tirto.id - Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Abdul Kadir Karding yakin media massa dapat bersikap netral meskipun ada banyak pengusaha media yang mendukungnya dalam Pilpres 2019.
Pernyataan itu disampaikan Karding guna menjawab ketakutan banyaknya media yang tidak netral di Pilpres 2019 mendatang. Ketakutan itu muncul karena sejumlah pengusaha media sudah menyatakan mendukung Jokowi-Ma'ruf.
"Ya saya kira teman-teman media dan pemilik media sudah tahu aturannya masing-masing. Jadi mereka dewasa dan akan bekerja sesuai aturan yang ada," kata Karding di Kantor TKN Jokowi-Ma'ruf, Jakarta, Senin (10/9/2018).
Salah satu pengusaha media yang bergabung dengan TKN Jokowi-Ma'ruf adalah Erick Thohir. Erick telah didapuk sebagai Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf.
Sebelum Thohir bergabung, sudah ada Hary Tanoesoedibjo selaku Ketua Umum Perindo yang juga menguasai jaringan MNC Media. Ia pemilik resmi RCTI, Global TV, Koran Sindo, Okezone, INews TV, dan sejumlah media elektronik lain.
Di kubu Jokowi-Ma'ruf juga ada Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem sekaligus pimpinan Media Group yang membawahi merek seperti Media Indonesia dan Metro TV.
Karding menganggap pihak-pihak yang mencurigai netralitas media memiliki sifat iri. Menurutnya, TKN Jokowi-Ma'ruf tak bisa melarang siapapun untuk bergabung mendukung jagoannya termasuk para pengusaha media.
"Itu namanya agak iri. Namanya orang mau gabung kan berarti dia melihat bahwa sosok Pak Jokowi adalah sosok yang patut didukung. Jadi kami juga tidak bisa melarang mereka gabung," kata Karding.
Di sisi lain, peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael mengatakan publik bisa merugi karena sangat mungkin mendapat informasi yang timpang. Ia memprediksi berkumpulnya pengusaha media di kubu Jokowi-Ma'ruf membuat publik susah mendapat berita yang punya perspektif kritis.
"Ini yang paling menakutkan. Buruk buat demokrasi," ujar Heychael kepada Tirto, Sabtu (8/9/2018).
Sebenarnya media bisa berpihak ke suatu kubu tertentu jika berdasarkan hati nurani atau visi yang jelas, kata Heychael. Akan tetapi, di Indonesia, keberpihakan tersebut hanya berdasarkan preferensi politik praktis semata.
Ia memberi contoh keberpihakan media yang terjadi di Amerika Serikat. Pada Negeri Paman Sam itu, ada dua media besar yang selalu bertentangan: Fox Media dan CNN. Akan tetapi, pembelahan di sana terjadi karena Fox dan CNN "setia" dengan visinya masing-masing.
"Kesetiaan mereka pada cita-cita politik dan nilai. Di Indonesia kita tidak punya itu, yang ada kesetiaan murni pada pemilik yang terombang-ambing. Akhirnya fokusnya pada politik praktis dukung-mendukung siapa," ungkap dia.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Alexander Haryanto