tirto.id - Polda Metro Jaya sempat berencana menerapkan aturan tes psikologi (psikis atau kejiwaan) kepada pemohon pembuatan dan perpanjangan surat izin mengemudi (SIM) kategori umum yang berlaku mulai Senin (25/6/2018) yang akhirnya ditunda tanpa batas waktu yang ditentukan. Penundaan karena alasan sosialisasi yang belum cukup ke masyarakat.
Kepala Korlantas Polri, Irjen Pol Royke Lumowa menanggapi soal rencana penerapan tes psikis untuk keperluan pembuatan dan perpanjangan SIM di Polda Metro Jaya. Rencana Polda Metro Jaya memang mendahului kebijakan Korps Lalu Lintas Polri yang memang ingin menerapkan tes serupa di seluruh Indonesia. Namun, Royke tidak melarang tes psikologi untuk keperluan SIM dilakukan oleh Polda Metro Jaya.
“Pemberlakuannya [secara nasional] ditunda,” kata Royke kepada Tirto, Jumat (22/6/2018).
Secara terpisah, Direktur Registrasi dan Identifikasi Korlantas Polri, Brigjen Pol Halim Pagarra menegaskan, Polda Metro Jaya memang akan menerapkan tes psikologi untuk pembuatan dan perpanjangan SIM. Halim mengatakan tes psikologi memang menjadi syarat, yang secara payung hukum sudah ada aturan yang jelas.
Pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Untuk syarat kesehatan dibagi menjadi dua, yakni sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter dan surat rohani dengan surat lulus tes psikologi.
Hal itu semakin diperkuat dengan adanya surat Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2012 yang diteken oleh Kapolri saat itu, yakni Jenderal Polisi Timur Pradopo. Pada Pasal 37 disebutkan bahwa penilaian rohani seseorang didasarkan pada hasil tes psikologi. Tata cara penilaian seharusnya disusun oleh psikolog dalam pengawasan dan pembinaan psikologi kepolisian daerah atau Biro Psikologi Polri.
“Hanya saja saat ini ketentuan memang belum secara jelas,” kata Halim kepada Tirto.
Halim menambahkan “Hanya beberapa daerah saja yang menerapkan, tapi tidak terekspos. Yang dilakukan Polda Metro Jaya ini hanya penegasan saja.”
Halim menegaskan, Korlantas Polri akan membahas masalah ini secara serius karena seharusnya penerapannya sudah dilakukan sejak lama. Ia akan mengumpulkan jajaran Mabes Polri dan Polda terkait bersama dengan para psikolog untuk membahas ihwal faktor-faktor psikis dalam kecelakaan lalu lintas (lantas).
Saat ditanya soal aturan tes psikologis baru akan diterapkan, Halim tak mau berkomentar karena dirinya baru menjabat pada April 2018 ini.
“Saya datang ini mau memperbaiki administrasinya, saya undang Mabes, Polda duduk bersama untuk mengklarifikasi pentingnya psikologi untuk menangkis kebingungan masyarakat itu penting atau enggak penting. Kami lihat nanti berdasar data-data kecelakaan yang ada,” kata Halim.
“Ini Korlantas masih dalam kajian untuk berlaku secara nasional karena amanat UU demikian karena kalau enggak terjadi malah maladministrasi,” kata Halim.
Namun, konsep tes psikologi yang diungkapkan Halim sedikit berbeda dengan kebijakan yang akan diterapkan Polda Metro Jaya. Misalnya, Polda Metro beranggapan perpanjangan membutuhkan tes psikologi, sedangkan Halim berpatok pada aturan bahwa tidak ada tes psikologi untuk masalah perpanjangan. Halim berkata, pihaknya akan mengklarifikasi hal ini kepada Polda Metro Jaya.
Dalam Perkap Nomor 9 tahun 2012, Pasal 28 tentang perpanjangan SIM memang menyebutkan bahwa syarat perpanjangan hanya mengisi formulir, KTP, SIM lama, surat keterangan lulus uji simulator, dan juga surat keterangan kesehatan mata. Pada aturan tidak ada yang mensyaratkan tes psikologi untuk masalah perpanjangan.
“Jadi gini, di dalam UU atau Perkap ada menyebutkan seluruh SIM kecuali perpanjangan itu hanya tes kesehatan mata. Jadi UU menyarankan seluruh harus mengambil tes psikologi namun dalam perpanjangan itu hanya kesehatan,” kata Halim.
Menanggapi hal itu, Kepala Seksi SIM Ditlantas Polda Metro Jaya, Kompol Fahri Siregar mengatakan, pihaknya akan mematuhi perintah Korlantas Polri sebagai regulator. Ia mengaku, langkah tes psikologi adalah merupakan inisiatif dari Polda Metro Jaya. Namun, apabila Korlantas mengatakan tak perlu adanya tes psikologis dalam perpanjangan, maka Polda Metro Jaya akan patuh.
Selain itu, kata Fahri, Polda Metro Jaya masih mempersiapkan perangkat-perangkat untuk mengadakan tes psikologi. Pada 25 Juni, Polda Metro Jaya batal menggelar uji tes psikologi dalam pembuatan SIM karena masih butuh sosialisasi.
“Kami belum tahu tanggalnya karena sekarang masih simulator internal dulu. Memang kami butuh sosialisasi dan kami juga masih lakukan simulasi dengan lembaga psikologi Polda sendiri,” katanya.
Dapat Respons Positif
Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno menegaskan, penerapan tes psikologi seharusnya sudah dilakukan sejak lama. Dibanding negara lain, Indonesia sudah terlalu ketinggalan. Djoko mengambil contoh, Malaysia yang lebih ketat dalam keamanan lalu lintas dibanding Indonesia.
Menurut dia, di Malaysia ada beberapa tahapan kursus sebelum akhirnya bisa mendapatkan SIM. Setidaknya ada 7 tahapan yang dimulai dari Kursus Kurikulum Pendidikan Terpadu hingga praktik mengemudi dengan petugas.
“Di luar negeri, di negara tetangga itu mereka harus ikut kursus dulu untuk dapat SIM. Jadi ringan itu tes psikologi. Itu kompetensi kalau enggak sanggup, ya jangan. Kita sudah telanjur lama SIM kayak KTP, karena umur saja udah dapat SIM,” kata Djoko kepada Tirto.
Djoko mengapresiasi langkah yang dilakukan Polri dengan menerapkan tes psikologi di Polda Metro Jaya. Menurut dia, jika dilakukan di seluruh Indonesia, tentu terlalu mendadak. Ia menilai, banyak pengemudi di Indonesia yang tak paham rambu dan marka jalan, serta menyetir dalam kondisi bingung.
“Lihat saja itu ada yang sign kiri belok kanan, itu kan berbahaya,” kata Djoko memberikan contoh.
Dengan adanya aturan baru ini, kata dia, bisa jadi masyarakat yang memiliki SIM tentu akan berkurang. Djoko menilai hal itu merupakan risiko yang harus ditanggung karena Indonesia tak bisa menomorduakan faktor keselamatan. Apabila Indonesia harus menunggu angkutan umum lebih rapi, tentu aturan tes psikologi ini akan memakan waktu lebih lama dan bisa jadi banyak korban yang muncul akibat kecelakaan lalu lintas.
Djoko memberikan contoh, para pengemudi angkutan umum yang selalu dikejar setoran dan menyetir dengan seenaknya. Banyak sopir angkutan umum yang melanggar rambu lalu lintas, berhenti sembarangan, dan menjadi penyebab kecelakaan. Hal itu bisa terjadi karena faktor psikis pengemudi yang dituntut setoran oleh atasannya.
Dengan adanya penerapan tes psikologi ini, maka masyarakat diharap dapat tenang di beragam situasi jalanan dan mematuhi aturan lalu lintas. Misalnya tidak melanggar rambu meski sedang terburu-buru. Namun, hal itu hanya salah satu faktor saja.
Namun, Djoko juga tak menjamin apakah tes psikologi ini bisa meredam kecelakaan lalu lintas yang faktor pemicunya sangat komplek, tak hanya soal perilaku berkendara saja.
“Tanpa pengetahuan yang baik nanti tetap ada ketidakpatuhan dan memperbesar angka kecelakaan. Tapi kalau punya SIM yang baik dengan cara yang benar [tes psikologi] itu lebih menjamin,” kata dia.
Sebagai aturan yang sudah diamanatkan pada undang-undang, syarat mendapatkan SIM dengan melewati tes psikis memang sudah semestinya. Penerapannya tes psikologi yang ditunda maka sama saja telah menunda langkah awal upaya perbaikan. Namun, bila aturan ini sudah berlaku, aspek praktis harus jadi pegangan, jangan hanya sebagai seremonial sebagai syarat pembuatan atau perpanjangan SIM.
“Jadi tes psikologi bukan parameter yang jadi faktor seluruhnya. Tapi ini salah satu langkah awal,” kata Djoko.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz