tirto.id - August turun dari mobilnya yang diparkir tepat di samping crisis center vaksin palsu, di parkiran belakang RS Harapan Bunda. Ia tampak geram. Posko pengaduan kosong. Ia dijadikan lahan motor parkir polisi hingga ke dalam tenda. Padahal, malam sebelumnya (23/7) tempat itu masih dipenuhi meja dan kursi untuk menerima tamu.
"Ini kemungkinan diangkat pagi tadi. Begini kan, kita memang tak pernah dapat tempat yang layak. Padahal mereka sudah janji mau berikan tempat layak: meja, kursi, kipas. Kita ini dipandang sebelah mata, dianggap sebagai perusuh," katanya pada tirto.id.
August Siregar adalah Ketua Aliansi Korban Vaksin Palsu. Memimpin aliansi itu, ia menekankan tak menginginkan apa-apa selain yang terbaik untuk anaknya yang baru berumur 9 bulan. Kisah August berawal beberapa bulan lalu saat ia membawa anaknya untuk diimunisasi untuk mencegah penyakit difteri, pertusis, dan tetanus (DPT), serta meningitis yang disebabkan oleh virus HIB. Merk vaksinnya Pediacel. Kala itu, ia membayar langsung pada perawat.
“Vaksinnya ada, tapi bayar ke saya, ya,” August menirukan ucapan sang perawat.
Tak ada keraguan melintas di pikiran Agus. Tak ada curiga bahwa vaksin yang dimasukkan ke pembuluh anaknya bermasalah, sebab ia percaya kredibilitas RS Harapan Bunda, juga dokter yang menanganinya. Maka, uang sebesar Rp900 ribu pun langsung ia serahkan setelah anaknya disuntik.
Tapi semuanya berubah kala mendengar berita tentang rumah sakit tempat anaknya diimunisasi, Harapan Bunda, ternyata salah satu dari 14 tempat beredarnya vaksin palsu. August berada di antara sekawanan orangtua yang cemas akan kejelasan vaksin anak-anak di Harapan Bunda. August menjadi satu dari ratusan orangtua yang resah karena kuatir vaksin yang dipakai anak sejak 2013.
Darwin, orangtua korban lain, juga mendapati cara bayar yang sama dengan August. Meski berlainan dokter dengan August, suatu kali ia juga diminta membayar biaya imunisasi salah satu anaknya lewat perawat. Padahal di lain waktu, Darwin selalu membayar vaksin pada kasir.
"Pak, bayar ke dokter langsung, kalau administrasinya baru ke kasir," kata suster seperti diceritakan Darwin. Kejadian itu terjadi pada April 2016. Darwin pun membayar sebesar Rp800 ribu pada suster.
Karena Darwin perlu me-reimburse ke asuransi kantor tempat ia bekerja, ia meminta kuitansi pada perawat. Tapi ternyata asuransi kantor menampik. "Ini maksudnya apa nih? Wah nggak legal ini," kata pegawai asuransi. Tapi Darwin memamah kecurigaan itu. Ia tak menangkap bahwa cara transaksi seperti itu mencurigakan.
Kini, ia dihinggapi amarah sekaligus kesedihan dan kebingungan. “Saya setiap hari lihat mereka rasanya seperti berdosa sekali, merasa gagal sebagai orang tua tak mampu melindungi anaknya. Saya telah bawa mereka ke tempat yang salah, saya makanya mau tebus itu, tolonglah rumah sakit katakan kalau kena, harus bagaimana, selesai kok masalah.”
Apa yang terjadi pada August dan Darwin adalah modus umum di Harapan Bunda. Saat meminta pasien membayar di bawah tangan, suster beralasan vaksin persediaan rumah sakit habis.
Menurut Bareskrim Polri, para pengguna dari kalangan kesehatan kemungkinan sadar bahwa vaksin yang dibelinya palsu. "Setidaknya para tersangka sudah sepantasnya tahu, mereka bisa perhatikan dari harga vaksin yang dibeli dari suplier," tutur Kepala Bareskrim Dono Sukmanto, seperti dipetik Antara.
Harga vaksin palsu dengan yang asli terpaut cukup jauh karena vaksin yang dipalsukan merupakan produk impor, sambungnya, tanpa merinci berapa tepatnya selisih harga di antara keduanya.
Harapan Bunda hanyalah satu dari 14 rumah sakit tempat vaksin palsu beredar. Ada 13 rumah sakit lain yang telah memakai vaksin bohongan. Semuanya berada di daerah Jakarta, Bekasi, dan Cikarang.
Adapun jenis vaksin yang dipalsukan ada belasan, tetapi yang paling populer adalah pediacel dan tripacel, seperti terjadi pada beberapa pasien di Harapan Bunda.
Lalu, bagaimana sekarang?
Kasus ini sekarang sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Ada 23 tersangka yang terdiri dari 6 produsen, 9 distributor, 2 pengumpul botol, 1 pencetak label, 2 bidan, dan 3 dokter. Terkait adanya tersangka dokter, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sempat menyatakan bahwa ada grand design untuk menjatuhkan profesi dokter terkait penersangkaan tiga dokter.
Daeng Mohammad Faqih, Wakil Ketua PB IDI, menyebut berita itu salah. “Yang diminta IDI itu tetap prinsip praduga tak bersalah itu ditegakkan, jadi kalau belum putusan akhir pengadilan jangan dijustifikasi salah dulu,” ucapnya. Daeng menunjuk faktor BPOM yang seharusnya lebih menggalakkan pengawasan. Peredaran obat ilegal harus dibasmi.
“Itu tugasnya siapa? Ya tugas utama BPOM dan Menkes, tapi lebih banyak BPPOM, itu kan bocor. Masak sampai 13 tahun dibiarkan, dari 2003 kan? Dan itu diketahui pula indikasi dari 2003, kenapa tidak melakukan tindakan? Ini pertanyaan besar, apa ada pembiaran? Ini pertanyaan lebih lanjut.”
Meski gamblang benar pembelaan IDI soal sejawatnya yang menjadi tersangka, pernyataan Daeng soal sistem pengawasan obat dan vaksin palsu ada benarnya. Kepala BPOM pun mengakui pihaknya menyumbang kesalahan.
Tapi, selain melihat lemahnya sistem pengawasan dan maraknya pemalsuan obat, ketersediaan vaksin juga patut diperiksa. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, pada 2013 dan 2014 hanya vaksin untuk polio saja yang terpenuhi kebutuhannya lebih dari 100 persen. Lainnya tidak. Vaksin BCG yang mencegah penyakit TBC dan TT yang mencegah penyakit tetanus saja ketersediaannya hanya sekitar 40 persen.
Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan ini tentu perkara pelik. Jika tidak dibereskan, ada dua hal yang bisa terjadi. Pertama: banyak anak tak diimunisasi sehingga berisiko tinggi terjangkit wabah. Yang kedua: pihak-pihak pemburu rente haram memanfaatkannya sebagai celah bisnis, salah satunya dengan membuat dan mengedarkan vaksin palsu. Indonesia jelas mengalami kedua-duanya.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti