tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil atas Pasal 169 huruf q UU Pemilihan Umum (Pemilu) sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas minimal usia capres/cawapres.
Permohonan yang terdaftar dengan nomor 145/PUU-XXI/2023 itu diajukan ahli hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar.
"Dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan nomor 145, melalui siaran akun YouTube MK, Selasa (16/1/2024).
Menurut Suhartoyo, ada dua hakim di antara delapan hakim konstitusi yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion) dalam putusan nomor 145, yakni Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih. Perkara nomor 145 memang hanya ditangani oleh delapan hakim, kecuali hakim MK Anwar Usman.
Hal ini menyesuaikan dengan putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) Nomor 02/MKMK/L/11/2023, yang menyatakan bahwa Anwar Usman dilarang menangani perkara nomor 145.
"Permohonan provisi tidak berasalan menurut hukum, pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata Suhartoyo.
Untuk diketahui, ada tiga petitum dalam gugatan nomor 145. Pertama, yakni mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Kedua, meminta putusan 90 dibatalkan. Terakhir, memuat hasil putusan gugatan nomor 145 dalam berita Negara Republik Indonesia.
Kemudian, ada lima provisi dalam gugatan tersebut. Pertama, mengabulkan permohonan provisi pemohon. Kemudian, menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Lalu, menangguhkan tindakan atau kebijakan yang berkaitan dengan Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Provisi keempat, meminta pemeriksaan gugatan 145 dilakukan secara cepat tanpa meminta keterangan MPR/DPR, Presiden, DPD dan pihak terkait lain.
Provisi terakhir, meminta hakim MK Anwar Usman tidak mengikuti proses pemeriksaan, pengadilan, dan perumusan gugatan 145.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Irfan Teguh Pribadi