tirto.id - "Jika Tuhan benar-benar ada dan suatu hari nanti saya menghadap-Nya dan Dia bertanya: 'Apa yang Anda lakukan sepanjang hidup?' Dan satu-satunya jawaban saya adalah: 'Saya selalu berusaha memenangkan pertandingan sepak bola' Dia tanya lagi: 'Apa itu satu-satunya yang Anda lakukan?" Dan satu-satunya jawaban saya: 'Itu tidak semudah yang dibayangkan.'"
Kata-kata di atas diucapkan Wenger tepat di hari ulang tahunnya yang ke-67 pada Sabtu, 22 Oktober 2016, menjelang laga melawan Middlesbrough di Stadion Emirates. Ia pelatih tertua di Liga Primer saat ini.
"Saya lebih suka jadi manajer termuda, tapi itu bagian dari kehidupan," katanya. "Saya mulai melatih sejak usia 33. Saya satu dari sedikit platih di dunia yang tidak mau berhenti. Saya bekerja setiap hari sepanjang hidup saya. Karena saya mencintainya."
Sir Alex Ferguson pensiun dari Manchester United pada usia 71 dan Wenger tidak menyangkal kemungkinan ia akan mengikuti jejak Ferguson atau bahkan bisa jadi lebih dari itu. Ia masih meras bugar secara fisik dan termotivasi secara mental, meski jarang beristirahat.
Dua puluh tahun lalu, di apartemennya di Nagoya, Jepang, ketika tawaran untuk menjadi manajer Arsenal baru saja datang, ia terpekur memikirkan masa depannya. Jauh dari keriuhan sepakbola Eropa, pengalamannya melatih Grampus telah menakjubkan hatinya. Ia mulai terbiasa dengan budaya dan gaya hidup yang baginya sangat menantang, sekaligus terasa hangat, membuka mata, dan sunyi. Ia menyukai kehidupannya di sana, tapi keluarga, teman-teman, dan segala yang familiar terpisah jarak 10.000 kilometer jauhnya.
Tawaran dari Arsenal bisa dibilang serupa lompatan besar, di semual hal: secara profesional, kultural, dan personal. "Saya berada di titik berbahaya dan saya harus mengambil keputusan," katanya. "Setelah dua tahun perlahan-lahan Anda menyatu dengan spirit orang Jepang. Apa yang Anda rindukan dari Eropa perlahan-lahan memudar. Saya berada di titik yang, saya pikir, saya akan menghabiskan sisa umur di sini kalau tidak pulang sekarang."
Ditambah lagi saat itu istrinya sedang hamil besar. Jika memutuskan tinggal, ia akan memboyong istrinya ke Nagoya dan akan menjadi orang Jepang, atau sebaliknya, ia akan kembali pada kehidupan Eropa yang dirindukannya. Momen itu adalah momen ci-luk-ba dalam hidupnya. 22 September 1996 ia resmi menjadi pelatih Arsenal.
Siapa yang tahu bagaimana nasibnya—juga nasib Arsenal—jika ia memilih bertahan?
Di sinilah Arsene Wenger sekarang. Masih bertahan dengan segala prestasi dan frustrasinya menukangi Arsenal.
Sebulan yang lalu, pada 22 September 2016, ia merayakan 20 tahunnya bersama Arsenal dengan kemenangan besar 3-0 melawan rival sekota, Chelsea. Ia berdiri dengan bangga bertepuk tangan di atas kepala dan nyaris semua pendukung Arsenal kencing di celana karena kegirangan. Ia tampak bahagia. "Sekarang saya merasa lebih lapar daripada dulu [ketika pertama kali tiba pada 1996]," katanya dalam jumpa pers pascapertandingan, "karena saya tahu di depan sana saya tidak akan punya waktu 20 tahun lagi."
Tapi setelah 20 tahun, tidak ada persepsi tunggal tentang Wenger dan waktu yang dihabiskannya di Arsenal.
Terlebih di era internet, ketika semua orang seperti merasa pantas dan tak henti-hentinya menjadi pengawas manajer. Jutaan fans hobi sekali mengicaukan tagar #WengerOut di media sosial jika Arsenal menuai hasil buruk. Tidak jarang pula gerombolan fans menghakiminya dengan sebutan-sebutan tak masuk akal, dengan protes-protes pedas, seakan-akan mereka lebih tahu cara menjadi pelatih ketimbang Wenger sendiri—sesuatu yang kadang-kadang membuatnya kehilangan kesabaran.
Sebagaimana pernikahan yang sudah berusia 20 tahun, wajar jika Wenger dan para suporter Arsenal telah melalui asam-garam rumah tangga: periode bulan madu, dansa-dansi, sukacita, hingga fase frustrasi, krisis, kehilangan kepercayaan, dan keraguan yang sengit.
Opini paling dominan terbentuk berdasarkan apa yang terjadi belakangan. Akhir-akhir ini, kepercayaan terhadap kepemimpinan Wenger tidak setinggi masa-masa awalnya.
Kisahnya bersama Arsenal seperti drama tiga babak. Babak pertama berisi keberhasilan-keberhasilan yang menakjubkan. Di babak kedua, segalanya menjadi serbarumit, sangat rumit, sampai-sampai membuat banyak orang lupa betapa hebatnya ia di dekade pertama.
Secara keseluruhan, selama periode antara 1996 dan 2006, Arsenal memenangkan Liga Premier sebanyak tiga kali, termasuk catatan bersejarah memenangkan liga (2003-2004) tanpa terkalahkan, Piala FA empat kali, dan lolos hingga final Liga Champions pada 2006.
Satu dekade penuh prestasi inilah yang terus menjadi bahan perbandingan terhadap Wenger di tahun-tahun berikutnya. Para fan Arsenal mengenang masa-masa itu bukan hanya karena juara, melainkan juga karena penuh gaya. Dalam satu tim, ada Thierry Henry di masa jayanya yang memimpin pasukan, didukung permainan ciamik Dennis Bergkamp, Robert Pires, Freddie Ljungberg, Patrick Vieira, Nwanko Kanu dan barisan pertahanan yang begitu tangguh. Semua orang kagum penampilan Arsenal.
Pada 7 Mei 2006, Arsenal pindah stadion, meninggalkan kandang warisan leluhur mereka, Highbury, menuju stadion baru, Emirates. Tak ada yang menyangka kepindahan ini akan diikuti juga dengan puasa gelar dalam waktu yang relatif panjang.
Pembangunan stadion tentu saja tidak cukup dengan uang receh. Manajemen Arsenal harus merogoh kocek dalam-dalam. Bersamaan dengan pembangunan yang dimulai sejak 2004 itu, Wenger tak pernah menyangka kehadiran para miliarder yang membuang-buang uang di Liga Inggris akan mengubah lanskap sepakbola. Terutama sejak kehadiran Roman Abramovich di Chelsea sejak Juni 2003.
Harga pemain melambung tinggi. Arsenal harus ikat pinggang kencang-kencang setiap kali musim transfer tiba. "Anda seperti hanya bersenjatakan batu melawan senapan mesin," kata Wenger. "Orang-orang tidak mau tahu itu. Mereka hanya ingin Anda untuk memenangkan kejuaraan."
Di saat-saat yang sulit ini, Wenger tidak menyerah. Ia berlayar dengan perahu sederhana di tengah perairan berombak yang dipenuhi kapal-kapal perang megah. Ia akhirnya menemukan ide brilian, sekaligus nekat: mencari ke sana ke mari pemain-pemain muda terbaik, merekrut mereka, melatih, menanamkan semangat klub, mengembangkan tim yang tumbuh bersama dan saling setia satu sama lain.
Proyek ini hampir sukses. Cesc Fabregas begitu sensasinal di masa mudanya, juga Robin van Persie, Samir Nasri dan Abou Diaby. Wenger yakin, ia punya cukup banyak pemain muda berbakat untuk bersaing di level tertinggi. Tapi ternyata ia salah.
Setelah bertahun-tahun tanpa gelar—terakhir ia menjuarai Piala FA pada 2005, proyek pemain muda juga ikut berantakan. Apalagi ketika Fabregas memutuskan pergi pada Agustus 2011, diikuti Nasri, kemudian Van Persie. Wenger harus merasakan kehilangan yang pahit, ideologi memupuk pemain muda yang ia percaya mujarab berujung berantakan.
Wenger mengalami saat-saat penuh tekanan besar dan orang-orang mulai mengambinghitamkannya. Seperti penderitaannya masih kurang menyakitkan, pada Agustus 2011 pula Arsenal harus menelan kekalahan 2-8 yang sangat memalukan dari Manchester United. Hingga memungkinkan seorang Jose Mourinho melempar ejekan paling terkenal untuknya: "Spesialis dalam kegagalan".
"Sepakbola kadang-kadang memang menakutkan," katanya. "Ketika Anda tidak menang, Anda bertanggung jawab atas begitu banyak orang yang tidak bahagia. Kadang lebih baik tidak usah memikirkan itu, karena bisa sangat merusak hidup Anda."
Meski fans terus mencerca, Wenger akhirnya berusaha bangkit lagi dan memperbaiki metodenya. Ia tidak lagi mengandalkan akademi pemain muda, ia mulai merekrut nama-nama besar untuk memperkuat tim, di antaranya Mesut Özil pada 2013 dan Alexis Sánchez pada 2014. Wenger punya alasan untuk kembali optimistis.
Hasilnya, di akhir musim 2014, Arsenal meraih gelar lagi, menjuarai Piala FA setelah mengalahkan Hull City. Pertandingan ini merupakan salah satu laga paling menegangkan dalam kariernya. Arsenal terlebih dahulu tertinggal 0-2 sebelum akhirnya menang 3-2 melalui perpanjangan waktu.
"Kemenangan ini sangat penting untuk tim. Ketika ia datang setelah masa penantian yang panjang, ia datang bersama penderitaan," ujarnya. "Kami merasa terlahir kembali dan sangat bahagia." Tahun berikutnya, anak-anak asuh Wenger kembali mempertahankan gelar ini.
Babak akhir dari drama Arsenal-Wenger belum lagi ditulis. Seperti yang diungkapkannya di muka, ia belum ingin berhenti dan justru merasa semakin lapar gelar. Ia masih berhasrat memenangkan trofi Liga Primer yang terakhir kali diraihnya dua belas tahun yang lalu. Selain, tentu saja, ia tak ingin mati penasaran tanpa gelar Liga Champions.
Panjang umur, Monsieur Wenger.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti