Menuju konten utama

Harap Dimengerti, Vaksin Palsu itu Salah Oknum

Kata "oknum" sedang populer akhir-akhir ini, terutama semenjak merebaknya kasus vaksin palsu. Semua menyalahkan "oknum" sebagai dalang di balik peredaran vaksin palsu ini.

Harap Dimengerti, Vaksin Palsu itu Salah Oknum
Menkes Nila F. Moloek (tengah) didampingi sejumlah asosiasi di bidang kesehatan memberikan keterangan terkait vaksin palsu usai menggelar pertemuan di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta. [ANTARA FOTO/Wahyu Putro A]

tirto.id - Zen Rachmat Sugito pernah menjabarkan, untuk setiap aib memalukan yang tidak mungkin diakui, bahasa Indonesia menyediakan jalan ke luar yang menyebalkan: oknum. Kata "oknum" ini menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia—berarti "orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik)".

Konsekuensi dari pengertian bahwa "oknum" adalah "orang atau salah satu bagian yang menyimpang dari suatu unit keseluruhan". Akhirnya, kata "oknum" digunakan untuk menghindarkan keseluruhan, katakanlah sebuah sistem, dari aib penyimpangan yang dilakukan "si oknum". Dengan demikian, "oknum" adalah pengakuan sekaligus penyangkalan – seperti menelan tapi kemudian meludahkannya kembali.

Zen memaparkan dalam kalimat yang sederhana, penggunaan kata "oknum" bisalah digambarkan begini: "Memang ada yang menyimpang [pengakuan], tapi itu tak menggambarkan keseluruhan [penyangkalan], jadi itu bukan kami yang sebenarnya."

Menyodorkan "oknum" sebagai kambing hitam adalah cara sebuah sistem untuk menyelamatkan dan melanggengkan dirinya sendiri. Ini cermin cara berpikir konservatif yang anti-perbaikan internal. Pendeknya: cara berpikir rezim yang anti-kritik.

Dalam berbagai kasus, kata “oknum” selalu muncul. Termasuk dalam kasus vaksin palsu yang geger baru-baru ini. “Ini bukan kelalaian. Ada oknum," inilah kalimat pertama yang keluar dari Menteri Kesehatan, Nila Moeloek saat kasus ini mencuat. Ucapan ini diutarakannya usai rapat dadakan di Gedung DPR, Senayan, 27 Juni lalu.

Hal sama juga dilontarkan Direktur RS Harapan Bunda, dr Finna. Rumah sakit ini jadi salah satu lokasi persebaran vaksin palsu. Secara tegas Finna mengatakan kasus ini tidak melibatkan rumah sakit secara kelembagaan, melainkan ulah oknum.

“Kami akui ada oknum yang menjual vaksin di rumah sakit tanpa sepengetahuan kami. Itu tidak kami sangkal,” katanya, Sabtu lalu (16/7/2016). Menurut dia, pihaknya tidak pernah memesan vaksin kepada CV Azka Medical selaku produsen vaksin palsu. "Justru ini ulah oknum yang tidak terpuji,” katanya lagi.

Pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) selaku organisasi yang menaungi dokter-dokter yang terlibat pun langsung bergeliat membela diri. Sampai-sampai mereka harus beraudensi dengan Mabes Polri mengiba-iba agar mengklarifikasi bahwa perbuatan vaksin ini janganlah digeneralisasi.

“Hal ini tidak bisa digeneralisir dunia kedokteran, para dokter Indonesia yang terlibat adalah oknum-oknum dari profesi (kedokteran),” ucapan Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli ini pastinya membuat para dokter kini bisa menarik nafas lega.

Pada kasus ini, Bareskrim Polri merilis ada 23 orang tersangka, lima di antaranya adalah mereka yang ada dalam sistem yaitu dua bidan dan tiga dokter. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sudah diberikan Polri kepada Kejaksaan Agung.

Mestinya jumlah orang yang terlibat akan semakin bertambah, khususnya mereka yang terlibat dalam sistem pelayanan kesehatan baik itu dokter, bidan ataupun orang dalam rumah sakit. Jumlah orang yang terlibat tidak mungkin sedikit karena penyelidikan Polisi membuktikan 14 Rumah Sakit dan 8 Bidan terlibat.

Andaikan polisi bekerja lebih giat lagi, pastinya jumlah rumah sakit yang memakai vaksin palsu akan sangat banyak jika merujuk dari waktu operasional CV Azka Medical yang memalsukan vaksin 13 tahun lamanya. Andai polisi bisa membongkar keseluruhan kasus ini tidak menutup kemungkinan puluhan dokter/bidan tambahan akan diseret ke pengadilan.

Secara logika, dengan rentan operasi yang cukup lama, sindikat ini tentunya tidak hanya akan melibatkan dokter/bidan saja. Bisa jadi ada “oknum” orang dalam badan-badan negara pun mungkin terlibat. Tudingan yang muncul di masyarakat inilah yang dengan sigap disikapi lembaga berwenang seperti IDI, BPPOM dan Kementerian Kesehatan.

Sialnya, ketiga lembaga ini malah saling lempar tanggung jawab. Masyarakat di pingpong ke sana ke mari dan hanya bikin pusing tujuh keliling. Kemenkes menyatakan tanggung jawab pengawasan peredaran vaksin ada di bawah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dalam penjelasan, BPOM mengakui salah.

Meski begitu, BPOM menyalahkan kasus ini kepada pihak rumah sakit dan dokter sebagai elemen terakhir dalam distribusi vaksin palsu. Pengawasan ini bukan ada di tangan BPOM tapi di Kemenkes. IDI selaku asosiasi dokter pun ikut meramaikan.

Tudingan BPOM yang memojokkan pelayanan rumah sakit dan dokter dinilai IDI tak berdasar. Dalihnya beredarnya vaksin palsu bukan bersumber di pelayanan namun di distribusi dan produk. “Pelayanan itu bisa saja jadi korban. Sumber kesalahan ada di distribusi dan produksi yang jadi wewenang BPOM. Kalau tidak ada pasar gelap, tidak mungkin kami bisa akses itu,” ucap Daeng Mohammad Faqih, Wakil Ketua PB IDI kepada tirto.id.

Dalih Mohammad Faqih memang benar, tetapi bukan berarti dengan menyalahkan sistem maka perilaku individu yang berbuat curang bisa diabaikan. Bagaimanapun pelayanan RS pun ikut terlibat meneguk untung dari peredaran vaksin palsu ini.

Rasamala Aritonang, Wakil Ketua Aliansi Korban Vaksin Palsu dalam esainya menuliskan bahwa penting untuk melihat bagaimana sebenarnya hukum menempatkan tanggung jawab semua pihak, khususnya rumah sakit, sebagai badan hukum atau korporasi dalam peristiwa vaksin palsu ini.

“Hukum Indonesia telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. [..] Kesadaran akan kenyataan bahwa banyak perilaku korporasi yang merugikan masyarakat (res ipsa loquitur), telah meninggalkan mitos lama dalam dunia hukum bahwa korporasi atau badan hukum tidak mungkin dipidana (universitas delinquere non potest).”

“Selain 'orang' sebagai pelaku tindak pidana Undang-undang Kesehatan mengakui pula korporasi sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 201, bahkan korporasi dapat dikenakan pemberatan pidana denda 3 (tiga) kali dari pidana denda yang dapat dijatuhkan terhadap "orang" sebagai pelaku.”

UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen dan UU Perlindungan anak bisa memperberat hukuman itu. Dalam konteks KUHPerdata pelaku korporasi pun bisa diseret dengan diikat pasal 1365 dan 1367 .

“Dalam konteks vaksin palsu, tidak perlu dibuktikan lagi ada tidaknya kesalahan rumah sakit sebagai badan hukum (recht persoon). Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para dokter, perawat atau pegawainya sudah cukup menjadi dasar membebankan rumah sakit untuk bertanggung jawab membayar kerugian materil maupun immateril yang timbul akibat perbuatan para pelaku.”

Rasamala menjelaskan setidaknya ada dua upaya hukum (litigasi) yang bisa dilakukan oleh korban vaksin palsu selain berbagai upaya non-litigasi lainnya. Pertama, korban sebagai pelapor dapat menyampaikan laporan kepada kepolisian dengan pihak terlapor adalah rumah sakit sebagai korporasi. Namun, laporan ini tergantung kepada penyidikan kepolisian, apakah terfokus pada “oknum” orang atau instansi.

Gugatan seperti ini pernah diajukan oleh pada tahun 2015, dalam kasus Falya Raafani Blegur vs Rumah Sakit Awal Bros, pasien yang menjadi korban malapraktik mengajukan gugatan terhadap rumah sakit. “Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi No.630/Pdt.G/2015/PN.Bks, Majelis Hakim menyatakan rumah sakit bersalah dan diharuskan membayar kerugian materil Rp.205.500.000,-. Kemenangan tersebut merupakan preseden yang kuat bagi pasien untuk memperjuangkan haknya secara hukum.”

Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu berharap instansi pemerintah terkait seperti BPOM, dan terutama rumah sakit harus dibebankan pertanggungjawaban. “Di atas segalanya, negara harus bertanggung jawab melindungi dan menjamin keselamatan rakyatnya. Untuk itu pemerintah melalui kepolisian harus dapat membongkar kejahatan tersebut dengan tuntas dan menarik semua pihak yang bertanggung jawab, tidak terkecuali rumah sakit sebagai badan hukum atau korporasi.”

Keberpihakan negara terhadap para korban akan dipantau oleh masyarakat, mengingat publik sudah jenuh dengan desas-desus skandal dalam pelayanan kesehatan. Jika gagal bertindak tegas ditakutkan nantinya akan memunculkan cabang keilmuan baru dalam dunia kedokteran di Indonesia: dengan kehadiran dokter spesialis oknum.

Baca juga artikel terkait VAKSIN atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Hukum
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan & Aditya Widya Putri
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti