tirto.id - Beruntunglah Letnan Jenderal Soeharto. Berkat dukungan para perwira antikomunis, pamor Presiden Sukarno melemah dan Soeharto melambung. Para perwira itu tentu saja ikut menyikat komunis di Indonesia. Salah satu dari mereka adalah Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono (dikenal sebagai H.R. Dharsono), yang sejak Juli 1966 hingga April 1969 menjabat Panglima Kodam Siliwangi.
Bersama Kemal Idris dan Sarwo Edhie Wibowo, Dharsono dianggap sebagai king maker daripada Soeharto. “Pada awal pasca orde lama, mereka bertiga secara bersama telah bekerja keras menyingkirkan Sukarno agar terbuka jalan kekuasaan bagi Soeharto,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 25).
Meski besar jasa mereka secara militer, tiga jenderal yang disukai bawahan itu justru tidak mendapat tempat strategis di kemiliteran setelah Orde Baru mulai mapan. Setelah jadi panglima di Jawa Barat, Dharsono kemudian di-dubes-kan ke Kamboja dan Thailand.
Antara 1976 hingga 1978, Dharsono menjadi Sekretaris Jenderal ASEAN. Sebagai diplomat, Dharsono menilai di tahun 1980 politik bebas aktif Indonesia telah memudar. “Kepudaran ini disebabkan pembangunan berjalan terlalu cepat untuk kesejahteraan rakyat, tetapi kenyataannya belum merata. Akibatnya, terikat oleh kekuatan negara-negara besar, IGGI, dan kini memang susah keluar dari ikatan ini,” tutur Dharsono seperti dicatat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (1982: 117).
Orde Baru yang ikut ia bangun ternyata tidak semanis yang dipikirkannya ketika diperjuangkan.
Tanpa diduga, setelah tak jadi Sekjen ASEAN lagi, pada 10 Desember 1978, Dharsono diangkat menjadi Direktur Utama PT Propelat—perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi dan perdagangan. Dharsono sendiri tak punya potongan pedagang. Hebatnya, pengangkatan itu terjadi ketika Propelat sedang bermasalah karena imbas dari krisis di Pertamina. Tidak aneh, dua tahun kemudian Dharsono mundur dari posisi direktur utama di perusahaan yang bermasalah sebelum dia memimpin itu.
Sudah jadi kebiasaan di Indonesia untuk mengangkat seseorang pada jabatan yang sebetulnya bukan bidang keahliannya. Alasan yang bisa dipakai atas pengangkatan macam itu adalah seorang perwira militer paham manajemen organisasi dan dengan demikian semua masalah bisa diselesaikan.
Menurut keterangan "orang dalam" Propelat, seperti dicatat di buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (hlm. 117), Dharsono tidak bisa dianggap gagal sepenunya. “Pak Ton (Dharsono) sebenarnya berhasil meletakan dasar-dasar bangunnya kembali perusahaan yang hampir bangkrut itu,” tutur "orang dalam" tersebut.
Dharsono yang tak ingin Propelat tidak mendapat bantuan dari pemerintah merasa tak mampu memelihara hubungan dengan pemerintah. Dirinya mengaku kurang mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan penguasa.
Mengkritik Penyimpangan Rezim
Dharsono agak kecewa dengan peran ABRI. “Peranan ABRI pada permulaan orba dan sekarang sudah lain. Sekarang ABRI sudah seakan-akan tidak peka terhadap aspirasi rakyat,” katanya.
Menurut Dharsono, Dwifungsi ABRI seharusnya mendorong sektor sipil dan bukan melestarikan kekuasaan militer. Setelah 1978 Dharsono yang kecewa pada militerisme Orde Baru itu bergabung dalam Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI-AD dan kemudian menjadi sekjennya. Kelompok ini kritis kepada Soeharto, tapi dengan berhati-hati.
Dharsono pensiun pada 1 Juni 1980 di usia 55. Pada bulan sebelumnya, 5 Mei 1980, muncul jenderal-jenderal tua, tokoh-tokoh agama, dan beberapa intelektual muda yang mengungkapkan keprihatinan atas penyalahgunaan Pancasila oleh Soeharto. Presiden dianggap telah mengaku diri paling Pancasila dan golongan yang berbeda dengannya bisa kena cap memusuhi Pancasila.
Orang-orang itu kemudian dikenal sebagai kelompok Petisi 50. Soeharto tentu saja tak menyukainya.
”Sesungguhnya saya gembira jika ada oposisi terhadap saya, dengan syarat ia adalah oposisi yang loyal. Tetapi apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya Petisi 50 itu, tidak saya sukai,” kata Soeharto seperti ia sampaikan dalam autobiografi Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989: 346).
Dharsono tidak termasuk jenderal yang ikut Petisi 50, namun dekat dengan para penandatangannya. “Memang saya tak ikut tanda tangan Petisi 50 tetapi saya sejiwa dengan mereka," aku Dharsono seperti tercatat dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan Di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).
Setelah Petisi 50, perikehidupan Dharsono dipersulit penguasa. Meski tak ikut tanda tangan, ia dianggap sebagai sosok berbahaya bagi Soeharto. Dharsono dikaitkan dengan peledakan kantor BCA Pecenongan 1984 dan dituduh mengikuti rapat-rapat setelah terjadinya Peristiwa Tanjung Priok.
Pada salah satu sidang pengadilan, Dharsono menyinggung sikap abadi dalam semua rezim bernama ABS (asal bapak senang). Menurut Dharsono dalam Menuntut Janji Orde Baru: Pleidooi Terdakwa H.R. Dharsono (1986: 25), mental ABS sudah membudaya di Indonesia. Sikap itu menghiasi masa Orde Baru. Orang-orang tentu punya tebakan sendiri siapa saja jenderal-jenderal aktif dalam pemerintahan yang punya sifat ABS itu.
Jenderal kelahiran Pekalongan, 10 Juni 1925 itu kemudian dihinakan hidupnya sebagai penghuni penjara selama lima tahun. Pada hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia 1990 dia dibebaskan dari LP Cipinang. Pada 5 Juni 1996, tepat hari ini 24 tahun lalu, dia tutup usia.
Apa yang dialami Dharsono adalah simbol betapa ganas kekuasaan Orde Baru dalam memberangus lawan-lawan politiknya: dilempar ke bui dan semua tanda jasanya dicabut. Setelah meninggal, ia juga tidak bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Editor: Ivan Aulia Ahsan