Menuju konten utama

Terapkan Restoratif, Kejagung Setujui Setop 4 Penuntutan Perkara

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum menyetujui empat permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Terapkan Restoratif, Kejagung Setujui Setop 4 Penuntutan Perkara
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana, menyampaikan konferensi pers di Gedung Kejaksaan, Jakarta, Rabu (15/6/2022). ANTAR/HO-Puspenkum Kejaksaan Agung

tirto.id - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum menyetujui empat permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

“Jampidum memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, via keterangan tertulis, Jumat (8/7/2022).

Penerbitan itu sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.

Empat kasus yang dimaksud yakni:

1. Tersangka Abdul Fakri alias Abah bin Sakmal dari Kejaksaan Negeri Bengkulu yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

2. Tersangka Haris Wiangga bin Ciwang dari Kejaksaan Negeri Indramayu yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

3. Tersangka Andri Ramdani bin (alm) Enan Saputra dari Kejaksaan Negeri Indramayu yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

4. Tersangka Yanuarius Yogi dari Kejaksaan Negeri Nabire yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP juncto Pasal 53 Ayat (1) KUHP tentang Pencurian.

Alasan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini, ucap Ketut, seperti proses perdamaian karena tersangka telah meminta maaf dan korban memberikan maaf; tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali berbuat pidana; tersangka berjanji tak mengulangi perbuatan; ancaman pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.

“Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi; tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar,” ujar Ketut.

Baca juga artikel terkait KEJAGUNG atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri