Menuju konten utama

Vaksin Palsu: Bukan Sekadar Kasus Peredaran Obat Palsu

Vaksin palsu beredar di masyarakat sejak 2003. Kasus ini tak cukup hanya direspons dengan pengenaan pasal pengedaran obat palsu. Pemalsuan vaksin bisa mengakibatkan penyakit bahkan kematian jika suatu saat konsumennya terkena wabah. Kepercayaan terhadap imunisasi pun bisa menurun.

Vaksin Palsu: Bukan Sekadar Kasus Peredaran Obat Palsu
Kepala Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Pekanbaru, Indara Ginting, memperlihatkan dua jenis vaksin yang terindikasi palsu. Antara Foto/Rony Muharrman

tirto.id - Pada paruh pertama 2005, berita menyedihkan datang dari Kabupaten Sukabumi. Ratusan anak di Kecamatan Cidahu, Sukabumi, dilaporkan terserang polio. Sebelumnya, menurut data WHO, tak ada satupun kasus polio di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun. Klaim pemerintah bahkan lebih ekstrem: angka 0 untuk kolom kasus polio selama 10 tahun terakhir. Wabah ini lantas disebut KLB (Kejadian Luar Biasa).

Virus polio di Sukabumi itu diperkirakan sama dengan virus polio yang ada di Nigeria. Dari Sukabumi, virus polio menyebar ke Banten, Lampung, Madura, hingga Aceh. Menurut data WHO, ada 349 kasus polio pada 2005 dan 2 kasus di tahun berikutnya. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) bahkan menunjukkan angka lebih besar: 385 anak mengalami lumpuh permanen akibat wabah polio 2005-2006.

Tak hanya polio, IDAI juga mencatat wabah campak terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada kurun 2009-2011, dan 16 penderitanya tak bisa diselamatkan. Wabah difteri pun terjadi pada kurun waktu yang sama, menyebabkan 54 anak meninggal dunia.

Kini, lima tahun setelah wabah campak itu, berita buruk terkait imunisasi datang lagi. Vaksin palsu telah beredar di layanan-layanan kesehatan dan farmasi di beberapa wilayah Indonesia. Hingga 27 Juni setidaknya 15 orang menjadi tersangka produsen dan distributor vaksin palsu.

Bareskrim Polri menyatakan vaksin palsu dibuat dan diedarkan sejak 2003, meski Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM), menemukan vaksin yang tidak sesuai persyaratan itu baru pada 2008.

Menurut siaran BPOM, ada 12 merek vaksin palsu yang beredar, yakni untuk kuman Hepatitis B, DPT, TBC, TT, campak, polio, BCG, Hepatitis A, serta beberapa merek vaksin kombo.

Kepala BPOM, Tengku Bahdar Johan Hamid, menyatakan pihaknya sudah mengamankan sejumlah vaksin dari 28 sarana pelayanan kesehatan di 9 wilayah yang jalurnya ilegal. “Ada kemungkinan palsu, tapi belum tentu [semua] palsu. Sembilan wilayah itu adalah Pekanbaru, Serang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, Mataram, Palu, Surabaya, dan Batam,” paparnya.

Adapun bahannya, vaksin palsu ini dibuat dari campuran cairan infus dan antibiotik. "Pelaku mengisi ampul dengan cairan buatan sendiri yang menyerupai vaksin aslinya dengan menempelkan merk dan label. Cairan buatan pelaku tersebut berupa antibiotik gentamicin dicampur dengan cairan infus," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya.

Berbahayakah campuran cairan infus dengan gentamicin? Selama vaksin-vaksinan itu diproduksi secara steril, ia kemungkinan besar tidak menyebabkan konsumen sakit secara langsung. Tapi kalaupun ia tak membahayakan, efek jangka panjang konsumsi vaksin palsu sangat buruk, baik bagi anak konsumen vaksin palsu maupun bagi masyarakat secara umum.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek pun merespons dengan keras dan agak gegabah. Ia menyatakan setuju pelaku hukuman mati bagi pembuat vaksin palsu jika sampai merusak generasi. Meski ucapan Menteri Nila soal hukuman mati terdengar reaktif, apa yang dibicarakannya soal “merusak generasi” ada benarnya. Secara individual, sangat mungkin ada anak sakit bahkan meninggal karena tubuh yang sudah mengkonsumsi vaksin palsu tak mampu menangkal virus dan kuman.

Dari infeksi perorangan, virus bisa menyebar secara cepat dan massif. Contohnya yang terjadi pada Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio 2005. Jika ada kasus semacam ini terjadi, pelaku pembuat dan pengedar vaksin palsu bisa disetarakan sebagai pembunuh, bukan sekadar pembuat dan pengedar obat palsu.

Kasus di Kanada bisa dijadikan contoh. Pasangan David Stephan, 32, dan Collet Stephan, 36, dihukum penjara dan layanan komunitas setelah Ezekiel, bayi mereka yang berumur 19 bulan, meninggal pada Maret 2012. Orangtuanya diputus bersalah karena dianggap "gagal menyediakan hal yang penting dalam kehidupan."

Ezekiel yang meninggal karena meningitis bakterial, selain tak mendapat vaksin-vaksin yang penting bagi tubuhnya, juga hanya diobati secara “alamiah” oleh orangtuanya saat terjangkit penyakit. Selama 2,5 minggu, ia diobati dengan campuran yang terdiri dari lada, bawang putih, bawang merah, dan horseradish serta sebuah produk dari dokter naturopathik. Juri di pengadilan berpendapat, seharusnya Ezekiel lekas ditangani dokter.

Dengan logika sama, pelaku dan pengedar vaksin palsu melakukan hal lebih buruk dari pasangan Stephan. Stephan bersikap lalai terhadap anak sendiri karena keraguan mereka terhadap ilmu medis, sedangkan jaringan vaksin palsu melakukan percobaan pembunuhan pada satu generasi di sekian komunitas. Dengan membuat dan mengedarkan vaksin palsu, mereka membuat anak-anak yang mengkonsumsinya gagal membangun kekebalan tubuh terhadap penyakit-penyakit berbahaya bahkan mematikan.

Efek lanjutannya juga buruk: masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap imunisasi.

Apalagi, selama ini imunisasi sudah mendapatkan macam-macam tentangan. Ada kelompok antivaksin yang mendasarkan penolakannya karena mencurigai ada bahan babi pada proses pembuatan. Padahal, MUI sudah menegaskan bahwa vaksin polio halal.

“Dalam kondisi tertentu ketika tidak ada bahan atau enzim (halal) lain maka dimungkinkan pembolehan vaksin dari bahan najis atau haram. Ini sama seperti yang dilakukan nabi dalam menggunakan air kencing yang jelas-jelas najis dan haram untuk pengobatan,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat Asrorun Ni'am Sholeh, 2015 lalu seperti dikutip Republika.

Ada pula kelompok antivaksin yang meyakini vaksin adalah konspirasi Yahudi dan dunia Barat. Vaksin, menurut kelompok ini, dibuat untuk melemahkan umat Islam.

Itu “teori” yang mengada-ada. Di negara-negara Barat, vaksin dianggap sangat serius. Provinsi Ontario, Kanada, misalnya, mewajibkan murid sekolah negeri diimunisasi, kecuali bagi anak-anak yang punya kekhususan medis. Israel—negara dengan penduduk mayoritas penganut Yahudi—pada 2015 bahkan menggodok kebijakan untuk mengurangi tunjangan anak jika orangtuanya memutuskan tidak mengimunisasi mereka.

Selain terkait isu keagamaan, ada pula isu yang cukup populer di kalangan kelas menengah: vaksin, terutama vaksin MMR, dianggap menyebabkan autisme. Padahal, penelitian Andrew Wakefield pada 1998 yang menyimpulkan kaitan antara keduanya itu dianggap tak memenuhi kaidah ilmiah. Puluhan jurnal sudah menyanggah teori itu.

Sekarang, serentetan “teori” yang mendukung gerakan antivaksin itu ditambahi persoalan vaksin palsu. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia medis bisa berkurang, khususnya yang terkait dengan imunisasi.

Departemen Kesehatan, dalam hal ini, harus berkaca pada kenyataan bahwa angka keikutsertaan imunisasi dasar dari tahun 2011 ke 2014 menurun sekitar 9 persen. Padahal, angka penduduk umur batita (di bawah tiga tahun) meningkat sebanyak 4,5 persen dalam kurun waktu itu.

Kejadian-kejadian luar biasa terkait polio, campak, dan difteri pada 2005-2011 memang belum tentu diakibatkan oleh adanya vaksin palsu. Tapi kasus-kasus itu, serta rendahnya angka keikutsertaan imunisasi, dapat menjadi gambaran bahwa selama ini urusan imunisasi kurang dianggap serius. Kasus vaksin palsu pun bisa menambah persoalan itu.

Vaksin palsu, dalam jangka waktu panjang, bisa membahayakan kesehatan masyarakat secara umum dan ketahanan nasional. Pelakunya bukan sekadar kriminal pengedar obat tanpa izin. Mereka tak layak hanya dikenai Pasal 197 UU No.36 tahun 2009.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Maulida Sri Handayani & Reja Hidayat
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti