus sendiri. Jurnalis Vanity Fair, John Cornwell, pernah menulis naskah yang sangat komprehensif soal hubungan Paus Pius (Eugenio Pacelli) dengan Hitler.
Artikel “Hitler’s Pope” yang terbit pada Oktober 1999 mengisahkan perkenalan dua orang itu kala Eugenio Pacelli bertugas sebagai diplomat Vatikan di Jerman, negara Eropa barat dengan populasi umat Katolik terbesar pada awal abad ke-20.
Ketika Hitler baru berkuasa, ia memberi Pacelli keleluasaan dalam membuat aturan tentang peranan gereja Katolik di Jerman salah satunya terkait institusi pendidikan. Dan itulah yang diinginkan Pacelli. Sebagai balasannya, Hitler meminta Pacelli membuat aturan yang melarang institusi Katolik terlibat atau ikut campur dalam urusan politik.
Ketika Pacelli diangkat jadi Paus, ia pun diam melihat pasukan Hitler membunuh orang-orang Yahudi. Ia tidak berkutik kala ada pendeta yang dipenggal kepalanya. Ia pun tidak langsung bertindak tegas serta membuat keputusan baru kala perwakilan dari institusi Yahudi meminta bantuan kepadanya untuk membantu menghentikan kekerasan yang dilakukan Hitler.
Tindakan Paus Pius bukan citra baik bagi gereja Katolik dan Paus Johanes XXIII, sebagai orang yang kerap menolong orang Yahudi keluar dari kesulitan, hendak mengubah hal itu. Ia ingin dunia punya pandangan baru soal persepsi gereja Katolik terhadap umat Yahudi.
Setelah konsili Vatikan II disahkan, langkah konkret yang kerap dilakukan Paus terkait relasi antaragama adalah dialog.
Artikel bertajuk “The 40th Anniversary of Vatican II: examining Dominus Iesus, and contemporary issues for inter religious dialogue between Muslims and Catholics” (2014) karya Qamar-Ul Huda mencatat Paus Johanes Paulus II (1978-2005) kerap melakukan dialog antarumat beragama. Dalam kunjungan keagamaannya ia menyampaikan pesan bahwa umatnya juga butuh kasih sayang dan perhatian dari saudara-saudara non-Kristiani. Tak luput, ia juga menyampaikan bahwa gereja Katolik perlu menghargai hukum Islam dan menjaga hak kaum minoritas, hak kebebasan beragama, dan hak asasi manusia.
Saat ini pertanyaan yang mengemuka adalah perlukah Vatikan III diadakan karena gereja Katolik semakin tidak populer, ditinggalkan kaum muda, dan minat orang untuk jadi pastor atau suster semakin menurun?
Editor: Ivan Aulia Ahsan