Menuju konten utama

Tipo Revisi UU KPK Tidak Bisa Dianggap Biasa

Sebagian ahli hukum merasa saltik dalam UU KPK versi revisi sudah bisa jadi alasan peraturan itu dibahas ulang dari awal.

Tipo Revisi UU KPK Tidak Bisa Dianggap Biasa
Sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di depan gedung DPRD Kudus, Jawa Tengah, Kamis (26/9/2019). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/aww.

tirto.id - Salah satu penyebab Presiden Joko Widodo belum menandatangani Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) hasil revisi adalah: masih terdapat salah ketik di naskah tersebut. Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan naskah itu dikembalikan lagi ke DPR.

Mengutip Antara, Pratikno juga mengatakan selain mengembalikan naskah, pemerintah juga “minta klarifikasi” ke DPR terkait masalah ini. “Mereka sudah proses katanya, sudah di baleg (badan legislasi),” ujar Pratikno di Istana, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2019).

Salah ketik ada di Pasal 29 yang mengatur syarat menjadi pimpinan KPK. Di sana tertulis angka “50”—usia minimal agar bisa jadi pimpinan KPK—namun tertulis dalam huruf: “empat puluh tahun.” “Berumur sekurang-kurangnya 50 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan,” begitu bunyi poin e pasal 29 UU KPK hasil revisi.

Politikus PDIP Masinton Pasaribu mengatakan saltik terjadi karena “murni teknis”, kesalahan dari staf baleg yang bertugas mengecek kembali substansi dan redaksi, termasuk susunan titik dan koma.

"Atas ketidakcermatan tersebut, staf di baleg sudah menyampaikan permohonan maaf kepada pimpinan dan anggota Baleg DPR RI," ujar Masinton kepada reporter Tirto, Selasa (8/10/2019).

Harus Dibahas Ulang

Direktur Jaringan dan Advokasi Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan saltik harusnya jadi alasan peraturan tersebut "dibahas ulang".

“Ini bukan masalah salah ketik [saja] karena pembahasan atau persetujuan bukan hanya substansi, tapi juga [sampai] titik, koma,” katanya di kantor YLBHI, Jakarta, Ahad (6/10/2019) lalu.

Menurut Fajri, karena salah titik atau koma saja, itu sudah bisa mengubah substansi. Karena itu masalah ini tidak boleh dianggap sepele dan, sebagai penegasan, harus dibahas ulang.

“Saya pikir prosesnya harus diulang dari awal. Rapat awal lagi bahkan sampai pembahasan bersama,” kata Fajri. “Toh ini kan bukan salah ketik tapi juga perbedaan substansi,” tegasnya.

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Isnur bahkan mengatakan kasus ini adalah “skandal besar” karena “perdebatan dalam UU itu titik koma saja berdampak besar pada makna dari pasal.”

Selain saltik, baik Fajri, Isnur, dan berbagai elemen masyarakat sipil merasa secara umum UU KPK versi revisi bermasalah. Mereka menganggap peraturan ini melemahkan KPK karena, salah satunya, keberadaan dewan pengawas. Selain itu status pegawai KPK yang hendak diubah jadi PNS pun dipermasalahkan.

Tapi wakil rakyat merasa saltik di UU KPK biasa saja. Di Gedung DPR, Jakarta, Senin (8/10/2019), bekas Ketua Baleg DPR RI yang periode sekarang jadi anggota DPR lagi, Supratman Andi Agtas, mengatakan salah ketik alias tipo sesungguhnya "sesuatu yang biasa".

Supratman lantas mengatakan DPR sudah memperbaikinya, namun naskahnya tidak bisa langsung dikirim balik ke Istana.

Dia bilang DPR akan mengumpulkan setidaknya pengusul revisi UU KPK dan lima anggota Panja Revisi UU KPK periode 2014-2019 untuk melakukan klarifikasi bersama-sama. “Untuk membuatkan berita acara soal perbaikan tadi," jelas Supratman.

Itu belum bisa dilakukan sekarang karena DPR periode 2019-2024 masih sibuk membentuk Alat Kelengkapan Dewan (AKD).

“Sehingga membuat ini terlambat,” Supratman memungkasi.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino