Menuju konten utama

Trump yang Mulai Mengusik Kebijakan Satu Cina

Hubungan ekonomi dan diplomatik antara AS dan Cina selama ini terjalin atas dasar One China Policy yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari Cina. Namun, belum lama ini Trump justru mengirimkan sinyal kedekatan dengan Taiwan lewat bertukar ucapan selamat. Ada apa?

Trump yang Mulai Mengusik Kebijakan Satu Cina
Bendera nasional Cina diantara lanskap Shanghai Lujiazui. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) sedang ketari-ketir atas tiga manuver terbaru yang dilancarkan presiden AS terpilih, Donald Trump. Kabar tak mengenakkan pertama yakni telepon dari presiden Taiwan, Tsain Ing-wen, yang menyampaikan selamat atas kemenangan Trump. Sebelumnya di bulan Januari lalu Trump juga dikabarkan menyampaikan ucapan selamat kepada Tsai atas kemenangannya sebagai presiden perempuan pertama Taiwan. Ia memimpin Partai Progresif Demokratik dan menjadi presiden kedua yang berasal dari panrtai tersebut.

Kedua, Trump mencuit di Twitter dengan isi teguran atas kegiatan militer Cina di Laut Cina Selatan yang selama ini dikenal sebagai kawasan rawan konflik. Trump juga menyinggung perkara dugaan manipulasi uang oleh Cina. Tak berakhir sampai di situ, kekhawatiran ketiga muncul dalam sebuah wawancara pada hari Minggu (19/12/2016) dimana Trump menyiratkan akan meninjau kembali One China Policy alias Kebijakan Satu Cina.

Kebijakan Satu Cina adalah tonggak utama hubungan AS dan Cina yang terbangun sejak 1972. Dalam bidang ekonomi dan perdagangan, kedua negara banyak diuntungkan dari adanya kebijakan tersebut, salah satunya, sebagaimana dikutip Financial Times, kemudahan usaha para produsen asal AS yang ingin mendirikan pabrik di Cina. Saat Trump memberi sinyal keraguan pada kebijakan tersebut, rupanya Cina tak hanya mempermasalahkan soal ekonomi, namun juga soal kedaulatan negara. Mengapa demikian?

Kebijakan Satu Cina terkait sejarah eksistensi Taiwan usai perang sipil di Cina antara kubu Komunis dan Nasionalis. Perang berakhir di tahun 1949 dengan kemenangan berpihak di kubu Komunis yang dipimpin oleh Mao Ze Dong. Kubu Nasionalis yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek terdesak dan akhirnya melarikan diri ke pulau Taiwan yang jauhnya kurang lebih 180 km dari garis pantai bagian tenggara daratan Cina.

Golongan yang dikenal dengan nama Koumintang itu kemudian mendirikan sebuah pemerintahan independen yang kini dikenal sebagai negara Taiwan dengan ibukotanya di Taipei. Sementara itu, di daratan Cina, Mao Ze Dong mengukuhkan apa yang sekarang disebut sebagai Republik Rakyat Cina (RRC) yang kini beribukota Beijing.

Beijing dan Taipei memiliki sejarah panjang dari satu pertentangan ke pertentangan lain hingga sesekali muncul ancaman militer dari RRC sebagai negara adidaya dan memiliki jumlah pasukan serta senjata yang jauh lebih besar dari Taiwan. Atas ditandatanganinya sebuah perjanjian di tahun 1992, kedua belah pihak menyepakati bahwa hanya ada satu Cina. Namun, keduanya tak pernah setuju apakah RRC atau Taiwan yang menjadi representasi satu Cina itu. Baik Beijing maupun Taipei selalu menilai bahwa negara mereka lah “Cina yang sesungguhnya”.

Sampai sekarang RRC tak mengakui Taiwan sebagai negara baru, melainkan salah satu provinsi dari RRC. Indonesia adalah salah satu negara yang memilih Beijing dan menganggap Taiwan sebagai bagian dari RRC (kemudian akan disebut sebagai 'Cina'-red). Meski demikian, ada sejumlah negara di dunia yang mengakui kedaulatan Taiwan dan sebagian besar lain tetap menjalin hubungan baik meskipun secara informal.

Kebijakan Satu Cina diterapkan oleh pemerintah Cina bagi negara lain yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Beijing dan dengan kata lain mengakui bahwa Taiwan bukanlah negara independen melainkan hanya salah satu bagian darinya. Amerika Serikat memilih kebijakan ini sebab menganggap secara ekonomi hubungan dengan Beijing akan lebih menguntungkan, demikian analisis sejumlah ekonom. Meski demikian, AS juga tak sepenuhnya memutus hubungan dengan Taiwan. Hingga kini AS masih menjadi produsen penyulai senjata bagi Taiwan. Kondisi ini lah yang membuat Cina khawatir.

Apalagi hingga saat ini sejarah belum pernah mencatat adanya komunikasi resmi antara presiden AS dan pemimpin Taiwa sejak tahun 1979 atau tahun dimana Beijing dan Washington memulai hubungan diplomatik formalnya. Terobosan kala itu diinisiasi oleh Presiden Richard Nixon dan sekretarisnya Henry Kissinger. Mereka memulainya sejak awal tahun 1970-an sebagai strategi untuk mengisolasi Uni Soviet. Baik Nixon dan Mao menganggap hubungan kedua negara berlandaskan prinsip “musuh dari musuhku adalah temanku”.

Pada tahun 1972 Cina dan AS menandatangani komunike pertama dari tiga komunike yang pada akhirnya membimbing kedua negara dalam melewati hubungan yang relatif normal—meski sekali dua kali bersitegang di laut Cina Selatan. Pada bagian pertama, yang juga dikenal sebagai komunike Shanghai, tertulis “pertanyaan tentang Taiwan adalah pertanyaan krusial yang bisa menghalangi hubungan antara AS dan Cina”.

Dalam bagian tersebut, AS mengakui bahwa “Semua Cina di kedua sisi Selat Taiwan adalah satu Cina dan Taiwan adalah bagian di dalamnya”. Meski demikian perjanjian ini tak menghalangi AS untuk berekspansi ke Taiwan atas motivasi dagang. Menurut catatan Forbes, Taiwan adalah mitra dagang terbesar ke-9 AS dan bagi Taiwan AS adalah partner kedua terbesar untuk urusan perdagangan.

Infografik Dua Negara Satu Cina

Strategi yang Riskan

Kekhawatiran Beijing sebenarnya bertumpu pada keuntungan secara ekonomi maupun yang selama ini didapatkan. Arus profit dan kemitraan para pebisnis dari kedua negara membuat keduanya menjadi adidaya. Cina, yang bagi para pengamat ekonomi telah kehilangan ciri komunisnya dan telah menjadi sangat kapitalis, bahkan dikabarkan akan menyalip AS dalam beberapa tahun terakhir.

Satu hal yang tak bisa ditawar-tawar dari Cina adalah perkara kedaulatan negara. Sejumlah manuvernya di Laut Cina Selatan bahkan sering membuat hubungannya dengan negara-negara di Asia Tenggara memanas. Saat ada indikasi bahwa AS mendekati Taiwan, Beijing menganggapnya sebagai langkah yang tak main-main. Tangan kanan Trump di Gedung Putih memang telah mengonfirmasi bahwa sikap Trump bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan, terutama soal kerja sama antar kedua negara. Meski demikian, rekam jejak Trump terutama selama masa kampanye membuat Cina mengencangkan kewaspadaan.

Tak ada yang paham apa maksud sebenarnya dari pernyataan Trump terkait Kebijakan Satu Cina. Sejumlah pengamat politik melihatnya sebagai pernyataan gegabah yang akan merugikan AS. Menurut Franches Cheung, kepala China/Hongkong Strategy di CLSA, Trump dilihat sedang mencoba mengembangkan sayap ekonomi AS agar lebih luas di Taiwan. “Namun Cina tak suka jika dirinya dipakai sebagai batu loncatan,” katanya kepada Forbes.

Cheung percaya, bahwasanya dalam konteks perang dagang, AS akan cenderung muncul sebagai pecundang terbesar. Hal ini bisa terjadi mengingat ekspor terbesar Cina ke AS adalah produk “low-end” seperti ponsel dan komputer yang dibuat untuk perusahaan multinasional. Di sisi lain, ekspor AS adalah barang bernilai tinggi seperti pesawat, mobil, dan produk pertanian.

Jika perang antar kedua negara benar-benar terjadi, konsumen di AS akan membayar lebih tinggi atas barang-barang buatan Cina yang selama ini mereka nikmati. Berbeda dengan apa yang akan dihadapi oleh perusahaan-perusahaan spesialis ekspor asal AS, kemungkinan besar mereka akan kalah dari perusahaan asal Eropa yang menjual produk-produk bernilai tinggi yang sama. Skenario yang tak menguntungkan dalam jangka panjang, tambah Cheung. Sebab dalam soal besaran volume dagang, Taiwan tak ada apa-apanya dibanding Cina.

Sekali lagi, manuver Trump menunjukkan bahwa segala kebijakan luar negeri AS memiliki dampak yang serius bagi kondisi politik dan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik. Cukup satu telepon dan cuitan di Twitter untuk membuat hubungan antara Cina dan Taiwan kembali tegang. Pengamat hubungan internasional di sejumlah media menilai tak ada prediksi yang pasti untuk ke depannya, kecuali Trump bergerak memulihkan suasana.

Baca juga artikel terkait AMERIKA SERIKAT atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti