Menuju konten utama
Uji Materi UU Pemilu

Tudingan Denny soal Putusan MK Tak Terbukti: Ada Potensi Pidana?

Tudingan Denny Indrayana sempat menuai polemik karena dianggap “mendiskreditkan” hakim MK sebagai penjaga muruah konstitusi.

Tudingan Denny soal Putusan MK Tak Terbukti: Ada Potensi Pidana?
Denny Indrayana (tengah) saat mengikuti sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (27/6/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak.

tirto.id - Pernyataan Denny Indrayana beberapa waktu lalu yang menuding Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus sistem pemilu secara proporsional tertutup tidak terbukti. Tudingan eks Wamenkumham era Presiden SBY ini sempat menuai polemik karena dianggap “mendiskreditkan” hakim MK sebagai penjaga muruah konstitusi.

Saat itu, Denny menyebut MK sudah memutus uji materi perkara sistem pemilu, yakni akan menjadi sistem proporsional tertutup. Ia juga mengungkapkan bahwa hakim konstitusi memiliki pandangan berbeda atau dissenting opinion dalam putusan perkara ini. Dia juga mengklaim informasi yang disampaikan dapat dipercaya.

Namun, semua klaim Denny itu buyar pada sidang putusan gugatan perkara Nomor: 114/PUU-XX/2022 tentang sistem proporsional terbuka pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang digelar MK pada Kamis (15/6/2023). MK memutuskan menolak seluruh gugatan. Artinya, sistem pemilu terbuka atau coblos caleg tetap berlaku di Pemilu 2024.

“Mengadili dalam provisi, menolak provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Anwar Usman saat membacakan putusan.

MK menilai permohonan pemohon yang meminta agar pasal-pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka dibatalkan, tidak beralasan menurut hukum. Dalam putusan itu, Hakim MK Arief Hidayat mengajukan dissenting opinion.

Uji materi ini diajukan kepada MK sejak November 2022 oleh kader PDIP, Demas Brian Wicaksono, kader Partai Nasdem dan empat koleganya. Uji materi dilakukan terhadap Pasal 168 ayat (2) terkait sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu.

Penggugat menilai sistem proporsional terbuka membawa lebih banyak keburukan, sebab membuat caleg dari satu partai akan saling sikut untuk mendapatkan suara terbanyak. Penggugat menghendaki pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup.

SIDANG UJI MATERI UU PEMILU DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) bersama Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri), Saldi Isra (kedua kiri), Arief Hidayat (kedua kanan), dan Wahiduddin Adams (kanan) berdiri usai memimpin Sidang Uji Materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (29/3/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom.

MK akan Laporkan Denny ke Organisasi Advokat

Usai putusan, MK berencana akan melaporkan Denny kepada organisasi advokat yang menaunginya. Laporan akan dilayangkan buntut “tudingan” Denny Indrayana yang dinilai membuat informasi tentang MK yang sudah memutus gugatan sistem pemilu. Padahal, kala itu MK belum memutuskan.

“Kami di rapat permusyawaratan hakim sudah mengambil sikap bersama, dan untuk pembelajaran, bahwa kami akan melaporkan Denny Indrayana ke organisasi advokat yang Denny Indrayana berada. Itu sedang disiapkan, mungkin minggu depan akan disampaikan,” kata Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra saat konferensi pers di Gedung MK, Kamis (15/6/2023).

Nantinya, organisasi advokat yang menaungi Denny akan menilai apakah perbuatannya tersebut melanggar etik sebagai advokat atau tidak. Saldi menyebut, MK juga sempat mendiskusikan terkait kemungkinan melaporkan Denny Indrayana ke polisi. Namun, hal tersebut urung dilakukan.

“Ada diskusi perlu enggak kita laporkan ke penegak hukum, kami mengambil sikap tidak akan melangkah sejauh itu," kata Saldi.

Denny pun merespons putusan MK yang bertolak belakang dengan tudingannya. Lewat kuasa hukumnya yang terdiri dari Bambang Widjojanto, Defrizal Djamaris, Febridiansyah, dan Muhamad Raziv Barokah menyebut, pernyataan Denny tidak melanggar kode etik. Sebab, kata mereka, Denny hanya menjalankan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945.

“Juga merupakan bentuk tanggung jawab dalam melaksanakan kewajiban yang dilekatkan berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU 14/2005)” kata tim kuasa hukum Denny dalam keterangan tertulis.

Mereka juga menilai pendapat dan kritik yang dilakukan oleh Denny Indrayana hanya dalam rangka menyebarluaskan gagasan untuk mencerahkan masyarakat, khususnya pada bidang hukum tata negara dan konstitusi. Justru, kata tim kuasa hukum, menjadi salah dan keliru bila Denny berdiam diri menyaksikan berbagai dugaan pelecehan terhadap konstitusi yang sedang terjadi saat ini.

Pihak Denny menghormati langkah MK yang akan mengajukan pengaduan etik ke organisasi advokat tempat klien mereka bernaung. Di sisi lain, mereka menganggap langkah tersebut kurang tepat untuk diambil dalam merespons pendapat seorang guru besar di bidang hukum tata negara.

Lagi pula, kata mereka, tidak ada satu pun klausul dalam kode etik advokat yang dilanggar. “Sebaliknya, kode etik advokat mewajibkan setiap advokat untuk bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia,” kata kuasa hukum.

Denny juga mengapresiasi MK yang tidak memilih jalur kriminalisasi dengan membuat laporan ke polisi. Menurut tim kuasa hukum, selain karena secara hukum tidak ada delik-delik pidana yang terpenuhi, MK telah menunjukkan sikap konsisten menjalankan semangat menerima kritik, sebagaimana yang pernah disampaikan Anwar Usman saat pelantikan dirinya sebagai ketua MK.

“Oleh karenanya, apa yang disampaikan oleh Denny Indrayana tidak dapat dikatakan sebagai tindakan yang merugikan martabat MK, sebaliknya, harus dianggap sebagai obat untuk ‘menyembuhkan’ Mahkamah," kata tim kuasa hukum Denny.

DENNY INDRAYANA DATANGI KPK

Calon Gubernur Kalimantan Selatan Denny Indrayana mengunjungi Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/5/2021). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.

Bisa Dibawa ke Ranah Pidana?

Dalam kasus ini, Denny telah dilaporkan oleh Koordinator Paguyuban BCAD, Musa Emyus ke Polda Metro Jaya pada Senin (29/5/2023). Emyus melaporkan Denny karena dianggap telah membocorkan rahasia negara berupa putusan MK dalam uji materi sistem pemilu. Emyus menilai pernyataan Denny itu membuat resah para bakal calon legislatif yang sedang bekerja untuk menghadapi Pemilu 2024.

Mahkamah Konstitusi telah menolak gugatan sengketa sistem pemilu dengan keputusan tetap sistem proporsional terbuka. Putusan MK ini bebeda dengan yang dibocorkan Denny, sehingga persoalan tersebut telah berakhir dengan diputusnya sengketa tersebut oleh MK.

Namun demikian, Presiden Kongres Pemuda Indonesia, Pitra Romadoni Nasution mendesak agar Denny tetap dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Sebab, apa yang diputuskan MK pada Kamis kemarin berbeda dengan “tudingan” Denny.

“Pernyataan saudara DI [Denyy Indrayana] tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana,” kata Pitra kepada reporter Tirto, Jumat (16/6/2023).

Pitra mendorong Polri segera menyelesaikan kasus itu secara hukum. Pernyataan kontroversi Denny itu sendiri telah dilaporkan Pitra ke Bareskrim Polri. Laporan itu teregister dengan Nomor: LP/B/128/V/2023/SPKT/BARESKRIM POLRI.

“Polri segera memanggil DI terkait informasi yang disampaikannya kepada publik," ujar Pitra.

Menurut Pitra, Denny diduga melakukan pidana menyebarkan berita atau informasi bohong melalui pernyataannya atas rumor putusan MK. Pernyataannya itu menabrak Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946.

Sebaliknya, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir mengatakan, pernyataan Denny yang sempat menyebut MK akan memutus perkara sistem pemilu tertutup bertindak sebagai ahli hukum tata negara, bukan selaku pengacara. Menurutnya, hal yang wajar jika Denny menganlisis putusan MK.

“Terkait permohonan uji materi itu dia membuat analisis putusan. Kalau membuat suatu putusan itu sah-sah saja," kata Mudzakir saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (16/6/2023).

Ia mengatakan, Denny hanya menganalisis putusan menggunakan pembanding putusan lama guna mencari benang merah dari satu gugatan perkara.

“Jadi putusan lama itu dianalisis dan kemudian dicari benang merahnya, kemudian dicari putusan-putusan yang sejenis ke kanan dan ke kiri dan memprediksi yang akan datang," ucap Mudzakir.

Mudzakir menjelaskan, putusan MK yang tetap menerapkan sistem pemilu terbuka itu bukan berarti kemudian melaporkan Denny Indrayana karena prediksinya meleset. Jika MK melaporkan, artinya mempertimbangkan pernyataan Denny.

MK Lembaga Independen

Mudzakir mengatakan, MK merupakan lembaga independen, pemegang kekuasaan kehakiman yang tidak boleh diintervensi dengan apa pun, termasuk kekuasaan. “Jadi, karena prinsip mahkamah itu merdeka dari kekuasaan mana pun, ada apa pun dia tidak akan mempertimbangkan,” kata dia.

Jika MK tetap melaporkan Denny, kata Mudzakir, maka tidak merdeka karena masih mendengar kritik orang. Pasalnya, kritik orang seolah menjadi bias disebabkan karana keputusan berbeda.

“Bagaimana kalau kritik orang itu sama bahwa memang itu diterima dan kemudian tertutup. Apa kemudian disimpulkan bahwa mahkamah itu mengikuti pendapatnya Denny, dong. Kan, bisa begitu juga," kata MUdzakir.

Mudzakir menyarankan agar para hakim MK tidak perlu gegabah atas nama institusi melaporkan Denny Indrayana, termasuk mengadukan dugaan pelanggaran kode etik. “Toh kode etik dan sebagainya juga gak tepat. Kata-kata itu karena berlaku untuk semuanya," kata Mudzakir.

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pernyataan Denny Indrayana tidak berpotensi pidana. Sebab, Denny mengklaim 'putusan' itu didapat dari pihak yang dapat dipercaya.

“Jadi, seolah-olah dari dalam,” kata Abdul kepada reporter Tirto.

Menurut Abdul Fickar, pernyataan Denny dalam kapasitasnya sebagai guru besar. Oleh karena itu, Denny disebut hanya pada ranah kebebasan berpendapat. “Jadi, jika diproses hukum itu kriminalisasi namanya,” ujar Abdul Fickar.

Ia mengatakan pro kontra itu biasa, bukan kegaduhan. Ia menyebut jika ada yang mengatakan kegaduhan di negara demokrasi itu norak. Namun, ia sepakat dengan langkah MK mengaduhkan Denny ke organisasi advokatnya.

“Tepat untuk menguji yang dikemukakan DI itu bocoran atau analisis. Apakah perbuatan yang dilakukan DI itu melanggar etika profesi atau tidak,” kata Abdul Fickar.

Baca juga artikel terkait UJI MATERI UU PEMILU atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz